Resensi Novel "Bogor Mengaduk Waktu"
Bogorians.. pernahkah Anda terbayang bagaimana kehidupan Kota Bogor masa kolonial? Ketika gedung cantik yang kini dikenal sebagai Balaikota Bogor (dahulu bernama Societiet) masih menjadi tempat berkumpul kaum elit Eropa untuk menikmati pesta-pesta meriah dan hiburan mewah? Ketika jalanan masih tenang, bukan oleh hiruk-pikuk angkot, melainkan dentingan roda delman yang membawa para penumpang melintasi jalur-jalur asri kota.
Jika Anda hendak menginap, Hotel Pasar Baroe menawarkan kenyamanan terbaik bagi para wisatawan yang ingin menikmati asrinya Bogor. Sementara itu, sore yang sejuk terasa lebih sempurna dengan menikmati roti lezat dari Tan Ek Tjoan, sembari membaca koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie untuk mengikuti kabar terbaru.
Sekilas gambaran Bogor yang masih penuh dengan pesona kolonialnya disajikan dengan cara yang cukup menarik dalam buku "Bogor Mengaduk Waktu" karya Avia Maulidia. Novel ini menyajikan perpaduan yang cukup apik antara fiksi dan sejarah yang membawa pembaca pada petualangan menarik dan seru dari tokoh utama Catur dalam mencari Ayah kandungnya yang hilang.
Meski petualangan ini terbatas pada ruang lingkup kota Bogor, ketegangan dan rasa penasaran tetap terjaga berkat latar yang dibangun saat Bogor mengalami kekacauan waktu. Bogor masa kini (2023) bercampur dengan Bogor satu abad yang lalu, menciptakan suasana unik di mana dua zaman seolah berjalan berdampingan.
Deskripsi Kota Bogor, baik masa kini maupun masa kolonial juga terbilang hidup. Pembaca diajak menyusuri berbagai sudut kota bogor, berkenalan dengan tokoh-tokoh besar yang pernah mewarnai sejarah Bogor yang beberapa di antaranya mungkin sudah terlupakan.Â
Semua elemen ini membuat perjalanan dalam novel terasa menyenangkan dan informatif tanpa kehilangan daya tarik petualangannya (ini mengingatkan saya pada karya-karyanya Dan Brown atau ES Ito namun versi lokal)
Bagian lain yang menarik adalah interaksi antar tokoh dalam novel ini yang sarat dengan pesan moral, namun disampaikan dalam narasi percakapan yang kasual, campuran bahasa indonesia dan sunda khas orang bogor sehingga akan terasa relate dengan kita warga lokal. Namun bagian yang paling saya sukai adalah persahabatan antara tokoh-tokoh dari masa lalu: Margana (pribumi), Han (Belanda), dan Tan Bok Nio (Tionghoa).Â
Persahabatan mereka menembus batas-batas etnis dan melawan norma segregasi yang umum berlaku di bawah pemerintahan kolonial. Di bagian ini, penulis seakan ingin menunjukkan bahwa kolonialisme adalah urusan orang dewasa, sementara bagi anak-anak, persahabatan dan kemanusiaan lebih penting daripada perbedaan ras atau status sosial. Anak-anak mampu melampaui aturan yang mengkotak-kotakan manusia dan menunjukkan bahwa pada dasarnya hubungan antar manusia lebih sederhana dan tulus, tanpa terbebani oleh strata atau prasangka sosial yang kompleks.
"Bogor Mengaduk Waktu"Â karya Avia Maulidia bukan hanya sekadar novel petualangan yang seru, tetapi juga sebuah karya yang akan membangkitkan kecintaan kita terhadap Kota Bogor.Â
Dengan alur yang membawa pembaca melintasi dua masa yang berbeda, novel ini memperkenalkan Bogor dalam nuansa kolonial dan modern secara bersamaan, menjadikan kota ini lebih dari sekadar latar cerita.Â
Elemen sejarah dan budaya yang disisipkan dengan cukup baik mampu membuat kita melihat Bogor dari sudut pandang baru, sebuah kota yang penuh dengan cerita dan kenangan.
Saya merekomendasikan buku ini juga untuk para pelajar, karena novel ini bukan sekadar cerita fiksi. Ia membuka pintu untuk mengenal sejarah dan budaya Bogor dengan cara yang menyenangkan.
Buku ini memberikan pemahaman bahwa sejarah adalah bagian dari identitas kita sebagai warga kota Bogor. Membaca "Bogor Mengaduk Waktu" bisa menjadi awal yang menarik untuk mencintai kota ini dan memahami warisan yang ada di sekitar kita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H