Semua orang pasti ingin berhaji. Begitu juga saya dan suami. Keinginan itu begitu kuat sampai ke hati. Setiap hari kami berdoa dan berusaha agar usaha yang kami lakukan bisa membawa ke Baitullah. Setiap kali mendengar teman atau kolega pulang dari tanah suci, rasanya kami ingin menangis. Kapankah kesempatan itu datang? Apalagi bagi kami yang tinggal di pedesaan. Harapan untuk haji itu begitu jauh.
Untuk makan sehari-hari saja kami mengandalkan dari hasil panen tadah hujan. Setahun hanya dua kali panen. Bila musim kemarau tiba, sawah dibiarkan kering begitu saja. Kami tidak bisa mengolahnya. Praktis dalam setahun, kami harus berpikir dengan cepat dan cermat, agar hasil panen cukup hingga setahun.
Kami sadar haji adalah rukun Islam kelima yang harus ditunaikan. Sebagai muslim, kami tahu saat ini belum mampu ke sana. Namun, bukan berarti kami putus harapan. Doa terus terpanjat menembus Arsy-Nya. Ke mana Kami harus bergantung kalau tidka kepada-Nya?
Mampu dalam berhaji artinya kami mampu membayar ongkos ibadah haji yang tidak sedikit. Sangat besar untuk ukuran kami yang tinggal di desa dengan hidup sederhana. Terkadang, hasil panen hanya bisa untuk kehidupan sehari-hari. Untuk sayuran, Alhamdulillah tidak beli. Kami tinggal metik di halaman rumah. Jadilah pengeluaran berkurang. Bisa untuk ditabung di bank.
"Haji itu murah kok. Kalau dihitung dari setoran awal Rp25 juta. Bila sehari mengumpulkan Rp5.000,00, maka hanya sekitar 14 tahun tercapai uang untuk membayar nomor porsi."
Ucapan suami ada benarnya juga. Kalau Rp5.000,00 rasanya tidak terlalu berat. Bila kuhitung sebulan, berarti hanya Rp150.000,00. Padahal kami berdua. Berarti harus menyisihkan Rp10.000,00 per hari. Itu kalau kami masih berharap bisa mendapat porsi di tahun ke-13.
Soal haji ini kami tidak main-main. Kewajiban haji memang untuk orang yang mampu baik fisik maupun biaya. Kalau fisik kami berharap bisa berhaji lebih cepat dari sebelumnya. Mengingat usia kami yang sudah tidak muda lagi. Stamina sudah mulai menurun, meskipun sudah sangat dijaga. Olahraga setiap pagi selama 30 menit. Itu kami lakukan untuk menjaga kebugaran tubuh.
Berhaji bagi kami buka sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi jauh dari hal itu. Kami ingin merasakan kedekatan dengan Allah di rumah-Nya yang suci. Membayangkan hal itu terjadi membuat badan merinding tidak karuan. Kerinduan berdoa di Masjidil Haram, Raudah, dan tempat mustajab lainnya.
Ah, lagi-lagi kami bermimpi. Selain kami ingin berhaji, ada emak yang juga sudah sepuh. Beliau belum sempat berhaji. Harapan kami, bertiga ke tanah suci. Saya, suami, dan emak. Pasti sangat bahagia bila sempat ke tanah suci di usia yang tersisa.
Rekening Tabungan Jemaah Haji
Waktu yang tak banyak  membuat kami pun muali mencari informasi. Terutama dengan bank yang menerima setoran biaya haji. Harapan kami semoga dimudahkan dan dilancarkan memberangkatkan emak ke tanah suci.
Ternyata ada satu bank yang peduli dengan ibadah haji. Bank Danamon mempunyai produk Rekening tabungan Jemaah haji. Tabungan jenis ini memang khusus melayani nasabah yang ingin berhaji. Setoran awalnya Rp25 juta, bisa langsung dapat porsi yang terhubung dengan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) Kementrian Agama RI. Dari bank, kami tinggal ke Departemen Agama untuk mendapatkan Surat Pendaftaran Pergi Haji dan dapat porsi. Kami tinggal menunggu keberangkatan haji dan pelunasan biaya.
Enaknya pakai Bank Danamon ada fasilitas yang bisa dinikmati nasabah. Seperti bebas biaya adminstrasi dan penutupan rekening, dapat Kartu ATM khusus Jemaah haji yang bisa digunakan di toko berlogo mastercard.
Tabungan Rencana Haji iB
Keterbatasan dana, membuat kami berpindah ke Tabungan Rencana Haji iB. Alasan kami sederhana. Pengumpulan uangnya tidak ngoyo banget. Maklum kami di desa. Harus melakukan penghemaatan banyak hal.
Enaknya tabungan ini pakai system bagi hasil 20%. Aliasnya flat. Fasilitasnya hampir sama dengan RTJH. Â Kami pun sudah membuat planning. Tabungan Rencana Haji iB ini hanya selama 72 bulan. Artinya kami harus membagi Rp25 juta ke dalam 72 bulan, Hasilnya sekitar Rp350.000,00/orang. Kami berencana membuat tiga nomor rekening. Satu untuk saya, satu untuk suami, dan satu lagi buat emak.
Hitungan di atas bukan harga mati. Bank Danamon menetapkan minimal uang setoran Rp300.000,00. Jadi kami memutuskan uang yang di setor ke bank nanti Rp350.000. Biar kami 6 tahun sudah bisa mendapatkan porsi. Kami tidak mau berutang ke teman, kolega, atau saudara. Biarlah kami mengumpulkan uang sedikit demi sedikit di tabungan rencana. Pas saatnya tiba, kami pasti bisa ke Baitullah.
Haji itu panggilan. Namun, bisa diusahakan. Antrean haji yang panjang hingga tahunan, membuat kami dilanda harap-harap cemas. Harapan kami semoga secepatnya kami bisa mendapatkan porsi haji. Sehingga emak bisa tersenyum bahagia.
Saatnya kami pegang kendali. Saatnya kami orang desa bisa berhaji tanpa menjual sawah. Bagi kami haji perlu dipersiapkan sedini mungkin. Saat ini kami baru mampu menyiapkan tabungan. Semoga dimudahkan. Apalagi kantor Bank Danamon ada di setiap kabupaten. Memang kami harus berjalan lumayan jauh ke kota untuk membuka rekening tabungan. Anggap itu latihan kesabaran sebelum ke tanah suci.
Rumah tangga yang kami jalani ini pun baru. Sebelum direpoti dengan kebutuhan anak-anak, ada baiknya kami mulai menabung buat berhaji. Ini saatnya menyiapkan ibadah haji sejak rumah tangga kami baru berdiri, Semoga pas dapat porsi nanti, kami juga bisa menabung buat anak-anak pergi haji ketika dewasa nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H