[caption id="attachment_401699" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Dollar AS yang terlalu mahal secara umum jelas merugikan bagi perekonomian RI. Rupiah yang makin melorot terhadap Dollar AS juga mengindikasikan tingginya tingkat inflasi. Inflasi yang terlalu tinggi jelas memberi tekanan besar pada dunia usaha karena akan menggerogoti keuntungan yang didapat. Inflasi juga akan mendorong suku bunga pinjaman naik. Kenaikan suku bunga pinjaman membuat biaya modal naik, ancamannya adalah kredit macet di perbankan.
Kredit macet adalah monster yang menakutkan. Kredit macet tidak saja akan memukul dunia perbankan tetapi juga dunia usaha. Di era ekonomi modern mustahil memisahkan aktivitas dunia usaha dari aktivitas perbankan. Dunia usaha perlu mediasi transaksi lewat perbankan, perlu meminjam dan menyimpan uangnya di perbankan. Apa jadinya jika banknya tidak sehat?
Dalam ilmu ekonomi global dikenal yang namanya momentum. Contohnya: Sepanjang 2014 kemarin The Fed selalu bilang akan menghentikan stimulus jika angka pengangguran di bawah 6%. Sekarang angka pengangguran di AS sudah turun menjadi 5.6%. Sepanjang tahun itu dunia dibayang-bayangi kenaikan nilai Dollar AS. Nilai Dollar semakin kuat sementara ekonominya juga pulih akibat banyak modal yang mulai masuk ke Amerika. Itulah salah satu cara mengelola momentum.
Di Indonesia momentum "alami" itu selalu terjadi saat pemerintahan baru hasil pemilu terbentuk. Itu terjadi di 2005 dan 2010. Di tahun 2015 ini momentum itu tidak ada. Rupiah justru makin tertekan, daya beli turun. Padahal sedari awal pemerintah berkomitmen memfokuskan diri pada infrastruktur.
Pencabutan subsidi BBM untuk dialihkan ke pembangunan infrastruktur dibaca lain oleh investor. Pembangunan infrastruktur dianggap baru sebatas wacana, sementara ekonomi yang memanas akibat pencabutan subsidi BBM sudah terjadi. Efek domino dasar dengan naiknya tarif listrik dan elpiji tentu memukul konsumsi rumah tangga dan dunia usaha. Padahal selama ini Pajak dari rumah tangga dan dunia usahalah yang menjadi tulang punggung APBN kita.
Ketidakpercayaan investor pada proyek infrastruktur dapat dilihat dari harga saham industri semen yang negatif dibanding IHSG. Padahal IHSG sendiri naik lebih dipengaruhi oleh penurunan rupiah. Jadi jika saham semen didollarkan, minusnya akan tambah besar lagi.
Mengapa Investor Belum Percaya Proyek Infrastruktur yang dicanangkan pemerintah?
Infrastruktur adalah proyek multiyears dengan modal superbesar. Perlu kepastian investasi perlu juga kepastian komitmen pemerintah, keamanan dan stabilitas politik. Sekali berinvestasi pantang untuk berhenti karena itu akan menghapus semua investasi dalam nominal sangat besar. Contoh paling gampang adalah tonggak-tonggak beton monorel di Jakarta yang dihentikan oleh Ahok. Untuk satu buang tonggak saja nilainya ratusan miliar, berapa dana yang hilang terkubur di situ?
Berlarutnya proses politik pemilihan Kapolri dan Eksekusi Mati
Polemik pemilihan Kapolri dan Eksekusi mati Napi Narkoba kita sepakat telah menyita energi bangsa ini. Investor bahkan lebih takut lagi dengan keramaian seperti ini. Bagaimana jika tiba-tiba peta politik bergerak liar? Adakah investasi infrastruktur mereka bisa aman?
Mengulur waktu dalam ketidakpastian makro seperti ini jelas menghapus momentum baik. Secara finance ini juga sangat membahayakan. Ekonomi akan segera mencapai equilibrium baru di harga rupiah 13 ribu per dollar AS. Padahal ini baru bulan Maret, artinya gelombang harga akan berada di kisaran 12 ribu sampai dengan 14 ribu rupiah per Dollar AS.
Jika memang berani cepat eksekusi, jika tidak berani, ya batalkan saja secepatnya. Ada banyak alasan bisa dibuat untuk hal tersebut, tetapi yang pasti ekonomi Indonesia perlu momentum secepatnya untuk mengakhiri penurunan yang lebih tajam lagi.
Dalam Dunia forex, momentum yang sudah matang akan bersifat eksponensial. Bagaimana jika penurunan itu makin matang dan menciptakan krisis baru? Krisis mungkin terdengar terlalu bombastis dengan pemerintah yang baru terbentuk, tetapi penurunan daya beli, berkurangnya kemampuan membayar pajak dan mengecilnya transaksi ekonomi tentu bukan ancaman yang mengada-ada saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H