Mohon tunggu...
diraja ilmi
diraja ilmi Mohon Tunggu... -

pelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melukis Dalam Cahaya Wayang Ukur

16 Juni 2015   21:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   05:58 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“perpaduan antara seni warna, akurasi bentuk, pementasan, orkestra dan mantra-mantra menghasilkan karya yang sangat indah”. Itulah Wayang Ukur ungkap Bapak yaya salah satu penerus dari kesenian wayang ukur mbah kasman. kedatagan kami di sanggar wayang ukur yang berada di pinggiran pusat perkotaan yogyakarta disambut begitu hangat. suasana sanggar yang sejuk dengan pohon-pohon rindang di halaman depan memberikan suasana yang membuat nyaman bagi orang-orang yang tinggal disana.

Banyak seniman-seniman muda yang belajar kesenian di halaman sanggar, ataupun hanya berdiskusi dengan kawan sebayanya. ditambah dengan susana temaram lampu yang membuat syahdu suasana sanggar. kami dipersilahkan untuk memasuki ruangan pementasan. langkah pertama kaki memasuki ruangan tersebut, semerbak wangi dupa menyambut kami, begitupun seluruh barang-barang kriya yang ada didalamnya seraya menyambut kami dan berkata “sugeng rawuh”, dan kami pun duduk lesehan di tikar diatas sanggar pementasan. sapa pertama yang diucapkan pa yaya kepada kami adalah “selamat datang di sanggar ukur mbah kasman, mohon maaf jika tempatnya kurang nyaman dan apa adanya”. tapi begitulah sanggar seharusnya, terlihat seperti berantakan, akantetapi sebetulnya bernilai proses dan seni. setelah kami memperkenalkan diri masing-masing, sebelum obrolan tentang wayang ukur terlampau jauh, pak yaya mempertunjukan bagaimana wayang ukur dipentaskan.

lampu utama dimatikan, kami diminta ikut ke balik layar putih berukuran tiga kali dua meter yang berbingkai kayu ukiran motif batik. beliau membuka kain hijau yang menutupi dua dimmer (alat untuk mengatur lampu) yang lumayan cukup tua yang dibuat sendiri. lampu utama mulai dihidupkan secara perlahan, begitu lampu utama hidup kami tercengang karena begitu banyak lampu di balik layar tersebut. satu-persatu lampu di hidupkan, merah, kuning, hijau, biru dan unsur warna lain diarahkan bersamaan ke arah layar putih, kami di persilahkan untuk pindah ke balik layar utama. semua warna menyatu dalam kain putih layar. perlahan pa yaya mulai menari di balik layar sehingga menghasilkan bentuk tarian siluwet yang begitu indah berpadu dengan beragam cahaya. setelah itu muncul sepasang gunungan wayang dengan jenis yang berbeda. laki-laki berbentuk tinggi dan kokoh dan perempuan berbentuk sedikit lebih pendek dan lebar. dua gunungan tersebut disimbolkan sebagai keseimbangan hidup, dimana hidup itu harmonis, saling berdampingan, saling mengisi dan memberi mamfaat.

Penampakan dalam layar yang kami lihat adalah wayang tersebut berubah menjadi bentuk tiga dimensi dengan lampu-lampu yang menyatu dengan gunungan tersebut menjadikan hidup sosok gunungan tersebut. tidak lama gunungan tersebut menghilang dan munculah sosok krisna. perlahan krisna berjalan dan menari begitu indah dan gagah. lampu menjadi ruh atas karisma krisna dalam tarian tersebut yang menjelma seperti nyata. Seperti itulah jika kita menonton pementasan wayang ukur secara langsung. Kita tidak akan bosan, karna dalam pementasan tersebut di hadirkan berbagai kejutan pementasan. Dimana pementasannya dipadukan dengan penari yang menari di depan layar (tidak hanya menari dibalik layar) sehingga kita bisa melihat secara langsung tarian tersebut serta pemain musik yang di tempatkan di samping kanan panggung dan menghadap ke penonton. Sehingga penonton tidak hanya mendengarkan alunan merdu penyanyi tembang akan tetapi dapat melihat kecantikan penyanyi nya.

