Mohon tunggu...
Ahmad Fuad Afdhal
Ahmad Fuad Afdhal Mohon Tunggu... Dosen - Ph.D.

Pengamat isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rokok Kretek dan RUU Kebudayaan

24 Oktober 2015   16:08 Diperbarui: 24 Oktober 2015   16:38 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumbangan industri rokok kretek dalam memperkuat sendi-sendi perekonomian kita bahkan sudah ke luar ruang lingkup bisnis rokok kretek. Masuknya mereka ke industri properti dan ritel merupakan langkah strategis dalam memanfaatkan keuntungan yang meningkat dari waktu ke waktu. Secara sepintas kekuatan industri rokok kretek kita bisa dilihat dari belanja iklan mereka di berbagai media elektronik.Dengan berbagai macam pendekatan iklan-iklan beraneka ragam muncul di saluran-saluran televisi di tanah air.

Sementara itu, kegiatan sosial pun ditekuni oleh industri rokok kretek kita. Jelas sekali yang namanya orang dagang tidak lupa nama penyandang dana untuk kegiatan sosial akan selalu disebut. Strategi penguatan merek melalui kegiatan sosial harus diakui sangat jitu. Dunia olahraga pun dirambahnya.

Dilema:

Nampaknya akan terus terjadi bagi Indonesia dilema antara bisnis dan kesehatan. Antara lapangan kerja dengan kesehatan masyarakat. Yang lebih spesifik antara  ekonomi bisnis  dengan ekonomi kesehatan.  Nampaknya ini akan berlangsung terus dan belum terlihat akan ada solusinya.

Upaya mencari titik temu antara ekonomi bisnis dengan ekonomi kesehatan bukannya tidak ada. Beberapa upaya antara lain bahwa perusahaan rokok kretek seperti halnya perusahaan rokok putih diwajibkan mengikutsertakan peringatan bagi masyarakat di iklannya bahwa merokok itu membahayakan kesehatan.  Kalau di teve, iklan rokok ditayangkan agak larut malam, sekitar jam 22.00. Di pembungkus rokok juga ada catatan bahwa rokok itu membahayakan kesehatan disertai gambar bahaya merokok.  Tapi ini nampaknya tidak signifikan dalam mengurangi jumlah perokok. Bahkan tidak sedikit remaja yang menjadi pecandu rokok. Lebih dari itu, para wanita juga makin banyak yang menjadi perokok. Tentu alasan mereka tidak sama.

Kembali kepada rokok kretek sebagai warisan budaya bangsa, nampaknya tidak bisa dihindari untuk adanya semacam pengakuan. Namun, apakah layak masuk RUU Kebudayaan, jelas banyak faktor yang sulit untuk meloloskan pasal ini.  Alangkah indahnya jika bisa ditemukan cara yang merupakan win-win solution.   Apakah ini mungkin? Sepertinya kita serahkan kepada para ahlinya termasuk para budayawan dan para wakil rakyat di DPR.

Sementara itu, secara jujur harus diakui adanya anomali yang dalam hal ini adalah anomali dalam ekonomi kesehatan. Jumlah anggota masyarakat tidak berkurang yang merokok  padahal mereka tahu bahaya yang mengancam di balik asap rokok. Statistik telah lama membuktikan besarnya biaya pengobatan penyakit akibat merokok. Kenikmatan semacam ini harus dibayar mahal. Sampai kapan ? Tidak ada yang tahu. Satu hal yang pasti industri rokok kretek terus berkembang karena jumlah perokok tidak berkurang. Sedangkan biaya sakit akibat merokok juga cenderung meningkat.

 

Sumber gambar: http://www.klikbalikpapan.co/images/img_blog/49tes.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun