Untuk pertama kalinya, dalam hidup, saya datang langsung ke sebuah pondok pesantren. Sekian tahun saya ingin melihat langsung dan merasakan sendiri iklim pesantren, Â beberapa waktu lalu akhirnya kesampaian juga. Dahulu, saya sempat memandang sebelah mata sebuah pondok pesantren. Bukan lantaran image para teroris yang konon berasal dari pondok bukan. Bahkan soal itu saya malah tak pernah mempercayainya.Â
Saya memandang sebelah mata sebuah pondok pesantren lantaran saya sering mendengar bahwa anak-anak pondok adalah anak-anak yang seringkali terkena penyakit kulit gudiken(scabies) serta tumanen(kutuan). Yeahh, alasan saya hanya sesimpel itu sebenarnya.
Ahh, satu lagi, ini lantaran pondok sering kali dijadikan ancaman beberapa orang tua kenalan saya sewaktu mereka masih kecil. Ancaman semacam "Nek nakal terus tak lebokke pondok lho!"
Meski orang tua saya tidak pernah mengancam seperti itu, namun saking seringnya saya mendengar hal semacam itu, saya jadi berpikir bahwa pondok adalah tempatnya anak-anak nakal.
Namun semenjak saya mempunyai teman SMA yang merupakan keturunan pemilik pondok, pandangan positiv saya tentang pondok mulai tumbuh, dan saya makin tertarik dengan pondok pesantren usai merampungkan novel negri 5 menara. Citra positiv kehidupan pondok pesantren yang dituturkan lewat buku itu sukses mempengaruhi saya untuk melihat sejenak iklim pondok pesantren. Bahkan jika suatu hari saya punya anak saya juga pingin tuh menyeolahkan anak saya di Pondok.
***
Bus kami berhenti di sebuah lapangan luas dengan sisi depan dan pinggirnya terbentang persawahan yang nampak menghijau. Terlihat sejuk. Terasa benar  suasana khas pedesaan. Kami berjalan memasuki sebuah gang yang kira-kira berukuran muat satu mobil. Usai memasuki gang tersebut barulah kami bisa melihat secara jelas, penampakan bangunan Pondok Pesantren Balekambang.  Â
Sebuah bangunan yang terlihat modern. Meskipun itu merupakan bangunan baru, namun Pondok Pesantren Balekambang merupakan sebuah pondok pesantren yang sudah ada sejak tahun 1883 dan merupakan pondok pesantren tertua yang ada di Jepara.
Kedatangan saya beserta beberapa kompasianer adalah untuk melihat langsung lomba MQK(Musabaqoh Qiraatil Kutub) Â atau bahasa mudahnya adalah lomba baca kitab kuning. Nama kitab kuning sendiri sebenarnya sudah tidak asing di telinga. Teman saya yang keluarga pondok itulah yang kerap memperdengarkan kata kitab kuning. Beberapa kali, ia bercerita tentang dirinya serta anak-anak santri di pondoknya yang mengkaji kitab kuning pada hari tertentu. Namun dari segi pengertian sendiri, sebenarnya saya pribadi belum begitu paham mengenai apa itu kitab kuning.
Namun dalam kunjungan bareng para kompasianer kemarin, saya jadi paham bahwa kitab kuning merupakan kitab kajian Al Quran dan hadits yang dibuat oleh para ulama luar, namun juga dikaji dan dipelajari oleh ulama Indonesia yang kemudian dipelajari secara turun temurun oleh para santri pondok pesantren.
Kurang lebih demikian yang saya tangkap dari penjelasan Pak Muhtadin selaku Humas Ditjend Pendidikan Islam Kemenag.
Selain Pak Muhtadin, kami disambut pula oleh Bp. Dr. Abdul Moqsit  Ghazali. Dalam sambutannya, beliau menjelaskan bahwa para santri melalui proses yang panjang dalam memperoleh intelektualitas dalam pondok pesantren. Intelektualitas yang tidak diperoleh secara instan, karena para santri menyelesaikan pendidikannya di pondok dalam waktu yang cukup lama. Itu berarti, lama pula waktu mereka dalam mempelajari kitab kuning. Dengan mempelajari kitab kuning, mereka memiliki kecakapan memahami gramatikal bahasa arab, memahami struktur dan bentuk kata/kalimat,mampu membedakan subjek predikat, serta waktu lampau dan sekarang. Itu semua adalah hal yang kemudian membuat para santri diharapkan bisa dengan mudah memahami Al Qur'an dan Hadis.
"Tidak hanya merujuk Al Quran dan hadist tapi bagaimana al quran dan hadist dipercakapan oleh para ulama keislaman klasik. Dengan memahami Kajian gramatikal bhs Arab, mereka mampu mengetahui mana makna yg metafor atau majazi dan mana yg hakiki," senada dengan apa yang disampaikan Bapak Muhtadin, beliau menekankan tentang hikmah belajar kitab kuning.
"Dengan memahami gramatikal, Kembali ke Al Quran tidak serta merta melahirkan tafsir Al-Qur'an tunggal. Maka keragaman tafsir itu keniscayaan. Oleh karena itu, ada banyak mahdzab pemikiran, ada variasi tafsir dalam Islam," lanjutnya. Saya mengangguk-angguk. Merasa mendapat penjelasan tentang pertanyaan saya selama ini kenapa pendapat beberapa ulama kerap kali berbeda.
Dengan memahami kitab kuning, diharapkan para santri ini bukanlah sekedar layaknya orang yang foto selfie di monas, yang memperlihatkan tugu monasnya saja ketika diupload. Namun mereka bisa melihat dengan lebih baik, sudut-sudut monas beserta bagian-bagiannya secara lebih detil.
Dalam lomba baca kitab kuning ini, ada beberapa bidang ilmu yang dilombakan, yakni Tauhid, Fiqih, Nahwu (gramatika bahasa Arab), Akhlak, dan Tarikh (sejarah). Selain itu terdapat pula lomba debat bahas Inggris dan bhasa Arab.
1.Tingkat  Ula max 14 thn 11 bln
2. Tingkat Wustho max 17 thn 11 bln
3. Tingkat Urlya max 20 thn 11 bln
Terdapat 25 tempat perlombaan. Saat mencoba mendatangi satu persatu saya sempat melihat sebentar isi kitab kuning. Dan ternyata, saya baru sadar, ada kitab semacam itu di rumah peninggalan jaman simbah. Sama persis, kertasnya berwarna kuning dan isinya arab gundul.
Salah satu peserta memberi contoh saya cara membaca beberapa kalimat. Saya terkekeh sendiri karena tidak mengerti. Darinya saya jadi tahu, bahwa dalam kitab kuning, terdapat juga penjelasan dari para ulama jaman dahulu yang menggunakan bahasa Jawa. Penjelasan tersebut sama juga ditulis dengan Arab gundul, namun dengan posisi di bawah .
Usai mengikuti acara ini saya rasanya kian terlihat kecil saja. Saya makin sadar, masih banyak ketidaktahuan saya tentang agama saya sendiri. Yeahh, untuk soal akhirat, saya rasanya masih harus belajar lagi tentang banyak hal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H