Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan pada Maret 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa angka kemiskinan di Indonesia mencapai 9,36% dari total penduduk Indonesia.
Lalu, bagaimana 9,36% penduduk tersebut bisa dikatakan miskin?
BPS sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk menghitung angka kemiskinan dengan menggunakan pendekatan "the costs of basic needs", dimana kemiskinan didefinisikan sebagai kurangnya kemampuan atas pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar, baik makanan maupun bukan makanan.
Batasan suatu standard minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, termasuk kebutuhan makanan dan bukan makanan, biasa dikenal dengan istilah Garis Kemiskinan (GK).
Seseorang yang memiliki pendapatan lebih rendah dibandingkan dengan GK maka akan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Namun, dalam praktek penghitungannya, BPS menggunakan data pengeluaran konsumsi sebagai proxy untuk menghitung data pendapatan. Hal ini disebabkan karena data pendapatan yang dikumpulkan dari survei yang berbasis rumah tangga cenderung under estimate.
Rendahnya estimasi data pendapatan ini dapat disebabkan karena beberapa hal, contohnya: pertama, ada ketakutan dari banyak orang untuk membayar pajak yang jumlahnya besar. Untuk itu mereka cenderung merendahkan pelaporan data pendapatan mereka. Kedua, untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup layak, terkadang seseorang memiliki lebih dari satu pekerjaan (multiple jobs). Mereka yang memiliki pekerjaan lebih dari satu ini terkadang kesulitan untuk menghitung jumlah keseluruhan pendapatan yang mereka dapatkan dari berbagai pekerjaan yang mereka lakukan.
Penghitungan Garis Kemiskinan di Indonesia
Garis Kemiskinan (GK) adalah suatu standard minimum yang dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak. Dalam prakteknya, BPS membagi GK kedalam dua kelompok, yaitu GK Makanan (GKM) dan GK Non Makanan (GKNM).
GKM merupakan standard minimum untuk konsumsi makanan yang secara cukup diperlukan oleh setiap orang untuk hidup yang layak. Dalam menentukan batasan kelayakan konsumsi makanan, BPS mengikuti hasil rekomendasi dari Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) Tahun 1978.
WNPG merupakan forum ilmiah yang diselenggarakan untuk membahas masalah pangan dan gizi dengan melibatkan instansi terkait. Sebagai catatan, saat ini, instansi yang terkait dengan WNPG ini antara lain Kemenko PMK, Bappenas, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, BRIN, dan Badan POM RI.
WNPG 1978 merekomendasikan bahwa untuk dapat hidup layak dan sehat, seseorang membutuhkan asupan gizi minimal sebesar 2100 kalori energi setiap harinya.
GKM yang dihitung oleh BPS merujuk pada besarnya konversi rupiah yang harus dikeluarkan untuk membeli makanan atau bahan makanan yang nilai kalorinya sebesar 2100 kalori energi.
Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah makanan atau bahan makanan apa yang digunakan untuk mengukur GKM tersebut? Serta komoditas non makanan apa yang digunakan untuk mengukur GKNM?
Seperti yang kita ketahui bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia (dari Sabang sampai Merauke) dapat berbeda. Begitu juga dengan harga barang yang dikonsumsi oleh masing-masing orang juga bisa berbeda. Sebagai contoh sederhana, harga satu porsi nasi goreng yang dijual di restoran bintang lima dengan harga satu porsi nasi goreng yang dijual oleh pedagang keliling, dengan nilai kalori yang (kurang lebih hampir) sama, bisa memiliki perbedaan harga yang cukup jauh.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka BPS melihat dari pola konsumsi penduduk yang dijadikan sebagai referensi dalam penghitungan GK, yaitu mereka yang termasuk ke dalam 20% penduduk yang berada di atas Garis Kemiskinan Sementara (GKS). GKS adalah GK periode lalu yang di-inflate dengan inflasi umum (Indeks Harga Konsumen).
Sekelompok komoditas barang yang dapat memenuhi kebutuhan dasar layak yang secara rata-rata dikonsumsi paling banyak oleh penduduk referensi tersebut kemudian akan dijadikan sebagai patokan untuk mengukur GK.
Sekelompok komoditas barang tersebut tentunya dapat berbeda antar wilayah karena adanya perbedaan pola konsumsi di tiap-tiap wilayah. Sehingga, meskipun memakai standard yang sama: "the cost of basic needs", namun konversi kurs rupiah dari GK di masing-masing kabupaten/kota bisa berbeda. Hal ini disebabkan karena komoditas yang dikonsumsi di masing-masing kabupaten/kota dapat berbeda. Begitu juga dengan harga dari komoditas tersebut bisa berbeda antar kabupaten/kota. Sebagai contoh, harga beras dengan kualitas yang sama di Banda Aceh mungkin akan berbeda dengan harga beras di Jayapura.
Untuk itu, GK yang dihitung oleh BPS ada sebanyak jumlah kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Kemudian, di masing-masing kabupaten/kota, harga di pedesaan dan di perkotaan nya pun juga ada kemungkinan berbeda. Sehingga untuk masing-masing kabupaten/kota, dihitung juga GK daerah pedesaan maupun GK daerah perkotaan.
Oleh karenanya, menjawab pertanyaan yang ada di awal tulisan, bagaimana penduduk bisa dikatakan miskin?
Penduduk dikatakan miskin jika pengeluaran konsumsi mereka lebih rendah dibandingkan dengan GK yang dihitung di lokasi dimana mereka bertempat tinggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H