Menurut penulis, pada poin 3 dan 4 kawasan Danau Toba belum memiliki suatu gedung yang dapat menampung kapasitas 2000-3000 orang.
Gedung ini akan berpengaruh secara riil dan besar untuk kawasan wisata sekelas Danau Toba. Gedung ini sebagai Balai Pertemuan atau Convention Hall. Termasuk beberapa gedung lainnya yang ada di sekitarnya yang berfungsi sama.
Sesuai dengan tagline MICE dari KEMENPAREKRAF, yakni meeting, incentive, Convention, Exhibition. Gedung ini nantinya dapat sebagai pertemuan mulai dari skala regional, nasional dan international.
Untuk skala internasional, barangkali bisa dijadikan tempat pertemuan-pertemuan tingkat ASEAN, APEC, G-20, Konferensi Non Blok, dan lain-lain.
Dilihat dari zoom meeting, penyelenggaraan seminar di TB. Silalahi ini mungkin maksimal berkapasitas 200-300. Karena di masa pandemi dibatasi sekitar 100-an orang.
Danau Toba ini merupakan Kaldera raksasa. Ia bukan dalam bentuk gunung api kerucut tapi suatu gunung api yang besar. Dengan 3 kali letusan supervolcano. Dan disebut letusan yang terakhir sekitar 74.000 tahun lalu yang terbesar.
Hasilnya dapat dilihat pada masa sekarang ini. Dilihat dari gugusan bebatuan yang terbangun di sekitar Danau Toba dapat dikatakan sebagai bebatuan muda. Demikian disampaikan pemateri Bapak Indyo.
Menurut Profesor Harini Muntasib dari IPB Bogor, untuk branding danau yang terluas di Asia Tenggara ini tidak melulu pemandangan alamnya. Perlu wujud dari hasil proses ledakan gunung api terbesar di dunia ini. Artinya perlu di buat film sejarah terbentuknya Danau Toba yang terbentuk dari 3 fase.
Penulis setuju dengan hal itu. Perlu ada yang bersifat edukasi dalam bentuk film sejarah/dokumenter. Tujuan utamanya adalah disamping buat anak-anak pelajar/mahasiswa juga untuk penelitian lebih lanjut.
Baru kemudian mengenalkan wisata yang berbudaya. Menurut Profesor Uli Kozok dari Hawaii of University, wisata yang berbudaya itu harus menyeluruh. Yaitu;