Saat ini, hanya hoax yang menjadi pembicaraan masyarakat. Sepertinya tidak ada yang lebih penting selain mendiskusikan, membahas, dan menyebut soal hoax. Ini terjadi di kantor, di ruang rapat, di kampus, di mal, dan bahkan di tempat kebugaran. Celakanya, makin serius saja percakapan di Whatsapp (WA) tentang hoax. Makin hari makin seru, hoax setiap hari. Inilah potret masyarakat kita termasuk mereka yang dikategorikan golongan terpelajar.
Pembicaraan tentang hoax nampaknya sudah masuk pusat pemerintahan, karena berbagai upaya dilakukan agar masyarakat tidak percaya sama berita hoax. Di kalangan legislatif boleh jadi menjadi semacam hiburan karena hoax juga mengundang ketawa jika beritanya sulit diterima oleh akal sehat. Juga pernah beredar semacam SOP (Standard Operating Procedure) dalam memilah dan memilih berita, informasi, dan postingan di media sosial.
Tujuannya adalah mengambil yang bagus, benar, dan berguna serta membuang yang hoax. Namun demikian, ketika seseorang menerima informasi di media sosial yang membuatnya tertegun, terkesima, dan kaget, namun tetap saja semuanya dinikmati. Akhirnya, upaya menolak hoax jalan terus sementara berita-berita hoax tetap membanjiri media sosial. Sepertinya ini sesuai dengan dalil ekonomi penawaran dan permintaan.
Namun demikian. yang mengagetkan adalah pernyataan Rocky Gerung yang dosen Filsafat FIB Universitas Indonesia, dalam suatu acara di salah satu televisi Nasional, tanpa ragu dia mengatakan bahwa yang berpotensi menjadi pembuat hoax terbaik adalah pemerintah. Ini karena pemerintah memiliki semua peralatan, perlengkapan, dan infrastruktur yang diperlukan untuk memproduksi, mendesain, dan mengedarkan hoax. Intelijen, data statistik, dan media semua ada pada pemerintah. Kurang apa. Lengkap sudah semua yang diperlukan untuk berhoax. Pepatah lama berbunyi lagi menjadi tiada hari tanpa hoax bagi masyarakat kita.
Akar munculnya hoax:
Andaikata hoax diartikan sebagai canda atau joke, ini sudah dipraktekkan, beredar, dan dilakukan sejak lama. Ini karena hoax adalah identik dengan kebohongan dengan berbagai tujuan. April Mop yang beredar pada tiap 1 April di masyarakat Barat, pada dasarnya adalah hoax juga. Ini juga dikenal di kota-kota besar di Indonesia walau tidak seluas di negara-negara Barat.
Hoax sebelum ada media sosial beredar dari mulut-ke-mulut. Juga berseliweran melalui radio. Bahkan media cetak juga memiliki andil dalam mempopulerkan hoax. Dulu dikenal sebagai rumor. Walau begitu, rumor di masa lampau dampaknya berbeda dengan hoax era media sosial yang intensitasnya lebih tinggi karena perputaran pesan yang disampaikan sangat cepat dan meraih khalayak dalam jumlah yang sangat besar jika ternyata pesan yang disampaikan sangat menarik.
Intensitas tinggi, perputaran yang cepat, dan jangkauan khalayak yang banyak sekali menyebabkan hoax bisa digunakan secara sistematis untuk menciptakan opini publik. Ini yang terjadi saat ini. Beda dengan masa lalu rumor yang beredar walau dalam kenyataannya adalah kebohongan tetapi terkadang mengandung aspek lucu, jenaka, dan humor. Ini semacam hiburan bagi masyarakat modern di perkotaan yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari. Kaum profesional menikmati rumor yang semacam ini, walau terkadang terkait dengan kepemimpinan nasional atau para politisi. Kita pernah mengalami periode ini ketika belum muncul media sosial.
Rumor yang lucu jelas merupakan penawar hati yang gundah gulana, galau, dan bingung. Walau ini sifatnya temporer dan hanya untuk mengurangi stress, jelas ada manfaatnya. Lain halnya jika hoax yang menyebabkan sakit hati, amarah, dan kesal, malahan akan menjadi penyebab timbulnya stresskarena merasa dipermalukan. Biaya sosial untuk kasus semacam ini tidak kecil. Reaksi dari pihak yang terkena dampak hoax akan beragam, mulai dari yang acuh sampai kepada yang reaktif dan membalas dengan hoax juga. Akhirnya terjadi perang media sosial seperti sekarang.
Solusi:
Apakah memang ada solusi untuk menghentikan hoax? Apakah memang perlu untuk menyetop hoax? Bukankah hoax itu akan tidak bermakna karena masyarakat juga mampu untuk memilah berita yang benar dari berita hoax? Mengapa pemerintah terlalu sibuk dengan hoax, yang memunculkan persepsi adanya kecenderungan untuk mengendalikan kebenaran?
Akan halnya pemerintah yang ingin mengendalikan kebenaran, telah digambarkan oleh George Orwell dalam bukunya yang pernah menggemparkan dunia, berjudul 1948. Novel ini pertama kali diterbitkan pada 8 Juni 1949. Dalam novelnya ini George Orwell menggambarkan adanya seorang pemimpin, the big brother, Bung Besar di suatu Negara fiktif.
Bung Besar digambarkan sebagai pemimpin yang nafsu akan kekuasaan sangat besar. Ini direalisasikannya dengan pemimpin yang bernafsu untuk mengendalikan kebenaran di negaranya. Bahkan pikiran rakyatnya juga ingin dia kendalikan. Tentu saja ini adalah suatu political fiction. Ini bukan suatu realita. Pemerintahan tirani yang digambarkan dalam novel ini boleh jadi tidak akan pernah eksis. Ada yang mengkritik novel ini dengan menyebutnya ini hanyalah utopia belaka.
Buku yang ditulis oleh George Orwell ini adalah berdasarkan inspirasi dari isteri keduanya, Sonia Orwell. Lepas dari setuju atau tidak setuju terhadap karya George Orwell ini, faktanya buku ini mendapat sambutan hangat di mana-mana. Walau begitu, mereka yang punya akal sehat dan pro-demokrasi pasti tidak mengharapkan tirani semacam ini muncul di negara manapun.
Kembali kepada urusan hoax, apakah memang ada cara yang tepat untuk menghentikan hoax dengan jalan menentukan kriteria yang hoax dan yang bukan hoax? Berapa biaya dan energi yang dikeluarkan dengan sistem kontrol terhadap media sosial yang mempunyai jutaan postingan, lintasan, dan pergerakan setiap menit? Tentu masih banyak pertanyaan yang terkait dengan urusan hoax.
Hanya saja kalau berbasis azas manfaat, dengan hati dingin dan akal sehat, bukankah hoax dengan media sosial ini hanya mode belaka, yang boleh jadi akan hilang dengan sendirinya kalau ada media sosial jenis baru yang akan meminggirkan semua media sosial yang ada sekarang? Bukankah intensitas hoax yang tinggi karena terkait dengan Pilkada DKI 2017 yang akan menurun usai Pilkada DKI 2017? Akan tetapi, nampaknya hoax akan muncul lagi pada 2019 menjelang Pilpres.
Akan halnya soal hoax ada baiknya dikembalikan kepada setiap orang untuk mampu membuang hoax yang tidak sesuai dengan akal sehat. Namun demikian masyarakat harus tetap waspada dan jangan kecewa jika hoax akan terus berdatangan. Hati-hati karena bisa saja hoax bergerak di sekitar kita. Asal kita tidak mengedarkan hoax, apalagi memproduksi hoax. Awas ada hoax!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H