Pementasan wayang ukur adalah perpaduan dari seni pertunjukan, orkestra dan wayang. Segala unsur pementasan nya menjadi satu kesatuan yang harmoni dan menghasilkan nilai estetika yang tinggi dengan dimainkan oleh tiga dalang yang tidak bercerita dan satu narator yang membacakan lakon cerita pementasan dari awal sampai akhir pementasan. Tidak seperti wayang jogja ataupun solo dan pementasan wayang lainnya yang biasanya hanya dimainkan oleh satu dalang sebagai pembawa cerita dan memainkan wayang.

Bentuk kombinasi pementasan wayang ukur tersebut bertujuan untuk menciptakan super team (tim work yang bagus) bukan super man (yang segala sesuatunya dapat dikerjakan sendiri). Konsep tersebut mengajarkan kita akan pentingnya kebersamaan untuk membangun suatu tujuan yang mulia untuk membangun kehidupan yang damai, tentram, saling mengisi dan menghargai satu sama lain walaupun berbeda-beda (Konsep Bhineka Tunggal Ika). Unsur yang tidak kalah penting dalam pementasan wayang ukur adalah lampu yang begitu beragam warna. dibutuhkan sebanyak seratus lima puluh lampu dalam satu kali pementasan. hal ini bertujuan untuk menjadikan wayang menjadi bentuk tiga dimensi, penguat karakter dan emosi atas tokoh-tokoh wayang yang dimainkan serta memperjelas suasana lakon yang sedang diceritakan oleh seorang narator. “Tuhan itu menciptakan berbagai simbol kehidupan. begitupun tuhan ciptakan berbagai jenis warna agar manusia berpikir apa dibalik simbol warna tersebut”. ungkap pa yaya. seperti halnya tuhan ciptakan warna merah yang selalu disimbolkan sebagai bentuk amarah seseorang. begitupun putih, kuning, hijau, biru, hitam. pasti ada maksud dibalik penciptaan warna tersebut. tinggal sejauh mana manusia mau berpikir untuk menguak segala ciptaan tuhan yang akan melatih kita pada tingkatan kepasrahan yang tinggi pada Penciptanya.

Wayang ukur bukanlah wayang jogja ataupun wayang solo. akantetapi wayang ukur adalah wayang yang mengikuti perkembangan jaman tanpa menghilangkan pakem, nilai dan pesan moral dalam pewayangan. wayang ukur diciptakan atas dasar kesenian murni yang tidak di ”bakukan”. karena jika kesenian itu dibakukan maka kesenian tersebut pasti “dibekukan”. atas dasar tersebut wayang ukur tercipta dengan bentuk wayang yang berbeda dengan bentuk wayang biasanya. bentuk bahu yang biasanya pendek, dalam wayang ukur lebih dipanjangkan. bentuk lengan yang biasanya hanya sepanjang lutut, dalam wayang ukur bentuknya di panjangkan sampai mata kaki. sehingga ketika digerakan lebih dinamis dan menghasilkan bentuk estetika yang jauh lebih indah dari wayang lainnya. begitupun bentuk tokoh-tokoh dalam wayang ukur. lebih bersifat kontemporer. seperti arjuna mempunyai aji pusaka yang dapat mematikan musuh di implementaskan dalam bentuk arjuna yang dapat merubah mulutnya menjadi airsoftgun. Begitupun tokoh-tokoh yang lainnya. Hal ini berdasarkan pada konteks kehidupan jaman sekarang, dimana manusia dengan senjata begitu gagah dan berani begitu mudah untuk mematikan musuh, akan tetapi kegagahannya hanya untuk kepentingan golongannya bukan untuk membela rakyat.

Jika kita lihat secara langsung banyak sekali perbedaan dengan wayang-wayang yang ada. yang paling unik adalah bentuk hiasan dari jenis wayang sangatlah beragam, berwarna, dan ada juga yang tidak diberi warna. dari berbagai hiasan yang melekat pada tokoh wayang, selalu diberi simbol dua binatang yang berpasangan. seperti gambar dua pasang burung merak yang ada pada gunungan yang diartikan sebagai simbol cinta kaksih. Dengan pementasan wayang yang begitu indah dan bermuatan nilai-nilai perdamaian serta tidak terpaku pada penggunaan bahasa jawa saja akan tetapi multi language, sehingga seluruh masyarakat di seluruh penjuru dunia dapat memahami dan menikmati setiap pementasan wayang ukur. Dari proses tersebut wayang ukur mendapatkan penghargaan dari UNESCO sebagai warisan dunia dan sebagai bentuk pementasan wayang yang paling modern.

Dibalik prestasi tersebut ada proses panjang yang dilalui oleh mbah sigit sukasman. Laki-laki yang sering disebut mbah kasman ini lahir pada tahun 1936 dan menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 29 0ktober 2009 silam. mbah kasman sejatinya bukan seorang dalang. Lelaki 73 tahun itu justru seorang perupa. Namun, kecintaannya terhadap wayang melebihi dalang mana pun. Tenaga, pikiran, bahkan seluruh hidupnya tercurah untuk dunia pewayangan.

Sejak kecil ki kasman memang akrab dengan wayang. Aktivitas harian mbah kasman kecil selalu diisi dengan menggambar wayang. Ia bahkan memiliki sekotak wayang kertas, pemberian ayahnya. Selepas SMA, pada 1957, ki kasman masuk ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta. Tujuannya hanya satu, mengembangkan hobi menggambar wayang. Ternyata di ASRI tak ada pelajaran menggambar wayang. Meski kecewa, ki kasman tetap meneruskan pendidikannya. Sebab, ilmu yang ia dapat di bangku kuliah dinilainya tetap bermanfaat. Berbekal ilmu kuliah, ia bahkan mulai berani mengubah bentuk wayang klasik menjadi wayang kreasi baru. Gambar-gambar wayang kreasi baru itu kemudian diperlihatkan kepada Ki Prayitno Wiguno, guru ki kasman di Abiranda (sebuah lembaga pendidikan pedalangan di Keraton Yogya). sampai-sampai guru beliau marah. dan berkata “bentuk wayang itu sudah sempurna sehingga tidak boleh diutak-atik lagi,”.

mbah kasman tak patah semangat. Ia bahkan mulai berani membuat wayang kreasinya itu dengan bahan dari kulit kerbau. Saat itu ia membuat tokoh wayang Petruk dan Gareng yang agak berbeda dengan pakem yang sudah ada. Wayang kreasi baru Sukasman ini lebih menonjolkan ciri khas kedua tokoh punakawan itu. Misalnya, ia lebih menonjolkan kecacatan mata, tangan, dan kaki Gareng. Kegemaran ki kasman mengkreasikan wayang itu masih terus berlanjut saat ia bekerja di Jakarta sebagai dekorator, selepas lulus ASRI pada 1962. Ia bahkan dengan bangga memamerkan gambar-gambar wayang kreasi barunya saat mendapat kesempatan mengikuti World Fair di New York pada 1964. Awal 1965, beberapa bulan setelah pulang dari New York, ki kasman merantau ke Belanda. Semangat mengkreasikan wayang semakin menjadi-jadi. Ia terus saja membuat gambar-gambar wayang kerasi baru dan menjualnya dari pintu ke pintu. Ia bahkan tak peduli harus menjadi buruh cuci piring di restoran, sekadar bisa bertahan hidup dan membeli peralatan gambar untuk menyalurkan ide-ide kreatifnya. Pada Februari 1974, ki kasman kembali ke Indonesia. Sebulan kemudian, ia mengikuti Pekan Wayang II di Jakarta. Ia memamerkan sejumlah anak wayang kreasi barunya itu. Banyak yang mencemooh, tapi ada satu orang yang memuji, yaitu Pak Budiardjo (menteri penerangan yang juga penggemar wayang). ki kasman hanya terhenyak saat pak Budiardjo menanyakan nama wayang kreasinya itu. pada saat itu ki kasman tidak pernah terpikir untuk memberi nama wayang buatan nya. Akhirnya secara spontan beliau menjawab, ini wayang ukur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun