untuk bertahan diantara tekanan ini, ami setidaknya harus melakukan suatu untuk menekan rasa cemasnya. mungkin dengan bersikap seolah olah ia akan bekerja keras, membuatnya lebih tenang dari bayangan kehancuran masa depan.
pada akhirnya, ami kembali terjebak di dalam kelas ini, karena ketakutan hanya dirinya yang tak bisa menggapai cita cita. selama kelas tambahan berlangsung kepalanya begitu pening, tak ada satupun materi yang menyangkut, justru raa rendah dirinya semakin menjadi jadi. teman teman hanya mengangguk begitu pak guru menjelaskan, mereka aktif bertanya. sedangkan ami, untuk bertanya saja dia bingung. karena semuanya, tampak seperti pertanyaan baginya.
rasa cemas yang tak dapat dijelaskan ini, perlahan menggerogoti setiap inti dirinya.
                                                         *******
"baru pulang?" ibu basa basi menyapa ami.
gadis itu hanya mengangguk singkat, hendak berlalu begitu saja menuju kamar.
"sopan banget, langsung nyelonong gitu aja," geram ibu melihat tingkah ami yang tak menghiraukan kehadirannya.
air wajah ami tampak lelah, kecemasan yang tak bisa ia ungkpan, terus mengendap sendiri dalam relung hatinya. sedangkan ibu, tak mengerti apa yang ia rasakan. ami juga tidak berniat memberi tahu ibu apa yang ia rasakan, karena ibu tidak akan mengerti.
"hm," ami bergumam, lalu salim kepada ibunya.
setelahnya, ami beranjak ke kamar, merebahkan dirinya bersama semua pikiran sampahnya. terlibat dalam perang batin adalah keseharian yang ami rasakan, sesuatu yang terlihat hening diluar, namun sangat ribut di dalam sana. ami tidak mengucapkan apapun yang menciptakan kebisingan, namun rasanya ia ingin menutup telinga, karena batinnya begitu bising. ada banyak sekali perkataan dan memori yang diputar tanpa izin.
"mau jadi apa besarnya kalau nilai pelajaran aja cuma segini?"