Ketika badai Seroja menghantam Nusa Tenggara Timur pada 3-12 April 2021, ribuan rumah luluh lantak, dan banyak jiwa melayang. Bencana ini menelan 171 korban jiwa dan menyebabkan 48 orang hilang. Luka itu masih membekas, menyisakan kepedihan yang mendalam di hati masyarakat.
Tetapi baru saja kita mulai bangkit, duka yang sama datang lagi, kali ini lewat letusan Gunung Lewotobi Laki-Laki pada 4 November 2024 di tengah malam. Letusan tersebut menewaskan 9 orang, dan satu orang lainnya dalam kondisi kritis.
Dengan korban jiwa dan luka-luka yang kembali berjatuhan, bencana ini menggugah tanya besar: apakah keselamatan warga benar-benar menjadi prioritas, atau sekadar retorika politik kala pemilu?
Pada malam saat Lewotobi meletus, tak ada sirene, tak ada sinyal peringatan. Hanya kegelisahan yang menyusup dalam hujan dan petir, mengintai tanpa tanda. Seperti badai Seroja, bencana ini mengejutkan tanpa kesiapan.
Lagi-lagi, nyawa terenggut, dan warga kembali menjadi korban dari sistem mitigasi yang seharusnya sudah jauh lebih baik. Kapan pemerintah akan sungguh-sungguh memperhatikan daerah rawan bencana seperti NTT?
Kita tahu bahwa bencana alam adalah keniscayaan. Indonesia, khususnya wilayah-wilayah seperti NTT, selalu berada di bawah bayang-bayang potensi bencana. Sayangnya, mitigasi dan peringatan dini tampak lebih sebagai komitmen kosong.
Setiap musim pemilu, rakyat disuguhi janji-janji muluk dari mereka yang mengklaim peduli kesejahteraan. Tapi, di tengah situasi genting seperti ini, di mana janji-janji itu?
Ketika badai Seroja menghantam Nusa Tenggara Timur, kerusakan yang ditinggalkannya begitu mendalam, ribuan rumah hancur, dan banyak nyawa melayang. Tragedi ini seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk lebih serius dalam menyiapkan sistem mitigasi dan peringatan dini.
Namun, waktu berlalu tanpa perubahan berarti. Letusan Gunung Lewotobi kembali menorehkan duka yang serupa, menunjukkan pola yang sama: bencana terjadi, tetapi masyarakat masih harus menanggung dampak dari minimnya perlindungan.
Meski berita tentang korban mengisi headline sesaat, perhatian hanya bertahan sejenak, lalu meredup, meninggalkan warga dalam kerentanan yang sama.