Mohon tunggu...
futihat nurul karimah
futihat nurul karimah Mohon Tunggu... Lainnya - menulis itu, ya menulis

lahir 16 tahun lalu

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

To My Mouth

18 November 2020   08:12 Diperbarui: 18 November 2020   08:19 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kata, membalik halaman bukunya perlahan, memaknai aksara demi aksara yang terpampang. Melenyapkan diri dari hingar bingar dunia, menuju sebuah ketenangan, bersama Mozart yang mengalun lembut di indra pendengarannya. Suasana Caf bergaya Eropa tempat Kata berada, sangat lenggang. Hanya beberapa pengunjung yang sedang memanfaatkan Wifi caf untuk mengerjakan tugas, maupun sekadar duduk duduk santai. 

Namun ketenangan ini tak berlangsung lama, barangkali memang nasib sial di hari jumat tanggal 13, seorang pelayan, tak sengaja menjatuhkan segelas minuman, hingga airnya tumpah ruah mengenai pengunjung meja 13.

 "Mbak nya bisa kerja? Ini, baju saya jadi kotor mbak. Harga diri mbaknya aja mungkin gak cukup buat nebus harga baju saya!" seorang pelanggan mencak mencak, memaki pelayan yang sedang mati matian menahan malu. 

Nasibnya sebagai kaum rendahan, harus serta merta tunduk pada si kaum atas. "Ma-af, saya minta maaf kak. Saya yang salah, saya yang enggak fokus. Mohon dimaafkan kak kekeliruan saya," terbata bata, menahan tangis, pelayan malang ini, meminta maaf dengan wajah dan badan tertunduk.

 "Mbak, kalau maaf bisa nyelesain masalah, saya juga terima maafnya mbak. Ini masalahnya, karna ketololan anda, baju mahal saya kotor!" wajahnya semakin memerah padam, tak kuasa menahan amarah. Barangkali setan mendukung, si pelanggan emosian ini, mengambil 2 gelas jus yang berada di meja sampingnya, menyiram si pelayan berkali kali, hingga kuyup seluruh bajunya. 

"Orang rendahan, gak tau malu, ya memang pantesnya berakhir kayak gini," senyumnya terbit sedikit, merasa puas menjejali pelayan rendahan ini dengan beragam malu. Kata tersenyum miring, suara hingar bingar percakapan dua orang berbeda kelas ini, ia hayati bersama dengan Mozart yang menambah dramatic suasana. Ia masih membalik bukunya dengan tenang, tak terusik sedikitpun dengan suara si pelanggan yang semakin lama semakin keras memaki pelayan. 

Pada halaman ke 13 bukunya, Kata merobek halamannya dengan tenang, menjentikan jari dengan lembut, dan perlahan suara hingar bingar ini mereda. Tak hanya mereda, semua seakan berhenti. Jarum jam berhenti berdetik, air yang hendak tumpah ruah keatas kepala pelayan berhenti, seolah membeku di tempatnya.

 Kata terkekeh kecil, melihat wajah sang pelanggan tampak beku, dengan ekspresi monyong. Perlahan, langkah tertatanya menuju kerumunan yang sempat mengheboh, dengan siulan siulan kecil, sembari memutar mutar robekan kertasnya, Kata menghampiri sang pelayan lalu menepuk pelan bahunya.

 Seperti terkena sihir, pelayan yang semula beku terdiam, menjadi kembali bergerak. terheran heran ia, saat melihat semua orang disekitarnya beku terdiam, seolah waktu benar benar terhenti. Matanya memicing bingung, saat seorang pria dengan jas hitam, topi hitam, dasi hitam, sedang memandanginya dengan senyum hangat. 

"Mas nya siapa ya? Lalu, ini kenapa kok semua jadi berhenti begini?" ia bertanya linglung, masih tak mengerti dengan apa yang ia lihat saat ini. Kata terkekeh, ia menyandarkan tubuhnya tenang pada tembok caf, lalu menyerahkan selembar kertas sobekan pada pelayan malang ini. 

"Di dalam lembaran kertas itu, terdapat dua pilihan. Pilih salah satunya." Jelas, sang pelayan semakin terheran heran. Belum selesai kebingungannya dengan semua orang yang tiba tiba membeku, kini ia harus memilih dua pilihan dari selembar kertas dari orang asing. Ah, tolong siapa saja, pelayan ini sedang kebingungan.

 Tangan gemetarnya, mau tak mau menerima lembaran kertas dari si pria misterius, membaca sederet kata yang tersemat.

 Selamat, Anda adalah orang terpilih, untuk mengubah nasib. Silahkan pilih, pernyataan dibawah ini.

 A. Kata sebagai pembunuh

 B. Kata sebagai penyembuh

 Hanya dua pernyataan singkat, tanpa penjelasan lebih lanjut, bermakna ambigu, pelayan ini benar benar tidak tahu apa yang harus ia pilih saat ini. mata nya memicing menatap laki laki ber jas hitam yang sedang bersedekap sambil tersenyum, "Ini saya harus pilih yang mana? Maksudnya gimana? Gapaham saya," ucap sang pelayan jujur. 

Seraya memantik api dan menyesap sebatang rokok, Kata menjawab, "Pilih saja apapun itu, mana yang kamu harapkan." 

Sang pelayan terhenyak, menimang nimang pilihan mana yang ingin ia ambil. Sambil memegang erat selembar kertas usang ini, ia menatap pelanggan yang baru saja memaki makinya, menghinanya, hingga tak tersisa lagi harga diri yang ia miliki.

 Jika mengikuti ego manusiawinya, mungkin sang pelayan ingin sekali memilih pilihan A, meski tak tahu maksudnya, setidaknya, ada kata pembunuh yang terdengar begitu kejam. 

Namun, suara ibu tempo lalu, membuatnya mengurungkan niatnya. "Enak ya ndok, sekiranya manusia bisa memilih kata apa yang ingin ia dengar, dan alam menyortir kata apa yang bisa manusia ucapkan, gaada lagi yang namanya sakit hati karena perkataan seseorang. gak ada lagi yang namanya, sakit hati karna makian keji. Dunia jadi damai, tentram dengan kata kata baik yang selalu terucap"

 Ia membuang nafas berat, "Saya, pilih B saja mas," ucapnya seraya menyerahkan selembar kertas itu kembali pada Kata. Kata tersenyum miring, "Padahal kamu bisa merasa lebih lega kalau saja memilih A."

 Namun nampaknya, suara ibu sudah benar benar terpatri pada hati sang pelayan. Ia mantap memilih pilihan A. Kata mengangguk anggukan kepala, meremas selembar kertas lalu membakarnya dengan pemantik rokoknya.

 Bagai terkena sihir untuk sekian kalinya, semua terasa berjalan mundur, jam dinding yang semula detiknya berhenti, kini mulai berjalan kembali, namun kearah berlawanan. Waktu seolah diputar kembali, baik pelayan, pelanggan dan caf bergaya Eropa ini, kembali di detik detik menjelang insiden penumpahan segelas air. 

Suasana yang tenang, Kata yang sedang duduk di mejanya seraya membalik lembaran kertas, pelanggan yang asik bermain laptopnya, dan pelayan yang sedang membawa perlahan beberapa gelas air di nampannya. Waktu, sedang diputar kembali! 

Kata membalik halaman buku ke 12, tersenyum. Inilah waktunya, sebentar lagi, perubahan nasib akan dimulai. Pelayan kehilangan keseimbangan saat mendekati meja 13, beban dari banyaknya gelas di nampannya, membuat tubuhnya oleng tak terkendali. Alhasil, badannya limbung kearah pelanggan. 

Tumpah ruahlah semua air jeruk, mengenai baju putih sutra milik pelanggan. Ah, betapa paniknya sang pelayan. Buru buru ia berjongkok, membereskan semua kekacauan, tangannya gemetar, membersihkan baju sutra yang harganya mungkin tak sanggup ia bayangkan. 

"Ma-maaf ka, ini kesalahan saya, saya yang salah, saya ceroboh, mohon dimaafkan kesalahan saya kak." Suasana caf tegang saat ini, sang pelayan harap harap cemas, menutup kedua matanya. Namun sudah semenit, ia tak kunjung mendengar kata kata makian. Mencoba memberanikan diri, ia membuka mata, melihat sekeliling.

 "Bangun mbak, jangan jongkok kayak gitu. Ini mash bisa dibersihin kok, dicuci bentar juga udah ilang nodanya. Iya saya maafin, kedepannya coba lebih hati hati ya mbak." Pelanggan bersanggul, dengan baju putih sehalus sutra ini tersenyum ramah, menepuk bahu pelayan pelan.

 Kata membalik halaman buku ke 13 nya. Terkekeh kecil, nyatanya nasib benar benar sudah berubah hanya karna sepatah kata. Ia bangun dari tempatnya, menepuk nepuk kecil jas hitamnya, lalu membenarkan posisi topi hitamnya. Sebelum benar benar pergi dari caf ini menuju penjuru dunia lain, Kata meninggalkan secarik kertas.

  • Saya adalah Kata, pedang bermata dua. Sepatah kata baik, mungkin akan menyalamatkan mu dari kematian, begitu pula, dengan kehadiran sepatah kata jahat yang mungkin bisa mengantarkanmu pada kematian. Hati hati dengan Kata. Karena ia bisa menjadi kawan, maupun lawan. Tergantung, bagaimana kamu menggunakannya.

 Rintik rintik hujan, mengiringi kepergian Kata. Asap rokok yang mengepul, juga Mozart yang masih setia mendampingi, menjadi saksi bisu, perjalanan kata menemui ratusan keburukan maupun kebaikan yang hadir hanya dari sepatah kata. 

Seperti saat ini, saat ia sedang bersandar santai, sambil menghisap dalam rokoknya, menikmati perdebatan sekelompok anak remaja di gang sempit dekat sekolah kumuh. Seorang gadis berambut pendek, yang kedua lengan bajunya tergulung brandal, mengintimidasi si gadis berkepang dua. Giginya yang terpagar warna warni menyeringai kejam, membuat lawannya tertunduk dalam.

 "Sadar dirilah sedikit, kau ini tidak pantas bergaul dengan kami. Perlu ku beri kaca? Lihat, posisi mu, sadar! Kau, tidak lebih dari pecundang jalanan, yang gak punya kelebihan apapun. Paham?" 

Gadis berkepang tergagap, meremas rok nya kuat kuat menahan tangis. "saya rasa, saya gak punya masalah dengan kalian. Kenapa kalian seperti ini?" Tawa menggelegar, gadis berambut pendek bersama antek anteknya tertawa.

 "Memang kami, berbuat apa? Toh, dari tadi kami gak melakukan kekerasan fisik apaapun. Kami, hanya membicarakan fakta. Betul teman teman?" Sautan terdengar riuh, "Tidak usah lah berlebihan. Memang fakta bukan? Kau ini memang pecundang, sampah, tidak ada yang bisa dibanggakan. Jangan bermimpi, bisa memiliki teman."

 Kata melempar rokoknya asal ke aspal jalan, lalu menginjak hingga padam apinya. Langkahnya tenang begitu hendak menghampiri segerombol remaja yang gila validasi ini, siulannya melembut seiring dengan jentikan jemarinya yang mampu membekukan waktu.

 Semua membeku, begitu pula dengan gadis kepang, yang terdiam dalam keadaan tertunduk murung. Kata tersenyum, meniup poni sang gadis berkepang, hingga ia terkesiap kaget. Mata bulatnya, tak bisa menyembunyikan kepanikan begitu sadar semua hal terdiam membeku kecuali dirinya dan pria asing ber jas hitam. 

Kata tersenyum miring, "Hai!" Gadis itu semakin tergagap, memundurkan langkahnya, cemas jika laki laki ini akan menculiknya. "si-siapa?" Kata menunjuk dirinya, "Saya?" ia lalu terkekeh kecil, "Saya orang yang bisa mengubah nasib kamu. saya tau, kata kata yang mereka ucapkan, menyakitkan bukan? Kamu bisa mengubah nasib, dengan memilih salah satu pilihan dalam kertas ini," Kata menyerahkan selembar kertas usang, halaman ke 13. 

Diambang batas percaya dan tidak, gadis itu menerima kertas usang pemberian Kata. Tangannya mengepal keras, memadang kumpulan penindasnya lalu beralih pada dua pilihan singkat yang tertera di atas kertas. Kata berdeham, memasukan kedua tangannya kedalam saku, menunggu keputusan gadis berkepang yang tengah berpikir keras. "Apa pilihan mu?" Gadis berkepang terdiam, memandang Kata lekat lekat, demi rasa sakit dari semua perkataan sialan yang hampir membuatnya putus asa hilang arah, ia berujar mantap. "Kata sebagai pembunuh."

 Kata tersenyum miring, "baiklah." 

-futihat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun