Kami berjalan lagi. Beberapa langkah kemudian, kami bertemu dengan dua buah kolam yang salah satunya masih berisi air. Beberapa kompasianer sempat mengira itu kolam untuk mencuci bahan baku. Juga ada yang mengira itu kolam ikan. Sementara saya sendiri malah membayangkan hal yang sama sekali tak berhubungan. Itu kolam menurut saya malah seperti kolam pemandian raja-raja Mataram jaman dahulu.
“Semua dimanfaatkan Mbak,” ujar Pak Markhaban. Beliau lantas memulai ceritanya tentang bagaimana tumbuhan yang dipakai dalam penyulingan di pabrik atsiri dulunya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Mulai dari pemanfaatan minyak atsirinya, hingga limbahnya. Limbah dari tumbuhan yang digunakan dalam penyulingan bisa dimanfaatkan lagi sebagai kompos.
Sebagai seorang saksi sejarah yang pernah bekerja di pabrik atsiri mulai tahun 1985-2011, Pak Markhaban terlihat memahami seperti apa kondisi pabrik atsiri jaman dahulu. Penuh semangat beliau bercerita kepada kami. Bahkan beliau sampai naik di atas bata-bata bangunan bekas mesin boiler diletakkan, ketika kaki kami mulai menjamah area ruang boiler.
Pasalnya, keberadaan mesin-mesin itu, bahkan hampir seluruh peralatan di museum atsiri sudah tak diketahui lagi keberadaannya. Beberapa, hanya tinggal jejaknya saja, seperti bekas lokasi menancapnya 3 mesin diesel yang meninggalkan guratan di lantai. Cukup miris. Tapi itulah yang terjadi. Yang lebih ironis, beberapa peralatan-peralatan disana banyak yang hanya dijual kiloan kepada pedagang rosok.
Pabrik atsiri ini pernah mengalami masa kelam seperti itu dulu. Ia berulang kali berpindah tangan. Mengalami pasang surut, mulai dari benar-benar menjadi pabrik atsiri, hingga sempat alih fungsi menjadi tempat sarang burung wallet dan bahkan pabrik sumpit. Namun kini, pabrik atsiri ini kedepannya hendak dikembalikan lagi fungsinya.
Meskipun tidak berproduksi lagi sebagai pabrik atsiri, tetapi rencana ke depan pabrik atsiri akan diubah menjadi museum atsiri. Sebuah tempat wisata sciene. Yang akan memberikan banyak pelatihan dan pengetahuan kepada masyarakat terutama generasi muda tentang atsiri dan pemanfaatannya.
Museum inipun tengah menggandeng masyarakat untuk bekerjasama, agar nantinya masyarakat sekitar mampu mendapatkan manfaat yang besar dari keberadaan museum ini seperti halnya visi yang diusung Bung Karno sejak awal rencana pendirian museum.
Di sebuah ruangan yang terlihat berdebu, Pak Markhaban menggiring rombongan kami. Sebuah ruangan laboratorium. Di dalamnya, tepatnya dibagian tengah ruangan itu, terdapat beberapa meja berisi rak dengan puluhan botol-botol berjajar. Botol-botol itu sebenarnya berlabel, namun gerusan waktu berhasil mengerutkan beberapa kertas-kertas labelnya.
Melunturkan tinta-tinta yang tertulis dan secara otomatis menghilangkan identitas beberapa zat yang ada dalam tiap botol. Jelas perlu ahli kimia jika nanti pihak museum atsiri ingin menelusuri lebih lanjut zat apa saja dalam botol-botol itu.
Sejak awal perjalanan ini pun saya sudah merasa bernostalgia dengan masa lalu. Atsiri. Kata itu kembali membawa ingatan saya pada masa-masa kuliah bertahun-tahun silam. Ketika saya masih menjadi mahasiswa farmasi beberapa tahun lalu, isolasi minyak atsiri adalah hal yang juga pernah saya lakukan.
Penampakan alat-alat seperti corong pisah, soxhletasi serta destilation set di almari, membuat saya tersenyum nyinyir. Ahh, sekian tahun lalu alat-alat itu menjadi alat yang sangat takut kami pecahkan. Harganya yang luar biasa mahal untuk kantong mahasiswa menjadikan saya dan teman-teman waktu itu merasa horor ketika masuk ke ruang praktek Farmakgnosi.