Kalau dipikir-pikir republik kita ini selalu memunculkan masalah yang menarik untuk dibahas, didebatkan, dan dipermasalahkan. Umumnya pula ini datang dari kawasan Senayan alias Pusat Parlemen. Ada saja yang keluar dari kawasan itu. Terkadang kita kesal. Bisa juga geram. Tapi, kali ini lucu.Yang membuat lucu dari persoalan yang berasal dari Pusat Parlemen adalah soal Rokok Kretek dan RUU Kebudayaan.
Pada saat sedang ramai dibahas turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan lesunya ekonomi kita, para wakil rakyat juga sedang mendiskusikan masuknya rokok kretek dalam RUU Kebudayaan. Ada apa dengan ini semua? Apakah sekadar pengalihan isu? Tapi nampaknya tidak demikian.. Karena pemangku kepentingan dari keinginan masuknya pasal rokok kretek ke RUU Kebudayaan berbeda dengan mereka yang terlibat dengan soal nilai tukar rupiah dan pertumbuhan ekonomi kita yang sedang lesu.
Persoalan rokok kretek dan RUU Kebudayaan bukan masalah sepele, Ada hal-hal yang sangat prinsip untuk menentang keinginan pihak tertentu yang mendorong masuknya rokok kretek dalam RUU Kebudayaan. Yang membuat topik ini semakin menarik adalah karena dampak rokok kretek yang negatif terhadap kesehatan manusia. Akan tetapi, yang membuat semakin menarik masalah ini adalah karena para pendukung masuknya rokok kretek dalam RUU Kebudayaan. Tentu mudah ditebak siapa para pemangku kepentingan dari perdebatan ini. Apakah ini menyangkut bisnis besar yang berjumlah puluhan triliun rupiah? Bahkan boleh jadi soal ratusan trilyunan rupiah. Bagaimanapun mereka adalah para pemain atas dalam bisnis di republik ini.
Mengapa kebudayaan?:
Menarik untuk dicermati mengapa ada yang mengusulkan rokok kretek dalam RUU Kebudayaan. Salah satu alasan adalah bahwa rujukan terhadap minuman anggur Jacob’s Creek yang telah dinyatakan sebagai warisan nasional dari Australia. Kemudian., negaranya Fidel Castro, Kuba, mempunyai cerutu sebagai warisan budaya nasional mereka.  Dari sini muncul alasan mengapa tembakau yang dicampur cengkeh menjadi rokok kretek tidak bisa menjadi national heritage ?
Kalau ini yang dijadikan alasan satu-satunya pasti tidak sulit untuk mengatakan setuju terhadap rancangan rokok kretek masuk RUU Kebudayaan. Sudah pasti kalau diadakan survey terhadap 1000 orang maka mayoritas akan setuju menyebutkan bahwa mereka bangga akan rokok kretek. Karena faktanya rokok kretek memang asli Indonesia. Ini pula yang membuat mereka yang hadir di pertemuan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) heran, kagum, dan terpesona ketika mendiang H. Agus Salim merokok kretek seusai sidang PBB.Tokoh kita yang satu ini memang selalu bangga dengan warisan budaya bangsa Indonesia seperti rokok kretek.
Namun demikian, setiap masalah tidak bisa dilihat hitam-putih saja. Konon di antara spektrum hitam-putih ada abu-abu. Bahkan ada abu-abu yang kehitam-hitaman dan ada pula abu-abu muda sekali mendekati putih. Dalam istilah lain bahwa setiap masalah harus kita lihat konteksnya. Ini pula yang membuat gerah mereka yang anti rokok, tepatnya anti nikotin.
Konteks utama dari rokok kretek adalah kesehatan. Semua juga tahu bahwa rokok sangat tidak baik untuk kesehatan.Ada beberapa penyakit yang bisa ditimbulkan oleh kebiasaan merokok. Penyakit-penyakit tersebut antara lain penyakit jantung dan penyakit kanker. Data menunjukkan tingginya prevalensi penyakit ini di negara kita. Sementara dampaknya terhadap produktifitas seseorang sangat signifikan. Secara nasional, dampak dari kedua penyakit ini sangat besar terhadap penurunan produktifitas nasional.
Lapangan kerja:
Sudah merupakan rahasia umum bahwa industri rokok kretek sangat besar sumbangannya dalam penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Mulai dari perkebunan tembakau, pabrik rokok kreteknya, sampai kepada saluran distribusinya. Apalagi kalau ditambah dengan para pengecer rokok kretek. Jelas sekali ini tidak diragukan. Dan, boleh jadi tidak ada industri yang mampu mengalahkan industri rokok kretek dalam penciptaan lapangan kerja.
Industri rokok kretek memang sangat besar sumbangannya dalam memutar, mengembangkan, dan memperkuat sendi-sendi perekonomian kita. Apalagi dengan sudah diekspornya rokok kretek yang selain merupakan lambang kekuatan ekonomi Indonesia juga merupakan produk budaya Indonesia. Wajar jika ini menumbuhkan rasa iri pada negara tetangga kita.Â
Sumbangan industri rokok kretek dalam memperkuat sendi-sendi perekonomian kita bahkan sudah ke luar ruang lingkup bisnis rokok kretek. Masuknya mereka ke industri properti dan ritel merupakan langkah strategis dalam memanfaatkan keuntungan yang meningkat dari waktu ke waktu. Secara sepintas kekuatan industri rokok kretek kita bisa dilihat dari belanja iklan mereka di berbagai media elektronik.Dengan berbagai macam pendekatan iklan-iklan beraneka ragam muncul di saluran-saluran televisi di tanah air.
Sementara itu, kegiatan sosial pun ditekuni oleh industri rokok kretek kita. Jelas sekali yang namanya orang dagang tidak lupa nama penyandang dana untuk kegiatan sosial akan selalu disebut. Strategi penguatan merek melalui kegiatan sosial harus diakui sangat jitu. Dunia olahraga pun dirambahnya.
Dilema:
Nampaknya akan terus terjadi bagi Indonesia dilema antara bisnis dan kesehatan. Antara lapangan kerja dengan kesehatan masyarakat. Yang lebih spesifik antara  ekonomi bisnis  dengan ekonomi kesehatan. Nampaknya ini akan berlangsung terus dan belum terlihat akan ada solusinya.
Upaya mencari titik temu antara ekonomi bisnis dengan ekonomi kesehatan bukannya tidak ada. Beberapa upaya antara lain bahwa perusahaan rokok kretek seperti halnya perusahaan rokok putih diwajibkan mengikutsertakan peringatan bagi masyarakat di iklannya bahwa merokok itu membahayakan kesehatan. Â Kalau di teve, iklan rokok ditayangkan agak larut malam, sekitar jam 22.00. Di pembungkus rokok juga ada catatan bahwa rokok itu membahayakan kesehatan disertai gambar bahaya merokok. Â Tapi ini nampaknya tidak signifikan dalam mengurangi jumlah perokok. Bahkan tidak sedikit remaja yang menjadi pecandu rokok. Lebih dari itu, para wanita juga makin banyak yang menjadi perokok. Tentu alasan mereka tidak sama.
Kembali kepada rokok kretek sebagai warisan budaya bangsa, nampaknya tidak bisa dihindari untuk adanya semacam pengakuan. Namun, apakah layak masuk RUU Kebudayaan, jelas banyak faktor yang sulit untuk meloloskan pasal ini. Alangkah indahnya jika bisa ditemukan cara yang merupakan win-win solution.   Apakah ini mungkin? Sepertinya kita serahkan kepada para ahlinya termasuk para budayawan dan para wakil rakyat di DPR.
Sementara itu, secara jujur harus diakui adanya anomali yang dalam hal ini adalah anomali dalam ekonomi kesehatan. Jumlah anggota masyarakat tidak berkurang yang merokok padahal mereka tahu bahaya yang mengancam di balik asap rokok. Statistik telah lama membuktikan besarnya biaya pengobatan penyakit akibat merokok. Kenikmatan semacam ini harus dibayar mahal. Sampai kapan ? Tidak ada yang tahu. Satu hal yang pasti industri rokok kretek terus berkembang karena jumlah perokok tidak berkurang. Sedangkan biaya sakit akibat merokok juga cenderung meningkat.
Â
Sumber gambar:Â http://www.klikbalikpapan.co/images/img_blog/49tes.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H