[caption caption="Salah satu Mesjid Kigali"][/caption]Ada seorang pengembara yang datang ke sebuah tempat dan mencari mesjid. Berhari-hari dia mencari mesjid. Kampung demi kampung dijelajahi, namun dia tak menemukan mesjid –seperti yang ada dalam bayangannya. Akhirnya dengan putus asa, dia beristirahat di sebuah pohon rindang. Tak lama, seorang tua renta berwajah kumuh datang menghampirinya.
“Di mana mesjid” tanya sang pengembara. Pertanyaan itu dijawab dengan pertanyaan, “Kenapa engkau bertanya tentang mesjid dengan bertanya tentang mesjid?”
“Aku bertanya tentang mesjid –bukankah pertanyaan yang sederhana?”
Ia tertawa “bersujudlah, maka engkau sudah mendirikan mesjid. Bukankan jawabannku sederhana juga”
Sang pengembara kesal lalu berbicara dengan nada meninggi, “Aku bertanya di mana mesjid seperti aku bertanya di mana pasar, di mana gedung pemerintah, di mana sungai atau kamar kecil!”
[caption caption="Mesjid Ahmadiyah Berliner"]
Apa yang ditulis Emha Ainun Nadjib dalam kumpulan puisi yang judul bukunya saya jadikan judul artikel ini, pernah juga saya alami saat berkunjung ke kantor Google Indonesia. Saya agak kecewa dengan google yang hanya menempatkan mushala di sebuah tempat kecil di sudut tak menarik. Ruang mushalla itu hanyalah berukuran 2.5 x 2.5 saja. Bila dibandingkan dengan ruangan lain di Google, mushalla ini tak menarik sama sekali. (lihat : Google, Sunan Kalijaga dan Ruang Spiritual)
Saat itu, saya “ditegur” oleh “Sunan Kalijaga”. Sangat kebetulan saya membawa buku karya Ahmad Chodjim yang membahas ajaran-ajaran sang sunan. Sunan Kalijaga melihat bahwa ruang spiritual adalah bangunan keseluruhan dari pola hidup manusia. Bukan sekedar bangunan dengan sekat-sekat tembok yang dipakai shalat. Shalat yang dilakukan di tempat shalat itu hanyalah tata krama dalam kehidupan beragama. Cuma hiasan. Tujuan hakiki shalat adalah untuk mencegah perbuatan fakhsya dan munkar (Qs. 29 : 45).
[caption caption="Mesjid Tbililisi Georgia"]
Di Kigali, Rwanda, di mana persaingan suku Hutu dan Tutsi menggila, mesjid-mesjid menjadi simbol kemanusiaan yang adiluhung. Saat pembantaian meluas di Rwanda, Suku Hutu melakukan genosida dan menyisakan 15 % suku Tutsi. Banyak suku Tutsi yang disembunyikan di rumah-rumah muslim Hutu dan mesjid-mesjid. Padahal secara suku mereka bermusuhan. Setelah badai genosida berlalu, banyak penduduk yang kemudian memeluk Islam baik dari suku Tutsi Atau Hutu. Di mesjid-mesjid inilah keduanya bersatu dalam iman dan kepercayaan yang sama sambil melupakan sejarah Rwanda yang menakutkan dan berdarah itu. Saat membaca cerita di Kigali, pikiran saya melayang-layang ke Cikeusik dan Sampang. Mesjid mereka, kehidupan mereka dirampas dengan dalih kesesatan.
[caption caption="Mesjid Syiah di Hamburg"]