Selain dari faktor-faktor penyebab tersebut di atas, masalah pelik lainnya adalah kepastian tentang jumlah besarnya BLBI. Di satu pihak penjualan aset dan pencicilan  berjalan terus, namun di lain pihak jumlah BLBI cenderung berubah dari waktu ke waktu. Ini menimbulkan pertanyaan penting yang menyangkut berapa sisa jumlah pinjaman BLBI yang harus dibayar pihak bank sebagai debitur.  Bagaimanapun, pada akhirnya pihak bank penerima BLBI  sebagaimana diperlihatkan selama ini tidak punya pilihan selain patuh kepada kebijakan pemerintah (compliance).
Masalah yang pelik dan kompleks ini terlihat seperti pada kasus ditetapkannya Syafruddin Tumenggung, mantan Kepala BPPN, Â sebagai tersangka karena dituduh memaksakan munculnya Surat Keterangan Lunas. Yang menarik di sini, bahwa sepertinya KPK sedang membidik kebijakan pemerintah waktu itu, yaitu pemerintahan Megawati Soekarnoputri.. Tepatnya yang diarah adalah Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Inpres tersebut adalah pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) Atas dasar ini pula pengacara Maqdir Ismail yang mewakili kliennya, Syamsul Nursalim, dengan tegas mengatakan bahwa hendaknya semua pihak menghormati keputusan yang diambil pemerintahan waktu itu. Ini karena kliennya tersebut telah memiliki Surat Keterangan Lunas (SKL).
Dari sini sulit untuk memprediksi bagaimana penyelesaian akhir masalah BLBI. Sementara waktu berjalan terus. Tidak pelak lagi bahwa memang BLBI adalah bagaikan benang kusut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H