Mohon tunggu...
Funpol
Funpol Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Tumbuh dan Menggugah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi Rendah, Perlunya Kita Belajar dari Ki Hadjar Dewantara

27 November 2022   21:41 Diperbarui: 27 November 2022   22:33 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setidaknya berdasarkan data survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019 menunjukkan negara Indonesia berada di peringkat ke 62 dari 70 negara terkait dengan budaya literasi masyarakat. Artinya Indonesia berada pada 10 besar negara dengan tingkat literasi yang rendah.

Rendahnya tingkat literasi tersebut, boleh jadi karena lembaga pendidikan sebagai poros utama pembangunan sumber daya manusia (SDM) tak menunjang peningkatan pendidikan literasi kita. Akhirnya, anak-anak di sekolah mengalami kepasifan dalam proses belajarnya; ketumpulan nalar kritis murid.

Hal ini karena pendidik atau guru dijadikan sebagai sumber kebenaran mutlak. Guru sebagai subjek dan murid sebagai objeknya. Terkadang, pemberontakan murid kepada sang guru selalu dijadikan dalih kerusakan moral atau akhlak murid. Padahal belum tentu demikian.

Seperti kata-kata Soe Hok Gie, sejatinya guru bukan 'dewa' dan murid bukan 'kerbau.' Artinya, dalam lingkungan pendidikan, tak selalu apa yang keluar dari mulut sang guru adalah kebenaran mutlak, begitupun sebaliknya, murid juga bukan objek pasif yang tak bisa mengutarakan kebenaran yang sama. Kedunya terikat dalam relasi kolektif kolegial; saling memberi manfaat satu sama lain.

Kondisi lain yang turut memprihatinkan pendidikan nasional kita saat ini adalah peningkatan tunjangan guru yang tak sebanding lurus dengan peningkatan kompetensi guru itu sendiri. Hal ini berdasarkan riset Semeru tahun 2021.

Dalam riset tersebut menunjukkan kualitas lulusan PPG (Pendidikan Profesi Guru) prajabatan tak jauh berbeda dengan guru lulusan S-1 kependidikan. Tes pengetahuan materi dan pedagogi guru PPG memang lebih tinggi dibandingkan dengan non-PPG. Namun, kualitas murid yang diajar dengan guru PPG dan non-PPG tak jauh berbeda secara signifikan.

Artinya, kenaikan tunjangan guru tidak selalu mengantarkan seorang guru tersebut untuk meningkatkan perannya di dalam kelas. Hal ini perlu menjadi evaluasi bersama untuk kita semua.

Oleh karena itu, penting sekali menciptakan pendidikan sebagai sebuah sistem yang formil (lembaga pendidikan, sekolah, kurikulum, dll) yang diberengi dengan pendidikan sebagai sebuah kebudayaan. Salah satunya yaitu pendidikan kebudayaan dalam semangat literasi di tengah masyarakat.

Literasi di sini tentu saja memiliki makna yang tak sempit. Menurut KBBI, literasi dimaknai sebagai kemampuan menulis dan membaca, kemampuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu. Namun, di era digital 4.0 makna literasi mengalami perkembangan signifikan, literasi di era ini juga penguasaan terhadap literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia atau disebut sebagai literasi baru (new literacy). 

Tantangan untuk meningkatkan kemampuan literasi masyarakat ke depan akan semakin kompleks. Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi yang kreatif dalam menumbuhkan kesadaran literasi di tengah masyarakat yang semakin berkembang.

Melihat Ki Hadjar Dewantara 

Berbicara mengenai pendidikan literasi, penulis ingin mengambil contoh salah satu tokoh pendidikan nasional Indonesia yaitu Ki Hadjar Dewantara. Sering kali tokoh ini dijadikan simbol ketika merayakan hari pendidikan nasional ataupun hari guru. Namun, minim melihat sosoknya sebagi pegiat literasi.

Sosok Ki Hadjar Dewantara terkenal sebagai seorang pendiri 'Taman Siswa' cikal bakal lembaga pendidikan nasional. Namun, Taman Siswa bukanlah gagasan yang lahir dari ruang hampa, melainkan ia lahir dari proses pergumulan intelektual yang kritis terhadap kondisi bangsa Indonesia.

Ia lahir sebagai bangsawan Jawa dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ki Hajar Dewantara ternyata adalah seorang jurnalis yang kritis. Keterlibatannya dalam dunia jurnalistik lantaran dirinya gagal menjadi dokter di STOVIA (School tot Opleiding Van Indische Artsen), sekolah dokter milik Belanda di Jakarta.

Ki Hadjar Dewantara kemudian bergabung dengan beberapa organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij. Keterlibatannya dalam organisasi tersebut, kemudian mendorong dirinya tumbuh menjadi jurnalis yang kritis.

Beberapa risalah yang ditulisnya pernah membuat Belanda ketakutan. Salah satu risalah yang pernah ia tulis adalah "Als ik eens Nederlander was" (Andai aku seorang Belanda) pada Juli 1913. Risalah ini dicetak sebanyak 5.000 eksemplar dan membuat pemerintah Hindia-Belanda naik pitam, karena menggugah rasa nasionalisme dan kebangsaan rakyat Indonesia. Hingga akhirnya 'Tiga Serangkai' (Danudirja Setiabudi, dr. Cipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara) diasingkan oleh Belanda.

Dalam pengasingan inilah KI Hadjar Dewantara dengan segala keterbatasannya menjadi jurnalis surat kabar di majalah Belanda seperti "Het Volk" dan "De Nieuwe Grone Amsterdamer." Majalah ini memberi kesempatan kepada 'Tiga Serangkai' untuk menulis dan menyalurkan pikiran-pikiran tentang cita-cita perjuangan kemerdekan bangsa Indonesia.

Dari pemaparan di atas, penulis ingin menyampaikan pesan penting bahwa gagasan besar itu tidak muncul dari ruang yang statis melainkan lahir dari pembacaan alam pikiran yang kritis dan dinamis. KI Hajar Dewantara sebagai role model, bagaimana gagasan besar 'Taman Siswa' itu adalah buah pikiran dari budaya literasi yang tinggi. Ia tidak hanya sebagai seorang pelopor dalam tindakan (man of action) melainkan juga sebagai seorang pemikir (man of idea) yang memiliki kemampuan literasi menembus batas-batas zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun