Mohon tunggu...
Febri Wicaksono
Febri Wicaksono Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Masalah Sosial Kependudukan

Dosen Politeknik Statistika STIS

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Memahami Kemiskinan: Bagaimana Penduduk Bisa Dikatakan Miskin?

21 Desember 2023   09:55 Diperbarui: 21 Desember 2023   10:06 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

WNPG 1978 merekomendasikan bahwa untuk dapat hidup layak dan sehat, seseorang membutuhkan asupan gizi minimal sebesar 2100 kalori energi setiap harinya.

GKM yang dihitung oleh BPS merujuk pada besarnya konversi rupiah yang harus dikeluarkan untuk membeli makanan atau bahan makanan yang nilai kalorinya sebesar 2100 kalori energi.

Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah makanan atau bahan makanan apa yang digunakan untuk mengukur GKM tersebut? Serta komoditas non makanan apa yang digunakan untuk mengukur GKNM?

Seperti yang kita ketahui bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia (dari Sabang sampai Merauke) dapat berbeda. Begitu juga dengan harga barang yang dikonsumsi oleh masing-masing orang juga bisa berbeda. Sebagai contoh sederhana, harga satu porsi nasi goreng yang dijual di restoran bintang lima dengan harga satu porsi nasi goreng yang dijual oleh pedagang keliling, dengan nilai kalori yang (kurang lebih hampir) sama, bisa memiliki perbedaan harga yang cukup jauh.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka BPS melihat dari pola konsumsi penduduk yang dijadikan sebagai referensi dalam penghitungan GK, yaitu mereka yang termasuk ke dalam 20% penduduk yang berada di atas Garis Kemiskinan Sementara (GKS). GKS adalah GK periode lalu yang di-inflate dengan inflasi umum (Indeks Harga Konsumen).

Sekelompok komoditas barang yang dapat memenuhi kebutuhan dasar layak yang secara rata-rata dikonsumsi paling banyak oleh penduduk referensi tersebut kemudian akan dijadikan sebagai patokan untuk mengukur GK.

Sekelompok komoditas barang tersebut tentunya dapat berbeda antar wilayah karena adanya perbedaan pola konsumsi di tiap-tiap wilayah. Sehingga, meskipun memakai standard yang sama: "the cost of basic needs", namun konversi kurs rupiah dari GK di masing-masing kabupaten/kota bisa berbeda. Hal ini disebabkan karena komoditas yang dikonsumsi di masing-masing kabupaten/kota dapat berbeda. Begitu juga dengan harga dari komoditas tersebut bisa berbeda antar kabupaten/kota. Sebagai contoh, harga beras dengan kualitas yang sama di Banda Aceh mungkin akan berbeda dengan harga beras di Jayapura.

Untuk itu, GK yang dihitung oleh BPS ada sebanyak jumlah kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Kemudian, di masing-masing kabupaten/kota, harga di pedesaan dan di perkotaan nya pun juga ada kemungkinan berbeda. Sehingga untuk masing-masing kabupaten/kota, dihitung juga GK daerah pedesaan maupun GK daerah perkotaan.

Oleh karenanya, menjawab pertanyaan yang ada di awal tulisan, bagaimana penduduk bisa dikatakan miskin?

Penduduk dikatakan miskin jika pengeluaran konsumsi mereka lebih rendah dibandingkan dengan GK yang dihitung di lokasi dimana mereka bertempat tinggal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun