Dan apa yang mereka pertahankan di tengah gempuran tangan besi rezim orba menjadi legitimasi kuat bagi gerakan Reformasi yang dipelopori oleh Prof. Amien Rais bersama mahasiswa dan tokoh~tokoh pembaharu lainnya.
Sikap yang yang sama juga Yani tunjukkan ketika ia Menjadi Anggota DPR RI (2009~2014), yaitu jiwa aktivis dan komitmen untuk menyuarakan kebenaran dihadapan penguasa. Meski Partainya (Partai Persatuan Pembangunan~PPP) berkoalisi dengan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Yani tetap tegas mengkritik kebijakan~kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.
Suaranya yang lantang terhadap penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Bank Century dan masalah~masalah korupsi besar lainnya membuat panas telinga korporasi dan kekuasaan. Dan dalam perhitungan politik tentu itu merugikan dirinya sendiri. Tapi menyuarakan kebenaran adalah pilihan hidup Dr. Ahmad Yani.
Meski rezim berganti, kekuasaan jatuh dan berganti dengan yang lain, Dr. Yani tetap memilih jalan menyuarakan kebenaran dan kejujuran. Sejengkalpun ia tidak berubah atas komitmen itu. Dan itulah yang membuatnya berkomitmen untuk bersama~sama dengan tokoh~tokoh bangsa lainnya membentuk KAMI.
KAMI adalah gerakan moral untuk meluruskan kiblat bangsa. Tujuannya sama, yaitu untuk menginterupsi kekuasaan yang salah dalam mengambil kebijakan. Hitungannya bukan politik kekuasaan, tetapi high politics, yaitu menyadarkan semua elit dan Masyarakat untuk sadar dalam mewujudkan cita~cita bangsa.
High Politics adalah jalan untuk meluruskan kiblat bangsa, yaitu mengedepankan kepentingan nasional daripada hanya sebatas ketersinggungan politik. High Politics tidak melihat dan memandang politik kepentingan dan politik golongan. Politik yang mengambil jalan tengah diantara degradasi moral dan luruhnya nilai~nilai kebangsaan. Itulah jalan yang diambil oleh KAMI.
Karena itu, Kehadiran KAMI sebenarnya bukan ancaman bagi kekuasaan, tetapi ancaman bagi orang~orang yang memiliki kekuasaan atau elit bebal yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan negara. Jadi kalau KAMI dianggap dalam perspektif politik praktis, tentu salah, karena KAMI bukan gerakan politik. Kalau hitungannya politik seperti itu, dan menganggap KAMI ingin merebut kekuasaan, akan memicu terjadinya pergolakan politik di tengah masyarakat, bahkan berujung pada "civil disobidiency".
Dan kalau kekuasaan hanya mengurus ketersinggungan daripada menghadapi ancaman serius yang dihadapi Indonesia, seperti ancaman itu berupa ancaman ekonomi, ancaman kedaulatan, ancaman krisis multidimens, maka akan menyebabkan kehancuran bangsa ini. Ingat Tugas Kekuasaan bukan meladeni ketersinggungan, tetapi meluruskan jalannya berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan tujuan Indonesia Merdeka.
Maka kehadiran KAMI dengan tokoh~tokohnya, seperti Prof. Din Syamsuddin, Prof. Rahmat Wahab, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, Dr. Ahmad Yani, Dr. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dkk adalah kelanjutan dari sejarah pembaharuan kaum Cendekiawan dan intelektual Indonesia untuk mengkhutbahkan pentingnya moralitas kekuasaan dan meluruskan kiblat bangsa. Seharusnya kekuasaan bersyukur dengan adanya mereka sebagai penyeimbang yang mumpuni dalam memberikan masukan bagi kebijakannya, bukan justru sebaliknya memupuk ketersinggungan dengan cara menakut~nakuti dan memenjarakan mereka.
Apabila itu terjadi, kekuasaan akan semakin rapuh dan bisa berujung pada pembangkangan sipil dan tentu memicu krisis politik. Pada akhirnya kekuasaan pun akan bangkrut.
Wallahualam Bis Shawab.