Mohon tunggu...
FUAD AJISATRIO
FUAD AJISATRIO Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemula

Celotehan dan curhatan seorang free man yang tak mampu berkata-kata | Pemula yang menulis disela waktu ngopi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Belajar Politik dari Film Pendek "Tilik"

25 Agustus 2020   13:12 Diperbarui: 25 Agustus 2020   19:29 2130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu minggu kebelakang publik Youtube dan Twitter diramaikan oleh sebuah film pendek yang berjudul "Tilik". 

Tilik sendiri berarti menjenguk, film ini mengisahkan rombongan ibu-ibu yang menempuh perjalanan dari desa menuju kota dengan truk pengangkut barang untuk menjenguk Ibu Lurah yang sedang sakit. Film ini sudah diproduksi sejak tahun 2018 dan dirilis pada pertengahan Agustus 2020.

Selain mengisahkan tilik Ibu Lurah, banyak cerita didalamnya yang memang mencerminkan kehidupan sehari-hari di Indonesia pada umumnya. Hal ini seperti, Silaturohmi, Budaya Gotong royong, Gosip, Hoax internet,  dan Romantika Sugar Daddy, yang sepertinya mampu membius para penonton film ini, dari yang merupakan penikmat sastra sampai yang kesal dan penasaran dengan karakter Bu Tejo. 

Terbukti sejak perilisannya di Youtube pertanggal 25 Agustus Tilik telah mencapai 10 Juta jumlah penonton, dan tagar Tilik dan Bu Tejo sempat bertengger di Tranding Topik Twitter. 

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari film Tilik, akan tetapi artikel ini akan membawa pembaca pada sudut pandang berbeda, yakni politik. Penasaran? Berikut penjelasannya.

Dalam film terdapat adegan dimana sopir truk berhenti di mushola karena permintaan ibu-ibu yang ingin buang air kecil, pada adegan tersebut digambarkan bahwa Bu Tejo memberikan uang kepada supir truk dengan alasan uang tambahan. 

Tidak ada yang salah dengan adegan ini, hanya saja setelah itu, Bu Tejo dengan ciri khas gosipnya membicarakan bu lurah yang sudah tua dan renta, waktunya diganti dengan lurah baru yang cekatan, dan muda.

Walau sempat menampik bahwa suaminya akan mencalonkan lurah kedepannya ada aspek politik menarik dan secara tidak sadar merupakan cerminan dinamika politik di Indonesia khususnya di tataran daerah. Berikut ini penulis mencoba merangkum bagaimana pesan politik yang tersirat dalam adegan ini.

Sumber: Ravancana Film
Sumber: Ravancana Film "Tilik"

Pertama, Vote Buying. Adegan pemberian uang kepada supir truk tersebut dapat kita lihat sebagai indikasi vote buying dengan pola berharap perasaan balas budi. 

Polanya jika nanti memang benar suami dari bu tejo mencalonkan diri sebagai lurah penerima uang akan merasa ada keterkaitan antara aktor politik (calon) dengan voters (penerima uang). 

Pemberian uang di awal jauh-jauh hari adalah modal investasi suara dan dukungan kedepannya mirip dengan pola retail jual beli suara atau dikenal sebagai serangan fajar.

Dari segi waktu biasanya serangan fajar ini dilakukan prabayar sebelum hari H atau pasca bayar setelah hari H, bisa juga diberikan secara berkala untuk keperluan jangka panjang aktor politik, modusnya bisa uang donasi, upah lebih, ataupun barang dan jasa. 

Perbedaanya model ini digunakan oleh politisi yang membutuhkan dukungan kedepannya dengan cara memberikan uang jauh sebelum pemilihan berlangsung, cara ini juga dilakukan untuk mengaburkan pola vote buying.

Kedua, kampanye politis Bu Tejo. Satu hal menarik dalam dialog film Tilik adalah pesan kampanye politis yang disampaikan oleh Bu Tejo setelah diawali oleh pemberian uang bagi supir truk.

"Kalau warga pengen suamiku jadi... apa, lurah gitu... kaya Gotrek gini nih apa Yu Ning mau jadi tim sukses masa iya aku nolak". Dalam dialog tersebut tersirat kampanye sekaligus rekrutmen tim pemenangan.

Sumber: Ravancana Film
Sumber: Ravancana Film "Tilik"

Kampanye merupakan sebuah ajakan yang didalamnya terdapat pesan dan informasi yang dilakukan secara terencana, untuk mendidik, meyakinkan dan mempengaruhi serta mengambil simpati individu. 

Pada dasarnya kampanye dilandasi prinsip persuasi untuk mendorong publik untuk menerima atau melakukan sesuatu atas dasar simpati dan sukarela.

Secara media, kampanye Bu Tejo adalah kampanye tatap muka dengan cara kandidat turun langsung atau diwakilkan oleh tim pemenangan dengan promosi di lapangan menggunakan metode orasi, debat kandidat atau blusukan seperti Bu Tejo.

Sumber: Ravancana Film
Sumber: Ravancana Film "Tilik"

Dialog selanjutnya "Lagian sudah waktunya kampung kita punya lurah yang cekatan, jadi udah waktunya bu lurah instirahat". 

Menurut orientasinya kampanye Bu Tejo termasuk Candidate-oriented Campaign, kampanye ini berorientasi pada seorang kandidat demi kepentingan politik dengan tujuan memperoleh dukungan dalam melaksanakan suatu kegiatan politik.

Selain itu kampanye Bu Tejo menggunakan Teknik Asosiasi. Teknik Asosiasi yakni, dengan mengaitkan kampanye dengan suatu peristiwa atau fenomena yang sedang menjadi sorotan atau sedang terjadi pada waktu sekarang. Menurut proses penyampaian pesan komunikasi kampanye Bu Tejo menggunakan proses Awareness. 

Yakni, publik dilibatkan pada proses kognitif atau pengertian terhadap hal baru. Proses ini dikatakan sebagai kampanye awal untuk mendapatkan perhatian publik untuk berfikir lebih jauh tentang suatu permasalahan.

Pelajaran menarik lainnya dari dialog Bu Tejo adalah reformasi birokrasi. Seringkali berurusan dengan birokrasi adalah permasalahan yang ribet dan rumit, terlebih ketika pejabat instansi bekerja tidak semestinya, tidak ada di ruangan pada saat jam kerja, atau petugas lembaga yang sudah lama dan konservatif terhadap aturan malah memberi kesan ribet. 

Hal-hal tersebut tentunya membuat kita ingin menjauhi urusan-urusan birokrasi. Dalam film Tilik Bu Tejo melihat tersebut sebagai suatu permasalahan dan harus diselesaikan dengan cara reformasi birokrasi. 

Reformasi birokrasi memang tidak dapat lepas dari prinsip dan konsep Good Government. Akan tetapi untuk mempersingkat konsepsi kita akan mengulas reformasi melalui sudut pandang Bu Tejo.

Dalam kondisi yang dialami oleh Bu Tejo dan warga desa lainnya, reformasi dimaksudkan untu mengganti Lurah dengan harapan Lurah yang baru lebih muda, cerdas dan cekatan.

Pada dasarnya arti reformasi diarahkan untuk terwujudnya efisiensi, efektifitas, dan Clean Government. Sedangkan konsep reformasi birokrasi berarti sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan untuk mengubah struktur organisasi, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama dipelihara. 

Permasalahan seperti kolotnya administrasi dan kepemimpinan yang telah usang cocok dengan permasalahan yang sering terjadi di tataran pemerintah lokal maupun daerah, dengan kemampuan Bu Tejo mengidentifikasi permasalahan ia berharap Lurah selanjutnya mampu mengubah tradisi dan mendongkrak birokrasi kearah yang lebih reformatif.

Jadi mungkin sekarang pembaca sudah bisa melihat sisi politik dalam Film Tilik, atau kalian sudah mulai reflektif dengan permasalahan dan dinamika perpolitikan di Desa? 

Film Tilik memberikan banyak sekali manfaat yang dapat diambil sebagai pelajaran hidup, bahkan hingga proses perpolitikan yang secara tidak sadar ada disekitar ruang lingkup kita.

FAS.

Referensi

Nimo, Dan. (2011). Komunikasi Politik-Komunikator, Pesan, Dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sumaryadi, Nyoman. (2016). Reformasi Birokrasi Pemerintahan Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Baik. Bogor Ghalia Indonesia.

Ravancana Films. (2020). Tilik (Ladies on Top).                   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun