Mohon tunggu...
Firdaus Tanjung
Firdaus Tanjung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memberi dan mengayuh dalam lingkar rantai kata

"Apabila tidak bisa berbuat baik - Jangan pernah berbuat salah" || Love for All - Hatred for None || E-mail; firdaustanjung99@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

[Bagian 3] Catatan Perjalanan Relawan, "Meulaboh Kami Datang"

29 Desember 2021   00:05 Diperbarui: 4 Januari 2022   00:52 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Posko relawan RKP dekat Dermaga, Ujung Karang Meulaboh. Gbr atas relawan RKP menyalurkan logistik ke pengungsi. (Foto: Firdaus Tanjung)

Kapal Berangkat.

Pada Minggu siang, 9 Januari 2005, pukul 13.45 WIB, Kapal KRI Teluk Peleng dengan nomor lambung kapal 535 berangkat meninggalkan pelabuhan Teluk Bayur menuju Meulaboh.

Membawa 68 relawan RKP yang terdiri dari mahasiswa, dan masyarakat umum. Untuk logistic sebanyak: 1774 karton mi instan, 5674 karton air mineral, 3800 karung pakaian layak pakai, 7 karton susu (balita dan anak-anak), 10 unit speedboat, dan obat-obatan.

Itu catatan yang tertera dalam catatan perjalanan penulis yang terdapat di album foto. Bantuan logistic tersebut nantinya akan disebar di beberapa titik pengungsian di Meulaboh dan sekitarnya.

Keberangkatan KRI Teluk Peleng 535 dilepas secara militer oleh TNI Angkatan Laut. Para mariner memberi hormat ke kapal saat mulai berjalan sampai beberapa puluh meter kapal menjauh dari dermaga.

Tidak sedikit yang melepas keberangkatan para relawan baik dari orang tua dan sanak famili relawan. Hadir juga karib kerabat dan teman-teman organisasi, serta juga pacar dari para relawan.

Ada rasa haru melihat saat pelepasan keberangkatan tersebut. Ini tentu menambah semangat dan tekad yang kuat untuk membantu saudara-saudara kita yang mendapat bencana alam tersebut. Keberangkatan yang sempat sedikit molor akhirnya berjalan sesuai rencana.

Pada hari pertama perjalanan, cuaca sangat bersahabat. Panas tidak terlalu terik. Lebih cenderung berawan cerah. Riak laut pun tenang. Kapal baru beberapa jam keluar dari Teluk Bayur.

Senjata Meriam di KRI Teluk Peleng 535. (Foto: Firdaus Tanjung)
Senjata Meriam di KRI Teluk Peleng 535. (Foto: Firdaus Tanjung)

Burung-burung terlihat terbang mencari makan di laut yang tenang. Para nelayan terlihat sedang mencari ikan. Beberapa perahu nelayan berberpapasan dengan kami dan saling melambaikan tangan.

Tidak banyak aktivitas yang kami lakukan di atas kapal. Para relawan hanya berputar pada sebagian kapal. Momen disini para relawan saling berkenalan lebih dekat. Disini ternyata ada seorang fotografer (Bang Rama) yang ikut.

Ia berangkat seorang diri dan ditugaskan untuk meliput foto-foto dan video selama di Aceh. Berasal dari salah satu media yang bergerak dibidang fotografi. Dan kami pun diberi materi singkat tata cara pengambilan foto.  

Untuk melihat suasana kapal secara keseluruhan memang tidak dibolehkan. Ada bagian tertentu yang tidak dizinkan masuk. Hanya bisa melihat sisi luar saja, termasuk beberapa meriam yang ada di kapal.

Kami hanya bisa menikmati pemandangan alam dari atas kapal. Selebihnya bincang-bincang bercerita hal-hal umum yang tentu dapat lebih mengakrabkan diri.

Bagi penulis, menaiki kapal perang dan berlayar bersamanya baru pertama kali ini. Begitu juga dengan relawan lainnya. Itu cerita-cerita kami di atas kapal.

Saat sore menjelang senja atau empat jam sesudah berlayar, laut terlihat masih tenang. Angin bertiup sepoi-sepoi. Para relawan RKP mulai datang ke geladak kapal.  

Tujuan tak lain melihat pemandangan laut menjelang senja untuk menikmati sunset. Sayangnya karena berawan dan sedikit mendung di ufuk barat, lembayung senja itu hasilnya kurang maksimal. 

Udara mulai terasa dingin. Hal ini bisa pertanda nanti malam kemungkinan akan hujan.

Selepas maghrib, kami masuk ke dalam untuk persiapan makan malam. Menunya seperti biasa bagi relawan yang juga sebagai penggiat alam bebas ini yakni mi instan dicampur dengan teri kacang balado plus telur. Dan tak lama hujan pun turun.

Beberapa waktu berselang, beberapa relawan mulai ada yang mabuk laut. Ini karena laju kapal yang seperti berayun diterpa gelombang. Selain itu memang belum terbiasa berlayar. 

Sementara di sisi lain, para mariner yang usianya masih muda tengah asyik dengan aktivitasnya masing-masing. Terlihat mereka tidak terpengaruh dengan ayunan gelombang.

Malam mulai beranjak dan semakin larut. Deru mesin kapal terdengar disela-sela hujan dan angin yang terasa mulai kencang. Kapal terus melaju di tengah laut yang mulai bergelombang.

Mabuk laut jelas tak bisa dihindari sebagian besar relawan. Belum lagi hujan turun menambah sedikit penderitaan. Ini  konsekwensi dari yang namanya suatu perjalanan laut bagi yang belum terbiasa.

Sewaktu di atas geladak saat istirahat penulis sempat melihat bagaimana kapal perang ini melaju di sisi alunan gelombang yang cukup besar. Perkiraan penulis ada sekitar 4 meter.

Di pagi harinya, hari kedua Senin (10 Januari) seperti biasa meski tidak cepat kapal melaju dengan tenang. Terlihat cuaca mendung berawan masih menyelimuti langit di pagi itu. Selesai sarapan pagi, para relawan tetap tidak banyak melakukan aktivitas.

Para Relawan RKP di atas geladak tengah menikmati pemandangan laut yang begitu tenang. (Foto: Firdaus Tanjung)
Para Relawan RKP di atas geladak tengah menikmati pemandangan laut yang begitu tenang. (Foto: Firdaus Tanjung)

Mungkin lebih banyak beristirahat setelah semalam dibuat pusing dan mabuk laut. Penulis pun juga hampir mabuk kalau gak keluar dari dalam lambung kapal. 

Di atas geladak kapal, dibawah terpal yang cukup kuat dan tebal, disitu penulis istirahat. Beruntung dapat tidur meski hanya dua jam saja.

Penulis mendapat info, bahwa waktu yang dibutuhkan mencapai Meulaboh diperkirakan 2 hari. Menurut penulis, ini cukup lama sampainya. Tapi, sudahlah yang penting keberangkatan terlaksana dan sampai ke tujuan dengan selamat.

Di waktu siang, cuaca mulai cerah meski masih berawan. Beruntung ada sedikit hiburan pemandangan dilaut. Yaitu, beberapa ekor ikan lumba-lumba terlihat berenang mengiringi kapal kami. Cukup menghibur dan menghilangkan rasa jenuh setelah sehari berlayar.

Tak lama terdengar suara pemberitahuan dari toa kapal, bahwa para crew dan relawan agar tidak mendekat haluan dan pinggir kapal. Diminta untuk segera masuk ke dalam kapal. Hujan tak lama lagi akan turun.

Benar saja. Tak lama kemudian hujan kembali turun. Intensitas hujan barangkali bisa dikatakan sedang. Sama seperti tadi malam.

Laut mulai mengayunkan gelomnbangnya. Ini membuat laju kapal terlihat miring ke kiri dan kekanan. Belum ditambah dengan angin yang bertiup cukup kencang.

Disini ada suatu pemandangan, membuat mata penulis benar-benar tidak berkedip. Gelombang laut yang cukup besar dari sebelah kiri kapal diperkirakan ada sekitar 4-5  meter mendekat. Kemudian kapal seperti  naik melambung. Lalu turun seakan terhempas ke bawah dan naik lagi.

Di suatu momen lain, kapal pun menerjang alunan gelombang. Lalu pecah menghantam haluan kapal. Ini membuat penulis dan yang lainnya dibuat bergidik.

Betapa tidak, saat menerjang ombak yang cukup besar, kapal sedikit menukik ke dalam laut. Sudah jelas air laut pun menerpa haluan dan geladak kapal. Kemudian kapal terangkat kembali.

Andai saja masih ada orang di sana sudah pasti tersapu oleh gelombang laut yang menerjang geladak. Dan sudah pasti terhempas ke laut.

Bisa dibayangkan kalau saja kapal tidak kuat mungkin bisa pecah. Tapi inilah yang namanya kapal perang di design betul-betul kuat untuk menerjang ombak besar.

Terbukti buatan Jerman ini benar-benar tangguh. Tidak salah negara itu sebagai salah satu yang terkenal dengan kekuatan armada lautnya.

Diperkirakan ada sekitar 2 jam lamanya kapal melewati gelombang yang cukup ganas di mata penulis. Sepertinya kapal sudah melewati Sumbar. Mungkin sudah menuju dekat (perairan) Sibolga.

Saat sore, hujan mulai berhenti. Laut terlihat kembali tenang. Tak terasa lembayung senja mulai menggores cakrawala. Namun, tetap belum bisa memperlihatkan kecantikannya menjelang mentari tenggelam.  

Tak lama adzan maghrib berkumandang dari toa kapal. Para relawan yang muslim mulai melaksanakan perintah wajib ini. Sholat pun dikerjakan dengan dijamak dan ada juga dengan meng-qashar-nya.

Kemudian malam pun tiba. Malam ke dua di kapal. Makan malam mulai disiapkan oleh tim dapur relawan RKP. Tapi untuk malam ini kami yang pria terpaksa mengurus dapur.

Ini dikarenakan teman-teman cewek bagian dapur sudah tidak kuat dengan pusing yang disertai mual. Jadi pekerjaan dapur diambil alih para cowok.

Sama seperti malam sebelumnya menu yang dihidangkan. Kami pun berbagi sambal dengan para mariner. Keakraban mulai terjalin dengan sendirinya. 

Meski waktu yang tidak begitu lama, kesan kami merasakan bahwa para mariner ini ramah dan mau berbagi pengalamannya selama jadi tentara.

Menjelang tengah malam laut masih terlihat tenang. Laju kapal juga terlihat tenang membelah riak-riak kecil ombak. Di langit terhampar gemerlapnya bintang-bintang. Sebagian besar para relawan sudah banyak yang tidur.

Disini penulis dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari perjalanan laut ini. Yaitu, ujian pertama dilalui dengan cukup lumayan berat. Rasa pusing dan mual sudah jelas sebagai uji ketahanan fisik.

Laut yang bergelombang dan ombak yang besar merupakan ujian mental agar tidak gamang apalagi panik. Dan doa adalah senjata utama dalam suatu perjalanan. Terlebih lagi dalam misi kemanusiaan.

Meulaboh, Kami Datang.

Tak terasa shubuh pun menjelang. Terdengar kembali pengumuman dari toa kapal, bahwa lokasi yang dituju sudah hampir sampai. Kepada para relawan diminta untuk segera mempersiapkan diri.

Lama perjalanan ada 1,5 hari atau 40 jam lamanya kami berlayar dari Teluk Bayur ke Meulaboh. Suatu rentang waktu yang cukup lama bagi kami.

Selepas shubuh, sekitar pukul 6 pagi kapal sudah berhenti. Cuaca terlihat cerah disekitar. Kapal berhenti agak jauh dari dermaga. Nun disana terlihat dermaga kapal. Mungkin jaraknya ada sekitar 1 km.

Suasana dermaga Meulaboh pasca gempa dan tsunami Aceh. (Foto: Firdaus Tanjung)
Suasana dermaga Meulaboh pasca gempa dan tsunami Aceh. (Foto: Firdaus Tanjung)

Beberapa kapal kecil dan speed boat dari dermaga terlihat mendekati kapal. Kami pun segera berkemas untuk siap turun ke kapal tersebut. Beberapanya diisi muatan bantuan logistic.

Disini jelas terlihat bahwa dermaga kapal di Meulaboh tidak bisa disandari kapal-kapal besar. Jadi diperlukan kapal-kapal kecil untuk membantu transit ke pelabuhan.

Membongkar muatan logistik dari kapal kecil milik TNI-AL. (Foto: Firdaus Tanjung)
Membongkar muatan logistik dari kapal kecil milik TNI-AL. (Foto: Firdaus Tanjung)

Dari kejauhan terlihat bangunan yang masih ada berdiri kokoh. Di sudut lain terlihat pemandangan rata tanah. Kemudian para relawan dibagi beberapa kloter menuju ke dermaga.

Setelah pamit kepada Kapten kapal dan para crew, kloter terakhir segera merapat ke dermaga. Suasana hati kami sedikit terlihat tegang. Melihat fakta selanjutnya di sekitar dermaga. Terlihat beberapa tentara di dermaga menyambut rombongan kami.

Budi Azwar, sang korlap pun segera menemui komandan disana. Melaporkan tujuan dan jumlah relawan serta bantuan logistic yang akan diberikan kepada warga Meulaboh.

Setelah selesai semuanya menepi, kami pun diarahkan sementara di tenda posko Angkatan Darat buat istirahat. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Sang korlap sudah kembali dan menyampaikan hasil pertemuan dengan komandan dari kesatuan Angkatan Darat (AD).

Para relawan diberikan izin lokasi untuk posko di area mereka. Boleh juga di luar dari kawasan dermaga ini. Tapi aparat keamanan tidak bisa menjamin keamanan dan keselamatan adik-adik mahasiswa karena gangguan keamanan masih terjadi.

Disampaikan juga bahwa jam malam diberlakukan di sekitar sini. Yaitu dari jam 8 malam sampai jam 6 pagi. Setelah mempertimbangkan itu semua, akhirnya dengan suara bulat para relawan mendirikan posko di kawasan dermaga.

Setelah mendapatkan lokasi, yakni suatu bangunan yang tidak runtuh semuanya, kami mulai menata tempat. Area dibersihkan dulu dari pepuingan.

 Beruntung disitu ada sumur. Meski sudah berasa payau tapi airnya bisa buat mandi, mencuci, dan keperluan lainnya.

Posko relawan RKP dekat Dermaga, Ujung Karang Meulaboh. Gbr atas relawan RKP menyalurkan logistik ke pengungsi. (Foto: Firdaus Tanjung)
Posko relawan RKP dekat Dermaga, Ujung Karang Meulaboh. Gbr atas relawan RKP menyalurkan logistik ke pengungsi. (Foto: Firdaus Tanjung)

Untuk minum kami menggunakan air mineral yang cukup banyak jumlahnya. Teman-teman bagian pertukangan membuat rak dapur dan tempat pembuangan air besar (wc).

Mengangkat taratak ke posko RKP untuk dijadikan rak dapur. (Foto: Firdaus Tanjung)
Mengangkat taratak ke posko RKP untuk dijadikan rak dapur. (Foto: Firdaus Tanjung)

Dapur sederhana relawan RKP di pinggir pantai. (Foto: Firdaus Tanjung)
Dapur sederhana relawan RKP di pinggir pantai. (Foto: Firdaus Tanjung)

Saat siang pekerjaan sementara di posko sudah selesai. Makan siang pun mulai dihidangkan. Kemudian dilakukan briefing membahas operasional di hari pertama. Hasilnya diputuskan; pendataan lokasi pengungsi, dan mencari titik lokasi evakuasi mayat serta hal lainnya yang dianggap perlu.

(( BERSAMBUNG ))

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun