Mohon tunggu...
Ge
Ge Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger/Penulis

Blogger dan penulis yang suka membaca dan menonton. Suka menulis cerita fiksi, puisi-prosa (sirosa), opini, resensi dan banyak lagi. Tertarik pada intrik-intrik politik dan berbagai macam gosip yang bisa memperkaya cerita. Anti hoaks dan anti intimidasi. Menyalurkan hobi gambar dan ilustrasi di Instagram.com/gambarable. Ngetuit di X.com/gesiahaya. Ngeblog di gratcianulis.blogspot.com dan berbagi tips menulis fiksi di kampungfiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Revolusi Tubuh: Lorong Dua Nama

28 November 2024   18:43 Diperbarui: 29 November 2024   17:25 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Di lorong gelap sebuah apartemen, ia menyimpan revolusi pribadinya. Dua janin, dua nama, satu tubuh yang memberontak. Antara suami yang rasional dan selingkuhan yang liar, ia menciptakan kehidupan baru---tanpa permisi, tanpa penyesalan."

***

Cerpen ini juga ditayangkan di  sini

 
Nama bukan sesuatu yang kutahu bagaimana memberinya. Nama akan membuat ruang ini sempit, terlalu nyata, terlalu dekat. Lorong ini bukan tentang kejelasan. Lorong adalah tentang melarikan diri, tentang tubuh-tubuh yang datang dan pergi, dan dosa yang menempel seperti bayangan basah di kulit.  

Di lorong ini, aku menjadi siapa saja. Aku menjadi siapa pun. Di lorong ini, aku adalah seorang pemberontak.  

---
 
Tubuhku adalah tempat revolusi bermula. Sebuah pertempuran kecil setiap malam, antara kepatuhan yang diajarkan Pras dan kebebasan yang ditawarkan Rizal.  

Pras adalah suamiku. Rasional. Penuh jadwal. Dia membuat hidupku seperti buku agenda yang harus diikuti, halaman demi halaman. Tapi Rizal, ah, Rizal seperti bait puisi yang melompat dari satu kata ke kata lain tanpa peduli aturan.  

"Bayi ini kembar," kata dokter sambil menatap layar USG.  
Aku tertawa dalam hati. Dua janin ini, dua nama ini, dan tubuhku yang satu ini, adalah revolusiku. Mereka bukan milik siapa pun, kecuali milikku.  

---
 
Jakarta dan aku sama. Kami tahu bagaimana berdandan untuk menutupi luka. Di bawah lampu-lampu jalan, kota ini seperti panggung yang tidak pernah tidur. Tapi di lorong apartemenku, aku membuka topeng itu. Aku membiarkan tubuhku runtuh.  

Pras akan mengetuk pintu kamarku, membawa ciuman yang dingin seperti berita pagi.  
"Bagaimana kabar bayi-bayi itu?" tanyanya.  
"Baik," jawabku.  

Rizal tidak pernah bertanya apa-apa. Dia adalah malam. Dia datang, membawa api kecil yang hanya cukup untuk membakar sebagian dari diriku, lalu pergi sebelum apinya padam.  

"Aku masih di sini," katanya suatu malam di bar kecil tempat kami sering bertemu.  
"Kenapa?"  
Dia tersenyum, seperti orang yang tahu lebih banyak dari yang seharusnya. "Karena kau milikku, bahkan saat kau mencoba lari."  

---
 
Ketika bayi-bayi itu lahir, mereka membawa wajah yang berbeda. Anak laki-laki itu adalah Pras---datar, serius, dengan rahang yang selalu terlihat seperti sedang menilai sesuatu. Anak perempuan itu adalah Rizal---mata liar, penuh nyala, seperti badai kecil.  

Tapi mereka adalah milikku. Revolusi pribadiku. Aku yang menanggung mereka di tubuhku, aku yang membawa mereka keluar dari kegelapan lorong ini ke dunia yang penuh kebohongan. Mereka bukan milik Pras. Bukan milik Rizal.  

"Aku tahu mereka bukan hanya milikku," Pras berkata sambil menatap jendela suatu malam.  
Aku tidak membalasnya. Apa gunanya kata-kata ketika dunia sudah retak?  

---

Dosa adalah bagian dari napasku sekarang. Tubuhku, lorong ini, anak-anak itu---semuanya adalah revolusi kecil yang kugendong tanpa malu.  

Ketika Rizal lenyap seperti bayangan malam, aku tidak mencarinya. Ketika Pras bertanya dengan mata yang mulai kehilangan cahayanya, aku tidak menjawab. Aku tidak butuh izin.  

Anak-anak ini adalah buktiku bahwa aku bisa menciptakan sesuatu dari kehancuran. Mereka adalah aku, hidup dan utuh, meski dunia ingin memberi label pada siapa bapaknya.  

---
 
Anak-anak itu berlari di lorong apartemen, tertawa seperti malam tidak pernah membawa rahasia. Mereka tidak tahu sejarah tubuhku, atau dosa yang menetes dari setiap langkahku. Dan aku tidak akan memberitahu mereka.  

Lorong ini tidak akan mati. Ia hidup di mataku, di tawa anak-anakku, di setiap langkah kaki mereka yang membawa masa depan.  

"Anak-anak itu milikku," gumamku pada malam, pada lorong, pada siapa pun yang mendengarkan. "Revolusi pribadiku, tak peduli siapa bapak mereka."  

Lorong ini, seperti aku, tidak butuh pengampunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun