Mohon tunggu...
Fulgensius
Fulgensius Mohon Tunggu... Penulis - Fiat Justitia Ruat Caelum, Salus Populi Supreme Lex

Hasta La Victoria siempre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lewotobi dan Seroja: Mengapa Kita Tak Pernah Belajar dari Alam?

6 November 2024   09:16 Diperbarui: 6 November 2024   09:24 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika badai Seroja menghantam Nusa Tenggara Timur pada 3-12 April 2021, ribuan rumah luluh lantak, dan banyak jiwa melayang. Bencana ini menelan 171 korban jiwa dan menyebabkan 48 orang hilang. Luka itu masih membekas, menyisakan kepedihan yang mendalam di hati masyarakat.

Tetapi baru saja kita mulai bangkit, duka yang sama datang lagi, kali ini lewat letusan Gunung Lewotobi Laki-Laki pada 4 November 2024 di tengah malam. Letusan tersebut menewaskan 9 orang, dan satu orang lainnya dalam kondisi kritis.

Dengan korban jiwa dan luka-luka yang kembali berjatuhan, bencana ini menggugah tanya besar: apakah keselamatan warga benar-benar menjadi prioritas, atau sekadar retorika politik kala pemilu?

Pada malam saat Lewotobi meletus, tak ada sirene, tak ada sinyal peringatan. Hanya kegelisahan yang menyusup dalam hujan dan petir, mengintai tanpa tanda. Seperti badai Seroja, bencana ini mengejutkan tanpa kesiapan.

Lagi-lagi, nyawa terenggut, dan warga kembali menjadi korban dari sistem mitigasi yang seharusnya sudah jauh lebih baik. Kapan pemerintah akan sungguh-sungguh memperhatikan daerah rawan bencana seperti NTT?

Kita tahu bahwa bencana alam adalah keniscayaan. Indonesia, khususnya wilayah-wilayah seperti NTT, selalu berada di bawah bayang-bayang potensi bencana. Sayangnya, mitigasi dan peringatan dini tampak lebih sebagai komitmen kosong.

Setiap musim pemilu, rakyat disuguhi janji-janji muluk dari mereka yang mengklaim peduli kesejahteraan. Tapi, di tengah situasi genting seperti ini, di mana janji-janji itu?

Ketika badai Seroja menghantam Nusa Tenggara Timur, kerusakan yang ditinggalkannya begitu mendalam, ribuan rumah hancur, dan banyak nyawa melayang. Tragedi ini seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk lebih serius dalam menyiapkan sistem mitigasi dan peringatan dini.

Namun, waktu berlalu tanpa perubahan berarti. Letusan Gunung Lewotobi kembali menorehkan duka yang serupa, menunjukkan pola yang sama: bencana terjadi, tetapi masyarakat masih harus menanggung dampak dari minimnya perlindungan.

Meski berita tentang korban mengisi headline sesaat, perhatian hanya bertahan sejenak, lalu meredup, meninggalkan warga dalam kerentanan yang sama.

Kita, kaum muda, tidak bisa tinggal diam melihat hal ini terjadi berulang kali. Sebagai generasi yang melek teknologi, kita punya kekuatan untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan bencana.

Mari kita mendorong alokasi anggaran yang tepat untuk mitigasi, memperjuangkan peringatan dini yang bisa diakses warga dengan mudah, dan memastikan janji politik tidak hanya berhenti pada kata-kata kosong.

Selama ini, kita menyaksikan bagaimana retorika pemerintah begitu nyaring di musim kampanye, tetapi memudar saat bencana melanda.

Di titik ini, sudah cukup. Nyawa dan kesejahteraan bukan sekadar angka, bukan bahan kampanye. Pemerintah harus sadar bahwa perlindungan bagi masyarakat adalah tanggung jawab yang harus diemban sepanjang waktu, bukan hanya ketika suara dibutuhkan.

Kita tak ingin lagi menjadi bangsa yang mengingat bencana hanya saat pemilu datang. Badai Seroja dan letusan Lewotobi adalah peringatan keras, panggilan bagi semua untuk lebih peduli dan bertindak. Cukup sudah rasa iba yang berulang tanpa hasil nyata.

Kita tidak bisa hanya bersimpati pada korban, kita harus bertindak. Mari mendorong perubahan, menuntut sistem yang benar-benar melindungi, dan memastikan bahwa nyawa bukan sekadar angka statistik yang hilang dalam ingatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun