Mohon tunggu...
Ahmad Fuad Afdhal
Ahmad Fuad Afdhal Mohon Tunggu... Dosen - Ph.D.

Pengamat isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

"Arrivederci" Piala Dunia Rusia 2018

14 November 2017   22:12 Diperbarui: 16 November 2017   03:21 1888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak kurang dari 75.000 pasang mata di stadion San Siro, Milan, pendukung Gli Azzurri, tim Nasional sepakbola Italia harus menyaksikan bagaimana tim kesayangan mereka harus tersisih dari Kualifikasi Piala Dunia Rusia 2018.  Pertandingan kedua ini sepenuhnya dikuasai oleh skuad Italia, tidak kurang dari 76% dalam penguasaan bola. Sementara tim Swedia hanya bertahan saja menumpuk bagaikan gerbong kereta api di muka penjaga gawang mereka.

Tidak ada yang pernah membayangkan bahwa juara Dunia 4 kali, Italia, bisa gagal untuk ikut Piala Dunia. Dengan tidak ikutnya Italia, maka baru pertama kali ada juara Dunia yang tidak lolos kualifikasi. Catatan lain adalah bahwa untuk pertama kalinya setelah 60 tahun tim Italia tidak akan ikut bertanding di Piala Dunia.

Pertandingan kedua, antara Italia dengan Swedia juga menandai mundurnya secara resmi penjaga gawang kenamaan Italia, Gianluigi Buffon dari timnas Italia.  Penjaga gawang yang penuh dengan prestasi termasuk Juara Dunia 2006 ini tidak menyalahkan siapapun dengan tersingkirnya Italia. Alasannya bahwa sepakbola adalah olahraga tim. Menang atau kalah adalah tanggung jawab bersama. Hanya saja ia kecewa dan memalukan karena harus mengakhiri perjalanannya dalam sepakbola oleh karena tersingkirnya Italia dari Piala Dunia Rusia 2018 walaupun pertandingan kedua berakhir imbang 0-0, karena di pertandingan pertama Italia kalah 0-1 (agregat 0-1).

Bagi bangsa Italia, sepabola bukan sekadar  olahraga, tapi sudah merupakan  bagian tidak terpisahkan dari kehidupan mereka.  Olahraga adalah way of life bagi bangsa Italia.  Lebih jauh sistem permainan  bertahan grendel atau cattenaciojuga bagian tidak terpisahkan dari sepakbola Italia. Oleh  karena itu tim sepakbola Italia selalu memiliki lini pertahanan yang kuat. Bahkan semua pelatih sepakbola Italia termasuk yang berkarir di luar Italia selalu menitikberatkan pada pertahanan yang kuat. Justru dengan sistem cattenacio ini tim sepakbola Italia sudah menjadi juara Dunia sebanyak 4 x, hanya kalah 1 x dari Brazil.

Talenta pemain:

Dalam membentuk suatu tim sepakbola, semua pelatih dan pengurus asosiasi sepakbola akan mengawalinya dari para pemainnya. Secara lebih spesifik yang utama di sini adalah talenta para pemain sepakbolanya. Sementara, talenta bisa ditempa, dikembangkan, dan ditingkatkan melalui suatu program pengembangan yang tepat. Program pengembangan  pemain sudah pasti tidak  bisa instant,melalui proses dan memakan waktu panjang.

Program pengembangan pemain masa kini sudah tidak tepat lagi bagi suatu timnas melalui pemusatan pemain dalam jangka panjang. Sebab, dalam pemusatan jangka panjang para pemain kehilangan dan tidak merasakan aroma, suasana, dan dinamikanya pertandingan. Padahal dalam kenyataannya sebagian besar waktu dari para pemain berada dalam klub. Jadi peran klub juga penting dalam mengembangkan pemain-pemain bertalenta.

Atas dasar itu, maka kerja sama antara klub-klub sepakbola dalam mengembangkan tim Nasional sangat penting. Lebih jauh lagi, kerja sama antara pelatih tim Nasional dengan pelatih klub-klub sepakbola yang pemainnya dipanggil untuk memperkuat tim Nasional sangat signifikan. Komunikasi antara pelatih tim Nasional dengan para pelatih klub khususnya tentang kemajuan, kinerja, dan informasi lainnya sangat diperlukan oleh pelatih tim Nasional. Karena itu, menjelang turnamen seperti Piala Dunia, pemain-pemain harus mempunyai waktu main yang banyak. Tidak heran jika saat transfer musim panas, pemain-pemain yang kurang mendapat kesempatan di klub akan mengajukan permintaan pindah jika tidak dijanjikan untuk main menjelang Piala Dunia Rusia 2018. Apalagi para pelatih tim Nasional di Eropa akan memantau langsung para pemainnya.

Untuk turnamen sebesar Piala Dunia, permasalahan yang dihadapi para pelatih tim Nasional bukan sekadar menentukan starting eleven, tapi mencakup 12 pemain cadangannya. Ini merupakan tanggung jawab yang berat. Untuk itu pelatih kepala atau manajer akan dibantu oleh beberapa orang staf pelatih dalam menentukan skuad berjumlah 23 orang.

Akan halnya tim Italia yang dilatih oleh Giampiero Ventura, dibantu oleh Marcello Lippi. Sebagai pelatih Lippi sangat dibanggakan oleh bangsa Italia karena berhasil memenangkan Piala Dunia Jerman 2006. Pasti Asosiasi Sepakbola Italia (FIGC) punya pertimbangan tertentu ketika menetapkan Ventura sebagai pelatih tim Nasional Italia. Sepertinya keberadaan Marcello Lippi sebagai staf pelatih.

Ventura yang menggantikan Conte, nampaknya tidak dianggap berhasil dibandingkan dengan Antonio Conte yang pada Piala Euro 2016 berhasil membawa tim Itallia keperempat final. Seperti diketahui di perempat final Italia kalah dari Jerman melalui tendangan penalti setelah perpanjangan waktu pertandingan berakhir imbang. Conte dianggap telah melebihi target yang ditetapkan Asosiasi Sepakbola Italia.

Sementara itu, Ventura tidak dianggap berhasil karena di grup Italia hanya menduduki peringkat kedua sehingga harus play-off. Selain itu, pertandingan imbang dengan  Mecedonia juga berimbas negatif bagi Ventura. Tapi lepas dari itu, baik Conte maupun Ventura berhadapan dengan skuad yang talentanya tidak sebagus tim Italia yang menjadi Juara Dunia  Jerman 2006. 

Nampaknya ini juga disadari oleh pengurus Asosiasi Sepakbola Italia, khususnya Presiden FIGC, Carlo Tavecchio, Jadi, talenta para pemain yang terpenting, baru menyusul faktor-faktor lainnya. Nampaknya ada sedikit keterlambatan dalam regenerasi di tubuh tim Nasional Italia dibandingkan generasi-generasi sebelumnya, terlihat dengan talentanya tidak sebagus tim Piala Dunia Jerman 2006. 

Tapi soal talenta juga ada faktor alamiah. Negara-negara seperti Brazil dan Argentina juga pernah mengalami saat talenta berkurang secara kuantitatif dan kualitatif.  Bagaimanapun, dengan makin banyaknya pemain-pemain sepakbola bertalenta akan meningkatkan persaingan dan akan lebih melancarkan tugas dari pelatih tim Nasional.

Kecolongan:

Dalam pertarungan play-off, situasinya tidak mudah bagi tim manapun. Hanya dua kali main dan berjarak 3 hari. Dalam waktu yang singkat semuanya harus dikonsolidasikan. Aspek-aspek seperti strategi, kebugaran pemain, dan kerja sama tim sudah harus menjadi perhatian pelatih dan timnya.  Juga semangat pemain juga penting. Bahkan emosi dari seluruh anggota skuad juga patut dikontrol. Maklum saja kedua pertandingan adalah pertandingan hidup-mati.

Bermain di kandang lawan, tim Italia bermain dengan pola 3-5-2, sedangkan tim Swedia dengan formasi favorit mereka 4-4-2.  Di babak pertama,pertandingan langsung keras bahkan cenderung kasar. Terlihat bahwa tim Italia terpancing oleh permainan tim Swedia yang bermain keras. Juga tim Italia cenderung ingin menyerang. Padahal dalam sejarahnya tim sepakbola Italia selalu bermain menunggu, bertahan, dan mengandalkan serangan balik.

Bermain dengan formasi 3-5-2 memang lebih cocok dibandingkan dengan formasi 4-2-4 yang dipilih Ventura ketika melawan Spanyol di babak penyisihan grup yang menyebabkan tim Italia berantakan. Namun, rupanya pelatih Swedia memang sudah punya resep untuk menanggulangi tim Italia yang kualitasnya di atas Swedia. Bermodalkan pemain-pemain tinggi besar sebagaimana umumnya penduduk Skandinavia, sepertinya pelatih sudah menyiapkan permainan keras dan memperkuat lini pertahanan. Untung saja di babak pertama skor masih imbang 0-0. Padahal beberapa kali para pemain Italia melakukan kesalahan yang mendekati fatal, hanya sayangnya  tidak bisa dimanfaatkan oleh para pemain Swedia.

Di babak kedua, awalnya tanda-tanda gawang Buffon belum terlihat. Permainan keras tetap diperagakan Swedia. Akhirnya pada menit ke 62, Italia kecolongan setelah O. Toivinen mengumpan bola kepada J. Johansson yang dengan sekuat tenaga meneruskan ke gawang Buffon. Skor 1-0 sudah cukup bagi Swedia yang kemudian memperkuat lini pertahanan mereka. Italia kecewa, tapi memang Swedia layak menang karena lebih jitu walau penguasaan bola hanya 36%. Skuad Italia kembali ke negaranya dengan harapan bisa membalas di stadion San Siro, Milan yang terkenal dan seperti memiliki magis karena tim Nasional Italia tidak pernah kalah di sini. Nyatanya Italia tidak kalah, namun dengan sangat berat akhirnya gagal ke Piala Dunia Rusia 2018.

Piala Dunia Rusia 2018:

Boleh jadi tidak ada yang pernah membayangkan Piala Dunia tanpa keikutsertaan Italia. Tapi sekarang menjadi realita. Para penggemar sepakbola pasti merasa kaget dengan tersisihkannya Italia. Akan tetapi, dalam olahraga, kalah atau menang, berhasil atau gagal merupakan konsekuensi dari pertarungan. Kebetulan kali ini yang tersisih adalah Italia.

Sebetulnya tersisih dalam Piala Dunia lumrah. Bagi Swedia, keberhasilan menyisihkan raksasa sepakbola Italia, seperti memperoleh jack-pot,hadiah yang luar biasa. Swedia ikut Piala Dunia pada 2002 ketika diselenggarakan di Korea Selatan-Jepang. Swedia lolos 16 Besar, namun kalah dari Senegal dan langsung  tersisihkan. Terakhir kali ikut Piala Dunia adalah 4 tahun berikutnya tahun 2006 di Jerman. Di Piala Dunia kali ini, Swedia lolos penyisihan grup sebagai peringkat kedua. Sayangnya di babak berikutnya dikalahkan tim tuan rumah Jerman dengan 0-2. Tim Swedia akhirnya pulang kandang. Setelah itu Swedia gagal lolos kualifikasi Piala Dunia. Baru 12 tahun kemudian pada 2018, Swedia akan ikut Piala Dunia kembali di Rusia.

Kegagalan Swedia selama 12 tahun tidak ikut Piala Dunia bukan berita besar. Karena Swedia bukan negara besar dalam sepakbola. Juga Swedia belum pernah Juara Dunia. Lain halnya dengan kegagalan Italia, yang menjadi head-line di seluruh Dunia. 

Tanpa Italia, Piala Dunia tetap akan semarak dana kompetitif. Namun boleh jadi akan berbeda karena tidak adanya Italia. Memang masih ada Brazil, Argentina, Spanyol, Perancis, dan Inggris yang penuh dengan pemain talenta. Juga masih ada Belgia, Kroasia, Mesir, Senegal, Jepang, dan Korea Selatan. Tidak bisa dilupakan tim langganan Piala Dunia Meksiko yang selalu diperhitungkan.

Walau begitu, Piala Dunia kali ini akan dikenang sebagai Piala Dunia pertama setelah 60 tahun tanpa kehadiran Italia.

Bagi Italia sendiri, waktu empat tahun seharusnya cukup untuk menyiapkan tim yang tangguh. Tahun 2020 bisa dijadikan sasaran antara saat Piala Eropa. Turnamen Euro 2020 akan ada perubahan mendasar dan unik sebab akan berlangsung di 13 negara termasuk  Italia dengan jumlah peserta 24 negara.  Setelah itu sasaran berikutnya adalah Piala Dunia 2022 di Qatar. 

Hanya saja, sementara ini Italia harus dengan besar hati menerima kegagalan ikut Piala Dunia Rusia 2018 dan nampaknya Buffon dan kawan-kawan bisa menerimanya walaupun pahit. Karena itu mereka tidak mempersoalkan kenapa wasit Mateu Lahoz tidak memberikan penalti kepada Italia di babak pertama ketika pertandingan baru berjalan sekitar 15 menit.  Untuk itu bagi bangsa Italia, khususnya untuk Gianluigi Buffon dan kawan-kawan, mereka akan mengucapkan Arrivederci Piala Dunia Rusia 2018, selamat tinggal Piala Dunia Dunia 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun