Penggunaan alat EDC ini biasanya banyak dijumpai di supermarket, mall, hotel, restaurant atau kafe-kafe serta lainnya. Begitu juga di pintu-pintu jalan tol yang saat ini tengah ditingkatkan penggunaan transaksi elektronik di kawasan kota-kota besar lainnya. EDC ini juga dipandang sebagai alat transaksi yang fleksibel.
Alat nomor tiga tersebut yang sekarang digunakan oleh teman saya dalam hal bertransaksi dengan pelanggan. Yang kebetulan, penggunaan alat EDC GPRS Mobile tersebut sedang digalakkan oleh pemerintah dalam hal ini lewat Bank BRI. Artinya mudah di bawa dan tidak ribet dalam hal penggunaannya. Hanya dibutuhkan sinyal yang kuat untuk akses jaringan internetnya.
Dalam pengamatan saya, selama bekerja dilapangan dulu, terutama masuk toko-toko, masih belum banyak yang menggunakan alat transaksi elektronik EDC ini. Belum lagi pada toko-toko kecil, misal toko / kedai eceren (ritel) yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari yang banyak dijumpai dekat permukiman warga.
Dari sinilah akan memunculkan semacam paradigma baru kepada penjual dan pembeli. Dengan sendirinya diharapkan akan timbul kesadaran dalam hal bertransaksi non tunai. Meskipun butuh waktu beberapa lama. Bisa diprediksikan, berapa banyak pelaku usaha retail ini bertebaran di tiap komplek perumahan /permukiman biasa di kawasan suatu kota?
Jadinya, jika ini terlaksana dan mencapai tingkat keberhasilan setengahnya maka pertumbuhan transakasi non tunai akan meningkat drastis. Dengan sendirinya aliran rupiah akan menjadi bertambah dan kuat (terhadap mata uang asing).
Pedagang pun juga diuntungkan, karena mereka akan secara otomatis uang dan keuntungannya tersimpan dengan aman. Bagi pembeli pun juga tidak khawatir lagi membawa uang. Anggaplah rata-rata pembeli ini berbelanja menghabiskan uang Rp 100.000,- sekali belanja dengan asumsi untuk kebutuhan 3 hari. Jika yang berbelanja ada 10 orang maka hasilnya 1 juta rupiah/hari. Terus dikalikan lagi dengan pemilik kedai lainnya yang diasumsikan di suatu kota itu ada 100 kedai. Maka hasil yang diperoleh adalah 100 juta rupiah sehari. Bila dikalikan lagi untuk 30 hari, maka menjadi 3 milyar /bulan.
Bisa dibayangkan bukan, bila hasil demikian berlangsung dengan skala luas. Uang yang ‘tertahan’ di tangan pedagang tidak berlangsung lama. Langsung otomatis masuk ke rekening bank. Yang tentu saja akan kembali memperkuat nilai rupiah di dalam negeri. Dengan kata lain laju inflasi bisa ditekan dan dikontrol. Karena peredaran uang kartal tidak begitu banyak. Pertumbuhan ekonomi pun meningkat. Dan cadangan rupiah pun semakin bertambah.
Penggunaan alat EDC tersebut kepada pelaku usaha mikro ini butuh waktu dan sosialisasi serta cara penggunaannya. Memang harganya sedikit mahal berkisar 3-4 juta rupiah. Tetapi hal ini masih bisa disolusikan dengan cara subsidi ringan oleh instansi yang berwenang. Pemerintah terutama bank-bank pemerintah (BNI-Mandiri-BRI) membuat skala prioritas dan pemetaan. Berguna untuk monitoring dan evaluasi seberapa jauh efektifitas dan efisiensi yang dipakai pedagang.
Banner dan spanduk dipasang pada toko /kedai eceran tersebut. Disamping himbauan sosialisasi dengan menggunakan media TV, cetak, maupun on line tentang manfaat menggunakan transaksi non tunai. Dengan tujuan menumbuhkan rasa kesadaran kepada warga terutama lapisan menengah ke bawah. Hal penting lainnya juga bank memberikan pelatihan kepada pelaku usaha ekonomi mikro tersebut. Ajakkan ini bisa kerja sama dengan instansi kelurahan/ kepala desa atau melibatkan institusi kampus.
Disadari atau tidak, mereka para pedagang ritel / eceran ini adalah salah satu ujung tombak lajunya pergerakan ekonomi. Merekalah yang tiap hari “mengisi” pos-pos anggaran pada perusahaan sebagai distributor besar. Yang dengan sendirinya juga mempercepat putaran rupiah antara perusahaan dan bank.