Saya ingin memulai tulisan ini dengan cerita Cecep, seorang pemuda dengan pengalaman spiritual menarik. Cecep hidup dalam keluarga yang disebutnya adalah sebuah tragedi. Tragedi hidupnya membuat dia seperti layang-layang yang putus dari benangnya. Mabuk-mabukan adalah pekerjaannya tiap hari. Teman-temannya di tempat kerja ikut menjadi faktor keterpurukannya.
Cecep berontak dengan cara hidupnya yang rusak. Dia ingin memperbaikinya. Mulailah dia berpuasa dan shalat. Sering juga malu-malu dia meminta agar bisa berangkat ke Baitullah dan ziarah ke makam suci Nabi Muhammad. Dia bilang "malu-malu" karena diakuinya dia tak pantas untuk mendapat kehormatan itu.
Nazarnya terdengar sampai ke arasy. Undian pertama jatuh atas namanya sementara lainnya jatuh pada temannya bernama Adrian. Sungguh dia tak bisa mempercayainya. Tuhan Mengundangnya? Ya, rupanya Tuhan menginginkan agar Cecep menggenapkan nazarnya. Dia mengundangnya untuk berziarah kepada Rasulullah dan Baitullah.
Selain cecep ada banyak kisah orang-orang yang yang diundang dan dimampukan ke baitullah. Sebagian sudah saya tulis di Kompasiana. Silahkan untuk membacanya. Mungkin bisa menjadi inspirasi dan motivasi.
Nah bagaimana agar kita masuk undangan dari Sang Tuan Rumah? Memang tak bisa dipastikan kepada siapa saja undangan ilahi itu dibagikan. Yang jelas, undangan dibagikan kepada siapa saja yang mempersiapkan dirinya.  Yang bias kita lakukan adalah merawat kerinduan pada Baitullah dan  'pamer' kepada Allah bahwa dia siap saatnya berhaji serta mendapatkan undangannya.
Persiapan bisa dimulai dari yang sangat mudah. Merawat kerinduan ke Baitullah. Kerinduan seperti itu yang biasanya menjadi energi luar biasa dan merupakan gerbang besar menuju Baitullah. Salah seorang guruku bercerita tentang montir motor yang setiap memperbaiki motor selalu sambil baca talbiah -tentu saja dengan lirih. Tak dinyana tak diduga, kerinduannya terjawab. Ada seorang dermawan yang sering servis motor di tempatnya mendengarnya dan kemudian memberangkatkannya haji. Atau mungkin seperti teman saya yang menempelkan foto Baitullah dan makam Nabi. Setiap kali dia memandang foto-foto tersebut, dilantunkanlah doa agar bisa ibadah haji. Alhamdulillah, saat dia bisa berangkat haji, dia menelpon saya mengabarkan kegembiraannya.Â
Saya akan mengambil ajaran orang Sunda dalam mempersiapkan ibadah Haji. Menurut orang Sunda ada  tiga hal penting yang perlu dipersiapkan, pisik (orang sunda susah bisa bilang F), paseuk dan pesak. Apakah itu?
Persiapan pertama adalah pisik alias kesiapan fisik. Ibadah haji adalah ibadah yang memerlukan stamina prima. Jemaah haji akan berjalan minimal 5 km/hari. Saat puncak ibadah haji tanggal 8-13 Dzul Hijjah, jarak jalan kaki bisa mencapai 10 km/hari. Belum lagi dengan perbedaan cuaca yang cukup jauh dengan tanah air membuat Jemaah mesti mempersiapkan fisiknya secara prima. Jangan sampai sakit saat dan tidak bisa melaksanakan manasik dengan baik. Oleh karenanya persiapan mengolah fisik sejak jauh hari perlu dipersiapkan. Fisik tak bisa disiapkan secara tiba-tiba. Perlu waktu lama membentuk kondisi fisik yang prima. Konsumsilah makanan-makan sehat dan berolah ragalah.
Pemberangkatan ibadah haji dimulai secara formal dengan membuka tabungan haji. Mengingat antrian yang sangat panjang, pembukaan rekening seyogyanya dilakukan sejak dini. Menurut data dari Republika, jumlah waiting list Jemaah haji per april 2018 mencapai 3,7 juta Jemaah. Artinya jika saya mendaftar dan mendapatkan porsi, maka harus menunggu minimal 5 tahun sampai saatnya berhaji.
Jika terasa berat menyetor dana 25 juta rupiah untuk mendapatkan porsi haji, maka dapat di cicil dengan ikut program Rencana Tabungan Haji Bank Danamon Syariah. Dengan rajin menabung sebesar minimal 300 ribu rupiah, maka persiapan untuk ibadah haji lebih riil lagi. Saya sangat yakin hal ini akan semakin mendekatkan diri ke Baitullah dan saatnya berhaji semakin dekat. Toh yang sudah punya uang pun mesti mendaftarkan dirinya lewat bank. Â Â
Kesiapan mental juga berkaitan dengan paseuk ini. Banyak Jemaah haji yang justru tak siap secara mental. Beberapa kali saya mendapat pertanyaan "kapan kita pulang" justru di hari-hari awal berada di tanah suci. Rupanya berpisah dengan keluarga selama hampir 40 hari bagi sebagian orang adalah perjuangan yang cukup berat.Â
Jika hal-hal ini dapat dipersiapkan dengan baik, maka saat berhaji hati akan sangat tenang dan insyaallah haji mabrur akan dapat diraih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H