Mohon tunggu...
IMAM SYAFII
IMAM SYAFII Mohon Tunggu... Pelaut - Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I)

Kadang pengin nulis, kalau lagi senggang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Curhat Mantan ABK Kapal Ikan yang sedang Berjuang di MK

17 Juli 2024   10:09 Diperbarui: 17 Juli 2024   10:12 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sidang MK (Dok. MK)

Isu yang beredar, saya adalah orang yang ikut atau punya tujuan agar pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri masuk menjadi bagian dari definisi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Itu adalah salah satu doktrin yang disebar oleh mereka kepada kawan-kawan saya, sehingga kini sebagian kawan terus menyindir atau bahkan ada pula yang menghina saya, meskipun tidak secara langsung, tapi ada juga yang secara langsung, dan saya pun enggan untuk meresponnya, buat apa juga?

Saya coba curhat ya, dulu, saya pulang dari luar negeri jadi awak kapal, 2013 sekitar April atau Mei (kalau enggak salah). Kepulangan saya itu enggak sendiri, tapi bersama dengan 202 awak kapal lainnya, di mana saat itu kami menjadi korban penelantaran oleh pemilik kapal, di perairan Trinidad and Tobago.

Kami tidak menerima gaji pada saat itu, ya ada yang sudah full kerja 3 tahun, ada yang 2 tahun, ada juga yang 1,5 tahun, termasuk saya salah satunya. Itu benar-benar saya rasakan lho... benar-benar merasa jadi budak. Kenapa budak? Ya emang saya kerja 1,5 tahun sepeserpun enggak terima gaji! Enggak kayak sekarang, dikit-dikit perbudakan, enggak dibayar gaji sebulan, perbudakan. Gaji terlambat dibayar, perbudakan. Apa-apa perbudakan. Enggak hanya soal gaji yang tidak dibayar ya, tapi dokumen buku pelaut saya dan kawan-kawan juga dipalsukan. Jadi, saya pernah kerja di kapal sebagai awak kapal dan pernah punya buku pelaut, meskipun itu belakangan diketahui adalah palsu, saya tetap dong boleh mengklaim diri seorang pelaut? Hhee... soalnya belakangan ini juga rame tersebar kalau saya katanya bukan pelaut. Mungkin, isu-isu itu disebar karena mereka kesal pasca saya mengajukan permohonan JR UU PPMI (18/2017) ke MK. Oh iya, soal uji materi di MK, nanti deh dibahasanya, saya mau curhat dulu. Hhee...

Kembali ke soal masa lalu sewaktu jadi awak kapal, saya kemudian kenal dengan seorang Pengacara yang juga seorang Kurator dan juga Dosen, di mana bagi saya, beliau juga merupakan seorang Guru, karena begitu banyak ilmu yang saya dapat secara gratisan dari beliau dan dalam curhatan ini saya sebut beliau dengan inisialnya saja, yakni Pak IZ, sapaan saya kalau manggil atau diskusi dengan beliau.

Saat itu, 2013 (April), jangankan paham aturan, ngatur ngomong aja susah. Hhee... Tapi beliau selalu bawel ke saya untuk setiap harinya saya harus baca aturan (hukum). Tentunya hukum yang berkaitan dengan kasus saya dkk., saat itu, yakni UU PPTKILN (39/2004). Nah UU PPTKILN ini merupakan aturan yang dibentuk atau terbit berdasarkan Amanah UUK (13/2003), Pasal 34 kalau enggak salah.

Singkatnya, hampir setiap hari UU PPTKILN saya lahap (baca). Hingga akhirnya, saat itu, berdasar UU PPTKILN, sepemahaman saya, bahwa Pelaut yang kerja di luar negeri adalah Bagian dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Lalu di mana hal itu di atur? Kawan-kawan silakan saja baca Penjelasan Pasal 28 UU PPTKILN. Kalau enggak salah, pada Pokoknya, bahwa Pelaut adalah salah satu atau bagian dari TKI, dengan label, TKI dengan Pekerjaan atau Jabatan Tertentu. Gimana, clear ya? Bahwa berdasar UU PPTKILN atau sejak 2004, Pelaut yang kerja di luar negeri merupakan bagian dari TKI. Lalu kenapa pasal Pelaut itu diletakan hanya di Penjelasan? Lagi-lagi, pemahaman saya, mungkin karena pembuat UU PPTKILN nampaknya sadar betul bahwa UU PPTKILN merupakan Amanah dari UUK yang sifatnya general (umum) bagi Pelaut. Disamping itu juga, telah ada UU Pelayaran (21/1992) jo. PP Kepelautan (7/2000) yang sifatnya specialis (khusus) bagi Pelaut. Hal itulah yang kemudian menjadi dasar saya dkk., saat itu berjuang menuntut Pemerintah Indonesia, dalam hal tersebut BNP2TKI, Kemnaker, Kemenhub, Kemenlu, dll., hingga berujung didapatkannya hak restitusi Rp 1,1 Miliar sesuai UU PTPPO (21/2007) via Putusan Hakim PN Jakbar, 2014.

Dalam perjuangan menuntut hak, saya semakin hari semakin senang membaca aturan. Hhee... jadi kutu buku, julukannya. Eh... kutu Hape, karena bacanya lewat Hape, waktu itu. Saat itu, ada dua aturan yang menjadi konsen saya untuk dilahap. Yakni UU PPTKILN dan PP 7/2000. Setelah saya baca kedua aturan itu, rupanya ada kesesuaian, yakni adanya mandat ke Kemnaker untuk menerbitkan aturan atau tata kelola tentang penempatan tenaga kerja pelaut. Enggak percaya? Baca saja Pasal 28 UU PPTKILN dan Pasal 19 ayat (6) PP 7/2000. Nah sayangnya, sejak terbit PP Kepelautan tahun 2000 dan ditambah terbit UU PPTKILN tahun 2004, Kemnaker sebagai institusi pemerintah Indonesia yang diberi Amanah, enggak melaksanakan Amanah tersebut. Enggak percaya? Coba saja cari, apakah ada sejak tahun 2000 hingga 2004 terbit Kepmenaker / Permenaker tentang tata cara penempatan TKI Pelaut? Saat itu (2013, Januari) BNP2TKI menerbitkan aturan Perka BNP2TKI No. 03/2013 tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing. Nah... adanya aturan itulah kenapa waktu itu saya dkk., sempat demo BNP2TKI sampai 26 hari (pasang tenda). Hhee... saya ingat betul waktu itu demo dan ditemui Pak Jumhur Hidayat selaku Ketua BNP2TKI, di mana waktu itu kami para awak kapal minta Pak Jumhur (BNP2TKI) panggil atau jemput paksa pihak perusahaan.

Meski begitu, sepemahaman saya, meski terbitnya Perka BNP2TKI beralasan karena adanya kekosongan hukum (nah... kosong kan? Iya, itu kosong karena Kemnaker abai terhadap Amanah Pasal 19 ayat 6 PP 7/2000 dan Amanah Pasal 28 UU PPTKILN), maka BNP2TKI berinisiatif mengisi kekosongan hukum itu dengan penerbitan Perka BNP2TKI 03/2013, di mana hal itu menurut saya pribadi tidak sesuai, karena saat itu BNP2TKI tidak memiliki kewenangan untuk mengatur tata cara penempatan TKI Pelaut, yang semestinya sesuai Pasal 28 UU PPTKILN, diatur dengan Permenaker, bukan dengan Perka BNP2TKI.

Sruppuuttt dulu kopinya Bung, biar makin asyik, baca curhat ini. Hhee...

Kemudian pada Oktober 2013, Kemenhub melalui Amanah dari PP 20/2010 tentang Angkutan di Perairan, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 151, terbitlah Permenhub 84/2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal. Nah aturan ini pun waktu itu saya kritik dan kontra, karena keberlakuan PM 84/2013 melampaui batasannya, di mana ruanglingkup UU Pelayaran (17/2008) tidak sampai mengatur tata kelola penempatan dan perlindungan pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri di kapal berbendera asing, di mana menurut pemahaman saya waktu itu, PM 84/2013 harusnya hanya untuk mengatur tata kelola Pelaut di dalam negeri, sebagaimana ruanglingkup UU Pelayaran. Makanya saat itu, saya sempat membuat steatmen di media nasional, bahwa perizinan untuk perusahaan perekrutan dan penempatan pelaut ke kapal lokal dan ke kapal asing di luar negeri harusnya memiliki dua izin, yakni SIUPPAK (PM 84/2013) dan SIPPTKI (UU PPTKILN). Nah dalam periode perjuangan ini, antara tahun 2013 (April) saya dipulangkan dari Trinidad and Tobago, sampai sekitar tahun 2020, baik di Organisasi FSPILN, SPILN, PPI dan sebentar di SAKTI (sekitar 6 bulan). Aktifitas organisasi dalam hal advokasi kasus, saya sering memperkarakan perusahaan pelayaran dengan mengacu pada aturan umum pelaut, itu pintu masuknya dari UU Pelayaran, Pasal 337. Kenapa ada Pasal 337 dalam UU Pelayaran? Hemat saya, pembuat UU Pelayaran saat itu (tahun 2008) sadar betul nampaknya bahwa aturan khusus pelaut itu belum sepenuhnya mengakomodir perlindungan bagi pelaut, karena UU Pelayaran masih mengatur segala aspek pelayaran, dari mulai Kenavigasian, Angkutan di Perairan, Kepelautan, Perkapalan, dll. Tapi menurut saya, dengan adanya Pasal 337 UU Pelayaran, bukan serta merta kemudian semua aturan ketenagakerjaan pelaut mengacu pada UUK, tapi hal-hal yang belum diatur secara detail atau tidak diatur dalam UU Pelayaran dan aturan-aturan turunannya, terkait dengan hak ketenagakerjaan pelaut, maka berlakulah aturan umum bagi pelaut, yakni UUK dan aturan-aturan turunannya.

Rezim UU PPMI (18/2017) sebagai Pengganti UU PPTKILN dan Uji Materi AP2I terkait UU PPMI di MK. Jangan lupa, srupppuutt lagi kopinya... Hhee...

Mungkin banyak kawan berpikir dan atau berpendapat kalau saya sudah berubah Haluan, yang tadinya pro pelaut sebagai bagian dari PMI, menjadi kontra pelaut dikatakan bagian dari PMI. Oh ya, dalam UU PPMI, istilah yang dipakai adalah PMI atau kepanjangannya Pekerja Migran Indonesia. Bukan TKI sebagaimana hal itu diistilahkan dalam UU PPTKILN. Balik lagi ke soal pro dan kontra itu tadi ya, sebenarnya itu adalah pendapat atau pemikiran dari kawan-kawan yang keliru menilai saya. Hhee. Kenapa saya kemudian tidak kontra lagi dengan keberlakuan SIUPPAK? Ya buat apa kontra, wong dasar hukumnya sudah ada, sejak lahirnya UU Cipta Kerja yang merevisi beberapa UU, termasuk UU Pelayaran (terlepas dari pro kontra yang terjadi, saat ini UU tersebut, masih berlaku), kemudian lahirlah PP 31/2021, di mana dalam PP tersebut keberlakuan SIUPPAK atau aktivitas perekrutan dan penempatan awak kapal bisa untuk dalam dan luar negeri. PP tersebut kemudian juga melahirkan PM 59/2021, di mana dalam PM 59/2021 pun mengatur Batasan kegiatan perekrutan dan penempatan awak kapal yang sama atau sejalan dengan PP 31/2021. Ditambah, telah ada upaya hukum Uji Materi di MA oleh kawan-kawan serikat, yang mempertentangkan PM 59/2021 dengan batu ujinya UU PPMI dan PP 22/2022 yang hasilnya permohonan uji materi tersebut ditolak. Lalu untuk apa dan alasan apa lagi saya harus kontra dengan SIUPPAK? Toh SIUPPAK itu izin yang diterbitkan secara resmi oleh Pemerintah Indonesia melalui Kemenhub. Kalau sudah ada landasan hukumnya, tinggal diikuti, dikawal, apa yang masih kurang dikritisi agar semakin diperbaiki, kan kira-kira seperti itu yang baik? Bukan kemudian menerbitkan perizinan baru dari Kementerian lain, yang berdampak pada dualisme perizinan. Meskipun dalam PP 22/2022 diatur mekanisme tentang Penyesuaian perizinan dari SIUPPAK ke SIP3MI, tapi rasa-rasanya kok kayak enggak etis ya? Masa sama-sama PP (PP 31/2021 dan PP 22/2022) bisa menganulir PP lainnya, yang secara jelas itu beda kepala (beda UU)? Apakah karena di PP 22/2022 ada deposito Rp 1,5 Miliar, lalu SIP3MI dianggap lebih melindungi pekerja? Apakah Solusi adanya deposito harus dibarengi dengan produk (perizinan) baru? Apakah lintas Kementerian tidak bisa berkoordinasi agar hanya satu izin? Apakah deposito SIP3MI sudah benar dan tepat untuk melindungi kepentingan pekerja? Lalu bagaimana dengan kepentingan Pemerintah untuk melindungi pelaku usaha? Apakah jika pelaku usahanya tidak terlindungi maka pekerja bisa bekerja? Bagaimana jika secara nyata yang melanggar hak pekerja adalah Pemilik kapal/operator kapal di luar negeri? Kenapa dalam UU PPMI penyelesaian perselisihan hanya soal perjanjian penempatan? Bagaimana dengan perselisihan mengenai perjanjian kerja? Lalu jika terjadi perselisihan hubungan industrial, siapa mediator yang tepat, apakah mediator di BP2MI atau mediator Hubungan Industrial pada Kemnaker/Disnaker? Jika di Mediatori oleh BP2MI, apakah jika terjadi deadlock, kemudian Nota Anjuran dari Mediator BP2MI dapat diterima oleh PHI sebagai salah satu syarat wajib dilakukannya Gugatan ke PHI? Lalu jika yang melanggar hak pekerja adalah Pemilik Kapal/Operator Kapal di luar negeri, lalu sesame WNI (pekerja dan pelaku usaha WNI) kita biarkan bertarung di PHI, sementara mereka (owner, asing) tertawa melihat kita sesama WNI bersengketa? Wah sebenarnya masih banyak sih pertanyaan-pertanyaannya... Hhee...

Oh iya, ada kawan yang pernah nyletuk, UU PPMI disahkan tahun 2017, kenapa baru sekarang (tahun 2023) di uji materi di MK, kemana saja selama 6 tahun? Saya jawab ya... emangnya untuk melakukan uji materi di MK harus cepat? Emang kami enggak berhak melakukan kajian dan analisis dulu? Emangnya enggak butuh modal buat bersidang di MK, sewa pengacara, ahli, transportasi, dll.,? ah NT kadang-kadang... kalau ngemeng asal ngejeplak aja... hhee. Nah sekarang saya gantian tanya, UU PPMI disahkan tahun 2017, lalu kenapa terbitnya Amanah Pasal 64, sampai tahun 2022 atau alias 5 tahun? Tentunya pemerintah juga punya argumentasi kenapa sampai 5 tahun lamanya baru terbit PP 22/2022, melakukan kajian dan analisis juga tentunya. Lah pertanyaanya, NT NT yang bisanya Cuma nyinyir... selama 5 tahun kemana aja? Ngawal enggak? Ngritisi enggak? Giliran saya ada hajat di MK, NT NT seakan-akan paling akan-akan ... hhee... siap SUHU... sipaling Hukum... Maha Benar... dan masih banyak lagi... Dewasalah dalam berorganisasi... pro kontra itu hal biasa... beda pendapat atau pemikiran, jangan dilanjutkan ke pribadi sampai dikorek-korek... saya sama john kemot di PHI bersidang bentak-bentakan sama Lawyer Perusahaan di muka persidangan, setelah selesai sidang, kita ngopi dan diskusi santai... santai saja mas bro... Kalau takdirnya jadi pintar, ya pintarlah... jadi suhu, ya suhulah... jadi sipaling hukum, jadilah... tapi ingat, adab dan etika serta tali silaturahmi tetap dijaga...

Sekian dulu, kopinya habis... mohon maaf kalau ada kata-kata yang kasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun