Mohon tunggu...
Nur Rohmi Aida
Nur Rohmi Aida Mohon Tunggu... lainnya -

ingin berkeliling dan mendapati segala hal keindahan yang dimiliki bumi ini...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pada Sebuah Perjalanan Bertemu Rubella

28 September 2018   15:49 Diperbarui: 30 September 2018   08:09 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://sehatnegeriku.kemkes.go.id

"Suaraku terlalu kenceng nggak sih? Ntar anak kamu bangun lagi?" tanya saya pada seorang teman lama yang sudah tidak berjumpa bertahun-tahun lamanya. Saya melirik jam di Hp, sudah hampir dini hari. Waktu yang terlalu larut untuk bercakap-cakap. Tapi ya mau kapan lagi? Jarang ada kesempatan seperti ini. Menginap di rumah seorang kawan lama yang kebetulan suaminya sedang dinas ke luar kota. Awalnya sempat tidak enak, saya kemalaman tiba di rumahnya di sebuah kawasan perumahan Magelang. Pukul 23.00, molor 2 jam dari waktu janjian saya. Waktu yang tidak etis untuk bertamu ke rumah orang yang sudah berkeluarga rasanya. Untung dia masih bersedia membukakan saya pintu.

Kawan saya diam sesaat. "Santaii, kamu mau teriak-teriak pun dia nggak bakal keganggu."

"Ohh, ya? Kayak kamu berati, kalau tidur ngebo, nggak gampang kebangun," goda saya.

Dia hanya terkekeh. Kami lantas kembali bercakap-cakap panjang kali lebar. Bayangkan saja, dua orang sahabat lama, yang sudah tidak pernah bertemu bertahun-tahun, dan meskipun sekarang sudah ada medsos tapi tetap saja jarang berkomunikasi, tentu saat bertemu ada begitu banyak hal yang bisa saling kami bagi.

Namanya Joli -nama samaran-. Sahabat lama saya ini, seseorang yang  hidupnya terlihat begitu bahagia dan sempurna. Kurang apa lagi? Suaminya sudah mapan sebagai seorang yang bekerja di pemerintahan, anak-anaknya dua, lucu plus imut-imut kalau melihat foto yang pernah ia pasang di medsos. 

Pun dirinya, sudah mapan sebagai pegawai negri. Yeahh, sebuah kehidupan yang rasanya kontras lah dengan saya yang masih terombang-ambing dalam banyak ketidakjelasan.

"Huaaaa......" dari arah dalam kamar yang terbuka, suara lengkingan bocah memecah keheningan malam. Keras pada awalnya, namun beberapa saat kemudian semakin pelan dan berhenti. Kawan saya berjalan ke kamar, namun sebentar kemudian dia sudah kembali.

"Berarti aku perlu memelankan suara ini. Hihi, kasian ntar kalau dia kebangun," ujar saya. Ahh, saya masih terbawa kebiasaan lama kalau ngobrol dengannya, cekakak-cekikik, heboh, tak peduli kanan-kiri. 

Woyy, hidup sudah berubah! Ingat saya dalam hati.

Kawan saya menarik nafas sesaat. "Kamu mau teriak yang kenceng-kenceng to, dia nggak akan kebangun!"

"Lah, itu tadi?" saya masih belum menyadari ada getar dalam ucapannya barusan.

"Biasa. Anak kecil kalau malam kan gitu."

"Ya tetep lah, keganggu."

"Dia nggak akan denger," meski lemah, tapi ada penekanan dalam kalimatnya. Tatapan matanya kosong ke depan, seperti menghindari memandang saya.

Saya mengernyit. Menyadari, bahwa ada sesuatu yang belum ia ceritakan.

"Anakku itu, pengguna ABD. Jadi kalau dia sedang tidak pakai ABD ya kamu mau teriak-teriak di dekat nya pun dia nggak akan denger."

Saya diam sesaat. Tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Saya seperti ditampar Tuhan selama beberapa detik. Kehidupan yang sebelumnya saya pandang sempurna, ternyata ada setitik riak kepedihan. Dan sahabat macam apa saya ini? Padahal Magelang bukanlah wilayah luar pulau, tapi baru hari itu saat usia anak keduanya menginjak 2 tahun saya baru tau dan baru menyempatkan diri menengoknya padahal saya sering ke Jogja. Menyempatkan diri ke Magelang, tentunya bukan perkara susah jika ditempuh dari Jogja andaikan saya punya niatan. Tapi ahh, lagi-lagi, saya terlalu sering bersembunyi dalam dalih kesibukan untuk sekedar menengok seorang kawan.

"Waktu hamil, aku kena campak Rubella, panas dan bintik-bintik merah," ceritanya lagi. Kini giliran saya menghela nafas. Lagi-lagi, saya harus mendengar tentang TORCH. Beberapa waktu sebelumnya, saya pernah membahas pnyakit ini dengan seorang teman.

TORCH (Toksoplasma, Rubella, CMV dan Herpes), virus yang merupakan musuh utamanya bagi para wanita dan anak-anak karena bisa menyebabkan beragam kecacatan dan kelainan. Rubela sendiri adalah virus yang namanya populer belakangan ini lantaran vaksin MR untuk mencegah virus ini sempat diwarnai polemik. Yah, Rubella, Sebuah virus yang siapa sangka sudah membawa korban sahabat saya sendiri. 

"Pas trimester pertama kehamilan, ternyata aku positif Rubella. Dokter udah ngasih tau segala kemungkinan yang bakal terjadi jika seorang Ibu hamil kena Rubella. Kehamilan awal kena Rubella itu, kemungkinan besarnya memang bayi lahir dengan kecacatan. Entah jantung bocor, pertumbuhan tidak sempurna, autis, atau tuli," ujarnya lagi. 

Sebagai orang yang pernah bekerja di Rumah Sakit, informasi ini bukan hal baru bagi saya. Rubella memang cukup meyeramkan, namun mendengar langsung dari orang dekat yang mengalami sendiri akibat Rubella, informasi itu jadi jauh lebih menggetarkan hati.

"Sewaktu aku sama suami dikasih tahu informasi itu, Da, hatiku hancur sekali rasanya. Ibu mana, yang nggak remuk diberitahu kemungkinan besar anaknya bakal lahir cacat? Waktu itu dokter udah ngasih alternatif untuk digugurkan. Pumpung belum ada nyawanya."

"Terus kamu tetep milih mempertahankan?" 

"Aku akhirnya ngomong ke suami untuk tetap mempertahankan. Suami pun ternyata juga berpikiran sama. Kami sempat berdiskusi dengan keluarga besar, mereka mendukung untuk menggugurkan sebenarnya jika itu memang pilihan kami. 

Tapi aku dan suami mikir, masak aku harus menggugurkan kandungan hanya karena aku takut anak yang dipercayakan Allah ke kami bakalan lahir cacat? Semuanya belum jelas kan? Masak kami harus merampas hak hidupnya?" kenangnya dengan pandangan mata mengawang. Batin saya perih, membayangkan saya dalam kondisi dilema seperti itu. 

"Kami akhirnya menunggu, melihat perkembangan 2 minggu ke depan, jika janin itu bertahan, kami juga bertahan. Dan akhirnya, usai 2 minggu itu, janin memang bertahan. Kami bertahan dengan segala kemungkinan resiko yang bakal terjadi ke depannya," ceritanya. Saya mengedipkan mata cepat-cepat, berusaha mencegah agar air mata tak tumpah saking harunya mendengar keteguhan semacam ini.

"Selama di dalam kandungan, semua normal. Kami rutin memantau perkembangannya. Tapi pantauan seperti itu belumlah cukup. Fisik mungkin normal, tapi kami belum tahu kecacatan lain yang mungkin terjadi jika bayi itu belum lahir,

"Jadi sewaktu Cika -nama samaran- akhirnya lahir, kami melakukan serangkaian tes. Echocardiography untuk mengetahui ada kelainan di jantungnya atau nggak, tes mata untuk melihat ada katarak atau nggak, CT scan untuk melihat ada kelainan di otaknya atau nggak juga test OAE, dan BERA untuk melihat ada tidaknya gangguan di telinganya. Semuanya normal, kecuali tes OAE dan BERA yang menunjukkan bahwa dia ternyata mengalami gangguan pendengaran sangat berat," ujarnya dengan nada suara penuh ketegaran.

Test BERA Sumber: https://www.indiamart.com
Test BERA Sumber: https://www.indiamart.com
Saya menelan ludah, meski saya belum berkeluarga dan mempunyai anak, tapi membayangkan seorang bayi harus dites macam-macam seperti itu tentu sebagai orang tua perasaannya bakal sangat trobrak-abrik. Mana tega? Seperti test BERA ( Brainstem Evoked Response Audiometr) dimana sang anak harus dipasang beberapa alat di kepalanya, ahh, saya tak mau membayangkan. 

Untungnya, Joli dan suaminya memiliki pekerjaan yang setidaknya walaupun mungkin tetep mpot-mpotan mereka masih mampu untuk membiayai serangkaian test tersebut. Saya tidak bisa membayangkan jika yang di posisi mereka adalah orang-orang dengan kondisi keuangan yang jauh dari kata mampu. Untuk biaya persalinan saja, pasti sudah mikir, apalagi untuk melakukan serangkaian test semacam itu. 

"Jadi di balik daun teliga itu kan ada saraf kan, Da? Nah saraf ini yang akan menyalurkan suara ke otak ketika ada bunyi masuk. Untuk orang normal anggap saja misalnya sarafnya ada 15 ribu nah, saraf Cika ini anggap saja hanya 500. Jadi bisa dibayangkan kan bagaimana bunyi bisa masuk ke telinganya. Bunyi yang bisa masuk hanya setara dengan bunyi pesawat terbang yang melaju di dekatnya," jelasnya tentang kondisi ketulian yang dialami Cika. Saya mengangguk-angguk, meskipun tidak sepenuhnya mengerti.

"Sabar, Jol! Setiap anak itu istimewa. Aku yakin anak kamu juga secerdas kamu!" saya berusaha menghibur, meskipun saya mengutuki diri saya sendiri karna  tidak pandai berbasa-basi mengeluarkan semangat yang lebih baik dari itu. Kawan saya ini orang yang cerdas bahkan menurut saya mendekati jenius, makanya hanya kalimat itu yang terlintas di benak saya untuk menyemangatinya.

"Banyak Jol, anak yang kena Rubella lebih parah dari Cika" ujar saya  berusaha menghibur lagi.

"Iya, alhamdulillah...  Alhamdulillah dia hanya tuli," ujarya getir. Mendadak saya jadi merasa sangat bersalah dengan ucapan saya barusan.

"Aku masih bersyukur. Memang banyak anak lain yang terkena Rubella  lebih berat dari Cika. Aku sudah baca-baca dan ketemu dengan orang tua lain yang anaknya juga kena Rubella. Ada yang sampai nggak bisa ngapa-ngapain, bahkan ada yang jantungnya kebalik. Ada juga yang kecacatannya komplikasi." lanjutnya lagi.

Realita kehidupan, memang benar-benar masalah sudut pandang. Dan yahh, dia masih Joli yang saya kenal dulu. Perempuan cerdas, tangguh dan selalu pandai melihat segalanya dengan kacamata penuh syukur untuk apapun yang dialaminya.

Jika mengutip laman dari sehatnegeriku.kemkes.go.id Komplikasi dari campak bahkan dapat menyebabkan kematian jika yang dialami adalah Pneumonia (radang Paru) dan ensefalitis (radang otak). Dikatakan, sekitar 1 dari 20 penderita Campak akan mengalami komplikasi radang paru dan 1 dari 1.000 penderita akan mengalami komplikasi radang otak

Infeksi Rubella pada ibu hamil bahkan dapat menyebabkan keguguran sedangkan  kecacatan permanen pada bayi yang dilahirkan atau dikenal dengan Congenital Rubella Syndrome(CRS)  bisa berupa ketulian, gangguan penglihatan bahkan kebutaan, hingga kelainan jantung, bahkan otaknya bisa mengecil.

Bagi seorang yang lahir dengan gangguan pendengaran seperti Cika, resiko terbesar yang dihadapinya bukan hanya tak bisa mendengar, tapi secara otomatis juga tidak bisa berbicara. Joli pun paham resiko ini. Makanya, dia mengerahkan segenap kemampuannya untuk yang terbaik bagi anaknya. Mulai dari membeli alat bantu dengar kanan-kiri yang seharga sekitar Rp. 25 juta juga melakukan terapi wicara yang mana sekali pertemuan sekitar Rp. 300 ribu itupun hanya sejam. 

"Dulu, dia susah sekali kalau disuruh pakai ABD (Alat Bantu Dengar). Tapi alhamdulillah, sekarang sudah mau bahkan kalau bangun tidur sudah meminta sendiri dipasangkan. Mungkin sudah ngerti kalau dipasang jadi ada suaranya," senyumnya bahagia.

"Untuk perkembangannya, aku tidak menuntut usia segini dia harus begini. Gimanapun, mau tidak mau perkembangan bicaranya jadi terlambat kan dibandingkan anak lain." lanjutnya lagi.

Selang beberapa saat dia bercerita, seorang perempuan kecil tiba-tiba muncul, berjalan ke arahnya. Joli kecil terbangun. Mungkin, suara hatinya yang memberitahu bahwa kami sedang membicarakannya. Bocah kecil itu, benar-benar mirip Joli. Mata yang bulat, rambutnya yang lurus, dan pipinya yang tembem, tampak lucu sekali. Imut, seperti fotonya, dan tidak sedikitpun tanda yang menunjukkan bahwa ia tak bisa mendengar suara saya yang menyapanya dengan kalimat,

"Ehh, kamu bangun?"

Ia memandang saya takut-takut. Baginya, tentu saya adalah sosok asing yang baru hari itu dilihatnya. Untung dia tidak menangis.

"Aku sering ketemu orang, terus diceramahin gini, 'Mbak, anaknya masih kecil kok dipasangi headset? Nggak baik lho! Nanti bisa tuli,'" ceritanya lagi sembari mengASI  Cika.

Meskipun saya tau Joli bercerita dengan perasaan sebal, tapi mau nggak mau, saya terkikik. "terus kamu gimana?"

"Ya tak jawab, 'emang anak saya tuli'"

Saya hanya tersenyum, miris. Masih banyak memang yang belum mengerti tentang ABD yang dipasang di telinga. Pun saya sekian tahun yang lalu pernah juga memandang aneh anak-anak di bus usai keluar dari sebuah yayasan anak berkebutuhan  khusus di Solo yang memasang ABD di telinganya. Beneran, dulu saya pun mengira mereka memakai headset.

"Berat, saat kamu harus menjelaskan kepada dunia bahwa anak kamu berkebutuhan khusus, Da. Tapi ya, mau tidak mau harus mengakui itu. Tidak mungkin kan kita menutupi? Karna kalau terus ditutupi semakin berat!"ujarnya. Saya sependapat. Bagaimanapun menutupi kelemahan akan menimbulkan kebohongan, dan sekali berbohong kebohongan lain akan susul-menyusul sehingga semua menjadi berat. Apalagi tentang kondisi anak, bagaimanapun mereka adalah anugrah. 

Rubella, dari dulu saya tahu itu ada. Saya kerap mendengar nama virus ini . Mungkin lantaran saya sering mendengar nama Rubella, tanpa melihat langsung akibat yang ditimbulkannya jika menyerang Ibu hamil, makanya ya sudah, saya biasa saja.

Tapi, begitu hari itu saya bertemu dengan Joli, saya sadar bahwa Rubella akibatnya bukan hanya sekedar isapan jempol. Bukan sesuatu yang begitu saja bisa diabaikan. Dan virus ini bisa menyerang siapapun. Sungguh menggetarkan hati, saat akhirnya akibat virus ini malah menyerang anak sahabat sendiri. Ya, saya mungkin tak akan begitu ambil peduli dengan penyakit itu jika hari itu saya tidak ada acara ke Magelang, menginap di rumah Joli, dan mendengar ceritanya. 

sumber: http://sehatnegeriku.kemkes.go.id
sumber: http://sehatnegeriku.kemkes.go.id
Vaksin MR (Measles Rubella) sebagai Vaksin Rubella beberapa mungkin masih meragukan kemanfaatannya. Akan tetapi, menurut saya pribadi ini adalah usaha agar generasi ke depan terbebas dari Rubella. PT. Biofarma sendiri saat ini sebagai importir menggunakan vaksin MR dari India lantaran sudah memenuhi kualitas dari WHO. Vaksin ini pun telah banyak digunakan di beberapa negara muslim.

MUI sendiri menyatakan boleh (mubah) menggunakan vaksin ini meskipun terdapat unsur babi di dalamnya. Keputusan ini didasarkan pada tiga hal, yakni kondisi dlarurat syar’iyyah, keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya menyatakan bahwa terdapat bahaya yang bisa timbul bila tidak diimunisasi, dan belum ditemukan adanya vaksin MR yang halal dan suci hingga saat ini.

Yahh, sebagai seorang muslim saya berdoa semoga vaksin yang halal segera ditemukan agar masyarakat memiliki pilihan lain. 

Perlindungan imunisasi mungkin hanya salah satu usaha yang bisa dilakukan setiap orang, agar akibat Rubella yang membahayakan tidak sampai menyerang generasi bangsa sehingga tercipta selalu masyarakat Indonesia Sehat. 

Mungkin  masih banyak keraguan di benak warga untuk melakukan imunisasi MR, tapi yah rasanya kembali ke masing-masing dan mempertanyakan kepada diri sendiri apakah ingin diri dan sekitarnya terlindungi dari Rubella atau tidak? Yang jelas ada baiknya untuk mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan pencarian informasi yang tidak hanya berasal dari satu sumber, pun diperlukan kecermatan memilah informasi yang benar-benar kompeten dalam berbicara. Misalnya saja informasi dari situs resmi kemenkes. Karena di era sekarang ini, kecermatan memilah dan memilih informasi sangat diperlukan.

So, yang tak boleh dilupakan,, ketika hendak melakukan imunisasi pastikan anak dalam kondisi yang benar-benar sehat. Biar imunisasi MR efektif dan anak tetep selalu ceria

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun