“Tidak bu, saya ikhlas,” tolakku.
Aku pun meninggalkan ibu itu dan pergi ke rumah sakit. Saat aku datang, ibu langsung memelukku.
“Nak, kita harus bersyukur dan mencari orang itu untuk berterimakasih padanya.”
“Siapa bu?” tanyaku dengan nada bingung.
“Ada seorang malaikat baik hati yang dikirim Tuhan untuk membantu kita. Dia telah membayar semua biaya rumah sakit adikmu.”
“HAA? Ibu tidak bercandakan?” tanyaku.
“Iya nak. Tadi suster bilang biaya pengobatan adik sudah terlunasi.”
“Syukurlah bu. Kiranya nanti jika aku bertemu dengan orang itu, aku akan sangat berterimakasih padanya.” Jawabku senang.
Aku dan ibu duduk di sebelah adikku yang sedang terbaring lemah. Ibu terlihat lebih lega dari sebelumnya. Keheningan pun mulai terasa. Ibu tak seperti biasanya, ia diam. Ibu tak mengucapkan atau pun menanyakan apa pun padaku. Aku pun mencoba membuka pembicaraan.
“Bu, maafkan aku, harusnya aku bisa mendapat pekerjaan dan membantu biaya pengobatan adik serta biaya kuliahku…hiks…hikss…” kataku menyesal.
“Andai saja ayah masih ada di sini bersama kita. Kenapa ia pergi begitu cepat meninggalkan kita di sini yang sedang sangat kesusahan?” lanjutku.