Setiap orang tentu tidak akan sama dalam pengalaman hidupnya. Terlebih dalam hal berbuat sesuatu bagi bangsa dan Negara ini.
Katakanlah berbuat sesuatu tentang semangat Cinta Tanah Air. Seperti mengibarkan Bendera Merah Putih di titik ketinggian atau di laut maupun danau.
Rasanya ini tidaklah berkelebihan tentang sesuatu apa yang sudah saya lakukan untuk negeri ini. Ya, negeri indah yang menawan di lintas khatulistiwa ini memiliki beragam suku dan kultur budayanya.
Kegiatan yang pernah saya lakukan semasa dahulu dalam berbuat sesuatu tentang Indonesia adalah Misi Pengibaran Merah Putih dengan Sepeda di atas Gunung Marapi Sumbar.
Saat itu saya masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Aktiv sebagai siswa pencinta alam (Sispala) Cougar SMA N 4 Padang.
Hoby berpetualang di alam bebas sudah mulai saya geluti sejak di bangku SMA. Beberapa gunung dan penyusuran gua serta wall climbing telah mulai saya geluti. Memang belum banyak gunung-gunung yang saya jelajahi. Masih berkisar di Sumatera Barat yang banyak memiliki gunung.
Lebih kurang sebulan sebelum pendakian gunung, saya bermimpi bahwa saya telah sampai di puncak suatu gunung dengan sepeda. Dalam mimpi itu hanya satu sepeda dengan 3 orang yang membawanya.
Pada kesempatan lain, Â saya bertemu dengan dua orang rekan saya yang sudah senior dalam mendaki gunung. Beliau ini tergabung dalam komunitas pencinta alam (KPA) di Kota Padang. Namanya Alfizar tergabung dalam KPA Kalilawa dan Jufri di KPA Alpen.
Saya berjumpa dengannya saat sedang kumpul-kumpul di salah satu tempat mangkal anak muda di Kota Padang. Lalu saya menceritakan perihal mimpi saya itu kepadanya. Beliau juga kaget sedikit heran.Â
Gayung bersambut, dua orang senior ini bahwasanya akan merencanakan pengibaran Merah Putih Gunung Marapi pada 17 Agustus 1993 dengan membawa sepeda. Mendapat "ilham" demikian, kemudian saya diajak bergabung dalam ekspedisi itu.
Singkatnya, kami berangkat pada tanggal 16 Agustus pagi sekitar pukul 10 menggunakan bus. Tidak lupa membawa perbekalan selama dua hari. Tak kalah pentingnya bendera Merah Putih dan bendera masing-masing organisasi.
Sepeda diletakkan di atas bus. Ya, kami sengaja tidak menempuhnya dengan sepeda ke lokasi. Artinya untuk menjaga stamina dan waktu.
Perlu juga diketahui, persiapan ekspedisi ini tidak ada yang mensponsori, murni dari dana pribadi masing-masing. Aktivitas misi ini sengaja tidak kami publikasikan ke teman-teman pendaki. Kecuali kepada ketua masing-masing organisasi kami.
Sesampai di titik lokasi pendakian Nagari Koto Baru, setelah makan siang kami bertiga melanjutkan perjalanan ke Tower posko pengamatan Gunung  Marapi. Â
Info yang kami dapatkan dari penjaga tower, belum ada satu pun para pendaki yang datang. Ya, sengaja kami mendaki di siang hari lebih cepat dengan tujuan "menghindar" dari ramainya pendaki yang akan berdatangan. Biasanya mereka akan memulai mendaki pada waktu malam hari.
Sesudah istirahat di posko pengamatan Gunung Marapi, lanjut menuju posko pesanggerahan pendaki yang terletak di kaki gunung. Jalan tanah di sini sebagian masih landai dan bisa di lalui sepeda. Â
Udara dingin khas pegunungan sudah mulai terasa. Sesampai di pesanggerahan waktu sudah menjelang sore. Kami beristirahat sejenak sambil makan snack ringan dengan kopi panas. Kabut dan udara dingin sudah mulai terasa.
Sewaktu istirahat di pesanggerahan, kami sempat bertemu 2 turist asing yang baru saja turun gunung. Mereka ternyata suami-isteri dari Chekoslovakia (ketika itu Negara ini belum terpecah).
Kami tawarkan minuman kopi panas. Bule ini pun sangat senang sekali menerimanya. Dan mengatakan lezat sekali. Padahal kopi tersebut kami campurkan jahe. Tujuannya biar tidak mudah masuk angin.
Kemudian melihat ada sepeda terparkir di situ, bule ini heran dan bertanya juga. Lalu kami jelaskan tujuan kami membawa sepeda ke gunung Marapi yaitu dalam rangka Indepndence Day Indonesia yang ke 43.
Bule yang pria takjub dan member hormat dengan menggerakkan sedikit tangan kanannya kepada kami. Setelah habis secangkir kopi mereka pamit dan buru-buru melanjutkan perjalanan ke Bukittinggi karena sudah ada temannya yang menunggu sekalian melapor ke Polsek Koto Baru.
Tak lupa mereka memberikan semacam sticker berlogo semacam LSM yang berbahasa Cheko kepada kami, yang artinya jika mereka sempat datang ke negaranya, maka perlihatkan sticker ini ke orang disana, nantinya pasti akan diantarkan ke tempatnya.
Selanjutnya mulailah kami melanjutkan perjalanan yang sesungguhnya, yakni mendaki Gunung Marapi dengan Sepeda. Track tanjakkan awal langsung terhampar. Dengan menyandang carrier, sepeda pun juga di pikul di pundak.
Pelan namun pasti, melangkah dengan hati-hati. Keseimbangan dan kekuatan kaki merupakan hal yang di jaga. Tergelincir bisa berakibat fatal pada otot dan urat pergelangan kaki yang mengakibatkan keseleo otot atau urat.
Hari mulai merayap malam. Suara khas binatang hutan seperti burung dan jangkrik mulai terdengar mengiringi langkah-langkah kami. Bintang gemintang mulai terlihat bertaburan di langit. Keringat kami mulai deras membasahi tubuh.
Beban yang kami sandang lumayan berat. Ada sekitar 40-50 kg beban yang kami pikul. Bisa dibayangkan bukan membawa beban demikian ke atas gunung ??
Tengah malam sudah mulai berdatangan para pendaki. Tegur sapa sesama pendaki selalu menghiasi. Tapi, kami tetap menyembunyikan sepeda kami di balik semak-semak. Ya, kami tidak ingin diketahui saat ini. Biar nanti paginya mereka tahu.
Menjelang shubuh para pendaki mulai ramai terlihat. Saat itu kami sudah hampir mendekati cadas. Akhirnya kami terlihat juga oleh para pendaki bahwasanya kami membawa sepeda ke gunung. Untuk diketahui juga ketika itu belum ada satu pun yang pernah mencoba mendaki gunung dengan sepeda tanpa porter. Kamilah yang baru membuat "sensasi gila" ini.
Mengingat track tanjakkan yang lumayan berat kami istirahat lama di cadas di pagi harinya. Sangat melelahkan. Tapi tekad kuat dan semangat yang menyala, kelelahan itu bisa kami kendalikan. Dalam pikiran hanya membayangkan Merah Putih dan bendera organisasi berkibar di atas Gunung Marapi.
Termasuk juga bersepeda ria di "lapangan bola" yang terbentuk secara alami di atas gunung. Suatu hal yang kami dambakan sejak di awal perencanaan.
Akhirnya kami sampai juga ke atas Gunung Marapi pada waktu menjelang siang. Sungguh tak terkirakan perasaan hati kami. Haru dan menangis yang bisa saya lakukan. Seolah tidak percaya dengan perjuangan yang sungguh melelahkan.
Bagaikan seperti "pejuang" dulu yang tak kenal lelah untuk merebut kemerdekaan. Ya, itulah hal pertama yang saya resapi. Semangat cinta tanah air semakin bergelora terasa. Sebagai yang masih berstatus siswa pelajar, terpatri dengan sendirinya untuk mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
Inilah secuil yang kami lakukan untuk berbuat sesuatu bagi Indonesia lewat penghormatan dan pengibaran Merah Putih di Gunung Marapi (2891 mdpl) Sumbar.
Misi ini kami namakan " Tiga Tumah Dalam Satu Atap" yang artinya 3 Organisasi dalam satu puncak Gunung.
Wasssalam.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H