Mohon tunggu...
Ahmad Fuad Afdhal
Ahmad Fuad Afdhal Mohon Tunggu... Dosen - Ph.D.

Pengamat isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Penilaian Terhadap Obat

21 Februari 2019   09:55 Diperbarui: 21 Februari 2019   11:12 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
quorum.hqontario.ca

Ada perbedaan yang siginifikan antara penilaian obat dibandingkan dengan penilaian terhadap teknologi kesehatan lainnya. Perbedaan utama di sini adalah penilaian terhadap obat mensyaratkan lebih banyak informasi dalam efikasi dan keamanan dibandingkan dengan teknologi kesehatan lainnya. 

Ini disebabkan adanya persyaratan dan regulasi yang ketat terhadap manufaktur obat dengan mengevaluasi faktor-faktor efikasi dan keamanan harus bisa memberikan jaminan bahwa kedua faktor tersebut sudah memenuhi persyaratan-persyaratan dari pihak regulator obat yang dalam hal ini adalah lembaga seperti FDA di Amerika Serikat dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan di Indonesia, sebelum obat dipasarkan.

Penilaian terhadap adalah yang paling ekstensif dibandingkan dengan teknologi kesehatan lainnya. Faktanya regulator obat yang paling lengkap dalam melakukan penilaian terhadap obat. 

Sebagai contoh, ketika manufaktur obat ingin menguji obat terhadap manusia maka manufaktur obat tersebut harus menyertakan hasil uji coba terhadap hewan dan pemeriksaan laboratorium ke badan regulator sebagai syarat untuk memperoleh lisensi untuk menguji terhadap manusia.

Kemudian dilakukan rangkaian pengujian terhadap manusia. Hasil dari uji coba tersebut, dalam bentuk data yang lengkap, diberikan kepada pihak regulator. Pihak regulator akan melakukan sintesis dan penilaian apakah obat tersebut boleh dipasarkan atau tidak sama sekali.

Satu aktifitas yang tidak boleh dilupakan bahkan merupakan kewajiban dalam uji coba klinis adalah yang dikenal sebagai uji coba acak terkontrol (randomized controlled trial). Uji coba ini  dibandingkan dengan obat plasebo atau obat yang sama kelas terapetikanya namun kurang dikenal. Hasil uji coba obat yang sedang diuji klinis dibandingkan terhadap obat plasebo dan obat pembanding lainnya.Ini semuanya dilakukan uji klinis terhadap manusia. 

Untuk melengkapi uji coba klinis, manufaktur disyaratkan melakukan double-blind trial. Dalam hal ini, baik peneliti maupun pasien yang menerima obat tidak tahu apakah yang diberikan ke pasien maupun pihak pasien uji coba tersebut apakah yang diterima adalah obat sebenarnya yang sedang diteliti atau sekadar obat plasebo (obat bohong-bohongan). Dengan metode ini akan membuat uji coba acak terkontrol menjadi lebih lengkap hasilnya dan sekaligus lebih meyakinkan.

Farmakoepidemiologi:

Sebagai  cabang ilmu pengetahuan baru, farmakoepidemiologi telah didekasikan untuk mempelajari penggunaan dan dampak dari obat dalam populasi yang banyak. Farmakoepidemiologi sebelumnya dikenal  sebagai post-marketing surveillance. 

Boleh jadi tepat bahwa karakter dari cabang ilmu pengetahuan baru ini untuk melegitimasi survey pasca pemasaran (post-marketing surveillance} dengan riset-riset lain yang terkait sebagai cabang ilmu pengetahuan yang memiliki hak-haknya sendiri.  

Dari aspek lain, farmakoepidemiologi adalah gabungan  dari farmakologi dan epidemiologi, yang mana mempelajari dampak obat dan reaksi negatif dari obat. Dalam hal ini reaksi negatif obat terdiri dari dua kategori, Tipe A yang mana dampak farmakologi yang berlebihan akibat pemakaian obat.

Sedangkan yang  reaksi tipe B yang dampaknya abnormalitas. Tipe A sangat umum dan terkait dengan faktor dosis obat. Sedangkan tipe b lebih sulit untuk diprediksi dan boleh jadi tidak nyata dan bisa muncul ketika obat akan diberi persetujuan untuk dipasarkan karena memang permunculannya tidak sering. Pendekatan untuk mempelajari reaksi negatif dari obat adalah merupakan kumpulan reaksi spontan  obat yang terkait dengan faktor morbiditas dan faktor mortalitas.

Bagaimanapun, proses regulasi obat yang mensyaratkan dengan penilaian sistematika terhadap keamanan dan efikasi obat untuk tiap kelas teknologi medis, reaksi negatif obat merupakan sesuatu yang sangat serius dan tidak bisa diduga teap akan terjadi. Oleh karena itu demi pertimbangan keamanan masyarakat, maka maka regulator bersama-sama dengan berbagai lembaga dan organisasi riset termasuk farmakoepidemiologi terus melakukan riset, pemantauan, dan memonitor reaksi negatif obat.

Faktor ekonomi:        

Pada dasarnya terdapat empat jenis desain studi ekonomi obat :desain prospektif, desain retrospektif, desain model, atau desain kombinasi. Semua desain studi terdapat kelebihan dan kekurangannya, tergantung dari tujuan studi sendiri. 

Semuanya bermanfaat.Namun demikian, oleh karena umumnya obat baru dan inovatif relatif mahal, maka regulator mendorong pihak manufaktur agar mencakup faktor ekonomi  dikedepankan dalam pengembangan obat.

Dalam desain prospektif yang dikenal sebagai desain farmakoekonomi piggy-back, analisis ekonomi dimasukan ke dalam uji coba klinis. Umumnya utilisasi pelayanan kesehatan antara lain jumlah frekuensi dirawat di rumah sakit, jumlah hari tinggal di rumah sakit, semua tes dan prosedur lab, mengunjungi dokter, jumlah obat resep yang dimakan selama uji klinis dikumpulkan, dicatat, dan dihitung nilainya dalam mata uang. Sebagai tambahan,  dilakukan survei terhadap aktifitas pasien    atau saat pasien bekerja. 

Jika berminat terhadap aspek kualitas-kehidupan-terkait-kesehatan (KKTK) maka data ini juga dikumpulkan.Jika aspek ekonomi dan manfaatnya hendak dinilai  akan menentukan apakah akan dianalisis dalam efektifitas-biaya (AEB).

Pendekatan Farmaekonomi Piggy-Back:

Semakin banyak penggunanya di seantero dunia. Ini antara lain desainnya memberikan :

  1. Efisiensi sejak awal proses uji klinis.
  2. Pemakaian waktu efektif.
  3. Kredibilitas.
  4. Validitas internal sangat tinggi karena ketatnya protokol studi  dan dilakukan acak.
  5. Rendah aspek bias dalam pemilihan karena acak.
  6. Dapat mencakup aspek kualitas-kehidupan-terkait-kesehatan (KKTK).

Walaupun begitu pendekatan ini juga mengandung kelemahan antara lain:

  1. Validitas eksternal rendah karena restriksi protokol riset seperti faktor eksklusif.
  2. Protokol memengaruhi biaya antara lain karena mensyaratkan harus menjalankan rawat inap dan tes spesifik.
  3. Aspek signifikan secara statistik seperti jika perbedaan harga rerata yang besar (mean)karena kekuatan studi yang dilakukan untuk kepentingan akhir uji coba klinis yang mana menyebabkan variansinya rendah  dari tujuan akhir aspek ekonomi.

Dengan melihat uraian di atas, jelas sekali bahwa obat memiliki aspek regulasi yang sangat ketat dan tinggi. Ini karena tujuannya adalah melindungi pasien sekaligus untuk meningkatkan kualitas  kehidupan pasien. Atas dasar itu faktor-faktor keamanan dan efikasi selalu tidak bisa dikompromi dalam penilaian obat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun