"Terus kamu tetep milih mempertahankan?"Â
"Aku akhirnya ngomong ke suami untuk tetap mempertahankan. Suami pun ternyata juga berpikiran sama. Kami sempat berdiskusi dengan keluarga besar, mereka mendukung untuk menggugurkan sebenarnya jika itu memang pilihan kami.Â
Tapi aku dan suami mikir, masak aku harus menggugurkan kandungan hanya karena aku takut anak yang dipercayakan Allah ke kami bakalan lahir cacat? Semuanya belum jelas kan? Masak kami harus merampas hak hidupnya?" kenangnya dengan pandangan mata mengawang. Batin saya perih, membayangkan saya dalam kondisi dilema seperti itu.Â
"Kami akhirnya menunggu, melihat perkembangan 2 minggu ke depan, jika janin itu bertahan, kami juga bertahan. Dan akhirnya, usai 2 minggu itu, janin memang bertahan. Kami bertahan dengan segala kemungkinan resiko yang bakal terjadi ke depannya," ceritanya. Saya mengedipkan mata cepat-cepat, berusaha mencegah agar air mata tak tumpah saking harunya mendengar keteguhan semacam ini.
"Selama di dalam kandungan, semua normal. Kami rutin memantau perkembangannya. Tapi pantauan seperti itu belumlah cukup. Fisik mungkin normal, tapi kami belum tahu kecacatan lain yang mungkin terjadi jika bayi itu belum lahir,
"Jadi sewaktu Cika -nama samaran- akhirnya lahir, kami melakukan serangkaian tes. Echocardiography untuk mengetahui ada kelainan di jantungnya atau nggak, tes mata untuk melihat ada katarak atau nggak, CT scan untuk melihat ada kelainan di otaknya atau nggak juga test OAE, dan BERA untuk melihat ada tidaknya gangguan di telinganya. Semuanya normal, kecuali tes OAE dan BERA yang menunjukkan bahwa dia ternyata mengalami gangguan pendengaran sangat berat," ujarnya dengan nada suara penuh ketegaran.
Untungnya, Joli dan suaminya memiliki pekerjaan yang setidaknya walaupun mungkin tetep mpot-mpotan mereka masih mampu untuk membiayai serangkaian test tersebut. Saya tidak bisa membayangkan jika yang di posisi mereka adalah orang-orang dengan kondisi keuangan yang jauh dari kata mampu. Untuk biaya persalinan saja, pasti sudah mikir, apalagi untuk melakukan serangkaian test semacam itu.Â
"Jadi di balik daun teliga itu kan ada saraf kan, Da? Nah saraf ini yang akan menyalurkan suara ke otak ketika ada bunyi masuk. Untuk orang normal anggap saja misalnya sarafnya ada 15 ribu nah, saraf Cika ini anggap saja hanya 500. Jadi bisa dibayangkan kan bagaimana bunyi bisa masuk ke telinganya. Bunyi yang bisa masuk hanya setara dengan bunyi pesawat terbang yang melaju di dekatnya," jelasnya tentang kondisi ketulian yang dialami Cika. Saya mengangguk-angguk, meskipun tidak sepenuhnya mengerti.
"Sabar, Jol! Setiap anak itu istimewa. Aku yakin anak kamu juga secerdas kamu!" saya berusaha menghibur, meskipun saya mengutuki diri saya sendiri karna  tidak pandai berbasa-basi mengeluarkan semangat yang lebih baik dari itu. Kawan saya ini orang yang cerdas bahkan menurut saya mendekati jenius, makanya hanya kalimat itu yang terlintas di benak saya untuk menyemangatinya.
"Banyak Jol, anak yang kena Rubella lebih parah dari Cika" ujar saya  berusaha menghibur lagi.