Hal tersebut membuat Malala terusik sehingga untuk melawan ancaman dan ketakutannya, Malala bersemangat dan bersikeras untuk tetap belajar dan berjuang demi hak pendidikan kaum perempuan. Perjuangannya untuk hak pendidikan bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk teman-temannya dan bahkan bagi seluruh perempuan di Pakistan. Melalui tulisan Malala berjuang untuk mengubah pandangan dunia.
Pada usia yang masih sangat belia, di tahun 2009 Malala melakukan perjuangannya dimulai dengan aktivitas menulisnya untuk BBC Urdu. Gadis belia tersebut diminta untuk menulis tentang kehidupannya di bawah kekuasaan kelompok fundamentalis Taliban. Editor BBC mensiasati nama Malala dengan nama pena Gul Makai (Bunga Jagung) dalam bahasa Urdu untuk melindungi keselamatan Malala. Karya Malala diterbitkan dengan judul “Diary Of Pakistani Schoolgirl” dan rilis pada website resmi BBC Urdu. Tulisan Malala memuat tentang kehidupannya sebagai seorang pelajar wanita di bawah bayang-bayang kekuasaan Taliban, pelarangan terhadap perempuan dalam partisipasi aktif di lingkungan masyarakat luas, menggemakan kejahatan rasisme Taliban dan lain sebagainya.
Beberapa bulan kemudian, presiden Pakistan yaitu Asif Ali Zardari melakukan penandatanganan yang sangat kontroversial terkait dengan pelaksanaan hukum Islam. Hal ini memicu respon dari Taliban yang marah dan kembali melakukan operasi di kawasan tersebut. Pemerintah Pakistan dan kelompok fundamentalis Taliban kembali melakukan peperangan. Imbas peperangan tersebut, penduduk Mingora dievakuasi ke tempat yang aman dan anggota dari keluarga Malala terpisah. Ziauddin ayah Malala pergi ke Peshawar untuk memprotes aksi tersebut. Sedangkan, Malala bersama ibu dan adik-adiknya dikirim ke desa, mereka dikirim ke tempat sanak saudaranya tinggal. Setelah itu, pada 24 Juli 2009, keluarga Malala Bersatu kembali tetapi paska mengkritik kelompok militan Taliban di sebuah konferensi pers, ayah Malala mendapat ancaman pembunuhan melalui radio Taliban.
Pada setiap momen, Malala dengan tegas mengatakan bahwa tujuan utamanya adalah untuk melayani kemanusiaan. Kemudian, karya tulis Malala mendapatkan tempat bagi pembaca dan memperoleh respon dan perhatian publik. Di tahun yang sama identitasnya sebagai penulis terungkap, setelah New York Times merilis dua film dokumenter dengan Malala. Nama Malala Yousafzai pun pada akhirnya dikenal oleh publik. Walaupun dihadapkan pada ancaman-ancaman nyata dari Taliban, Malala tidak melemah dan semakin gigih untuk tujuannya memperjuangkan hak-hak perempuan dan pendidikan.
Malala Yousafzai mulai menyuarakan aksi politik pada akhir tahun 2009. Tepat pada 22 Desember 2009, sebuah video menampilkan Malala yang memasuki ruang dewan dengan bertuliskan “Dewan Anak Distrik Lembah Swat” yang dipenuhi dengan anak-anak. Dewan anak tersebut didirikan untuk memberikan kesempatan bagi khalayak muda demi menyuarakan kepekaan dan kepedulian mereka tentang hak anak serta memberikan tindakan solutif atas isu tersebut. Malala menjabat posisi dewan anak hingga bulan November tahun 2011. Semangat Malala semakin berkobar, aktivitasnya semakin progresif dan mulai ikut berpartisipasi dalam proyek “Institut Untuk Perang Dan Perdamaian”. Proyek tersebut aktif dalam memberikan pelatihan jurnalistik dan forum diskusi yang melibatkan 42 sekolah di Pakistan.
Taliban Menembak Malala
Malala Yousafzai sesosok perempuan yang tidak mengenal rasa takut itu semakin tangguh dan gencar dalam aktivitasnya untuk memperjuangkan dan memerdekakan kaum perempuan di daerah asalnya agar bisa bersekolah dengan layak dan agar kaum perempuan bisa tumbuh, berkembang, dan berkemajuan dengan bekal pendidikan. Bagi Malala, dengan pendidikan kita akan mengetahui semua apa yang ada di dunia ini dan misteri apa yang tersembunyi di dunia ini.
Dengan tekad, semangat dan keberanian yang merasuki jiwa Malala, ia berani menentang keberadaan Taliban yang menguasai kampung halamannya. Di tambah bekal kepandaian dan kecerdasaannya dalam menulis dan cakap berkomunikasi dengan berbagai bahasa, Malala memperjuangkan hak pendidikan dan perempuan Pakistan untuk bisa bersekolah dan menentang tindakan represif kelompok Taliban terhadap kaum perempuan di Lembah Swat. Pada tahun 2012 dengan gagah dan berani, Malala berpidato meyuarakan dan menyerukan bahwa perempuan harus memiliki akses pendidikan yang setara dengan para laki-laki. Alhasil Malala memantik emosi kelompok militan Taliban dan menjadikannya sebagai target pembunuhan.
Naas menimpa Malala Yousafzai, pada tanggal 9 Oktober 2012, gadis yang baru menginjak usia 15 tahun itu tertembak. Ia menjadi korban penembakan brutal oleh kelompok fundamentalis militan Taliban yang mengakibat peluru bersarang di kepala dan rahang Malala. Kejadian naas yang menimpa Malala berawal ketika ia pulang sekolah menaiki sebuah bus bersama dengan teman-temannya. Seorang militan Taliban memberhentikan kendaraan umum yang ditumpangi oleh Malala dan menanyakan keberadaan Malala Yousafzai. Setelah mengetahui target sasarannya, militan Taliban itu dengan buas dan beringas mengarahkan muncung senjatanya dan menghempaskan tembakan ke tubuh Malala yang berakibat peluru bersarang di kepala dan rahang Malala. Kejadian itu juga membuat dua teman Malala ikut menjadi korban militan Taliban.
Paska tragedi penembakan yang dilakukan militan Taliban, Malala dievakuasi dan segera menjalani operasi di rumah sakit Peshawar, Pakistan. Untuk menyelamatkan nyawa gadis pandai dan cerdik tersebut, Malala kemudian dirujuk dan diterbangkan ke Inggris untuk mendapatkan pertolongan dan perawat yang intensif. Dengan bantuan dari berbagai negara, Malala diterbangkan dan berhasil sampai ke Inggris dengan ambulan udara ke rumah sakit Queen Elizabeth, di Brimingham, Inggris.
Tragedi tragis yang menimpa Malala tersebut menjadi sorotan dunia, masyarakat internasional ramai memberikan dukungan kepada Malala dan memberikan reaksi keras yang mengecam tindakan keji kelompok fundamentalis Taliban. Hal ini juga memicu para pemimpin dunia untuk memberikan reaksi yang mendukung perjuangan Malala dan ikut menyuarakan pentingnya hak pendidikan bagi kaum perempuan.