Mohon tunggu...
IMAM SYAFII
IMAM SYAFII Mohon Tunggu... Pelaut - Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I)

Kadang pengin nulis, kalau lagi senggang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ada Istilah Baru di Kepelautan: Mazhab Perhubungan dan Mazhab Gatot Subroto

28 Mei 2024   11:12 Diperbarui: 28 Mei 2024   11:21 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pro dan Kontra terkait regulasi Pelaut Indonesia, khususnya bagi mereka "Pelaut Indonesia" yang bekerja atau dipekerjakan di kapal berbendera asing di luar negeri terus terjadi, hal itu dipicu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia "UU PPMI" yang mengklaim Pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai bagian dari kelompok Pekerja Migran Indonesia "PMI".

Bagi saya, hal itu adalah lumrah adanya, karena setiap orang atau kelompok yang konsen terhadap isu pelaut, mempunyai hak yang sama untuk mengutarakan pendapatnya, terlepas dengan segala perbedaannya tersebut.

Misalnya, mengutip dari artikel Opini seorang kawan pengamat maritim di salah satu media elektronik, beliau sampai menyebut ada dua Mazhab, yakni Mazhab Perhubungan "Kemenhub" dan Mazhab Gatot Subroto "Kemnaker". Hehe... ada-ada saja kawan satu ini.

Tapi dalam artikel ini, saya pribadi, bukan untuk mempersoalkan adanya dua Mazhab seperti yang disebutkan oleh kawan di atas itu. Bagi saya pribadi, baik Kemenhub maupun Kemnaker tidak bisa dipisahkan atau dipilih salah satunya untuk mengurusi persoalan tata kelola Pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing di luar negeri, sebab keduanya sama-sama memiliki peran penting untuk melindungi hak-hak pelaut.

Misalnya, Kemenhub yang diberikan wewenang oleh undang-undang beserta aturan turunannya untuk menerbitkan perizinan bagi badan usaha khusus keagenan awak kapal juga memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan yang maksimal terhadap pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas perekrutan dan penempatan awak kapal, termasuk memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pengusaha.

Di satu sisi, Kemnaker juga harus melaksanakan kewajibannya dalam melaksanakan perintah undang-undang beserta aturan turunnya, yang menjadi wewenangnya, misalnya berkaitan dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam tahapan mediasi yang dilakukan oleh Mediator Hubungan Industrial setelah gagalnya penyelesaian melalui proses perundingan bipartit, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial "UU PPHI".

Menurut saya, Pelaut dan Pengusaha yang berselisih, melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 59 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan telah diberikan cara dalam menyelesaikan perselisihan, yakni melalui ketentuan Pasal 122, Bagian Kedelapan, Penyelesaian Perselisihan Pelaut, di mana: (1) Perusahaan Keagenan Awak Kapal wajib menyelesaikan perselisihan yang timbul antara Pelaut dengan pemilik Kapal atau kuasanya, atau Pelaut dengan Perusahaan keagenan Awak Kapal secara musyawarah. Dan (2) Dalam hal penyelesaian perselisihan secara musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diselesaikan, maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan hubungan industrial atau di luar pengadilan dengan berpedoman pada PKL "Perjanjian Kerja Laut" yang telah ditandatangani oleh para pihak dan dokumen pendukung lainnya.

Setelah membaca ketentuan Pasal 122 Permenhub PM 59/2021, menurut hemat saya, tentunya siap untuk dikoreksi apabila salah, setidaknya ada beberapa opsi yang dapat ditempuh untuk melakukan penyelesaian perselisihan antara Pelaut dengan Pengusaha setelah mengalami kegagalan dalam bermusyawarah, diantaranya:

Pertama, para pihak yang berselisih atau para kuasanya dapat menempuh proses penyelesaian perselisihan melalui jalur di luar pengadilan dengan berpedoman pada PKL yang telah ditandatangani oleh para pihak. Dalam proses ini, menurut saya yang lebih relevan adalah meminta fasilitas bantuan penyelesaian di Kementerian Perhubungan atau Kantor Kesyahbandaran setempat, mengingat Kemenhub cq. Kesyahbandaran merupakan pihak yang diberikan wewenang dalam pengesahan PKL dan Penyijilan Buku Pelaut. Apalagi, jika ternyata diketahui PKL tersebut tidak disahkan dan Buku Pelautnya tidak disijil, maka perusahaan dapat langsung dicabut izin usahanya sebagaimana sanksi administratif tersebut diatur dalam Permenhub 59/2021.

Kedua, para pihak yang berselisih atau para kuasanya dapat menempuh proses penyelesaian perselisihan melalui jalur Pengadilan Hubungan Industrial "PHI". Tentunya dalam proses ini, rujukannya adalah UU PPHI, di mana para pihak setelah gagal dalam perundingan bipartit, kemudian melanjutkan penyelesaian perselisihan dengan melibatkan instansi pemerintah di bidang ketenagakerjaan (Kemnaker/Disnaker setempat) yakni dengan meminta fasilitas dari Mediator Hubungan Industrial "MHI", yang apabila gagal menemukan penyelesaian, maka MHI akan menerbitkan Nota Anjuran, dan apaabila Nota Anjuran tersebut tidak dilaksanakan oleh Pihak yang dianjurkan untuk membayar hak pelaut atau pengusaha menolak isi anjuran tersebut, maka berbekal Nota Anjuran tersebut, pihak yang dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan pada PHI setempat (dalam proses ini, cukup memakan waktu).

Ketiga, mungkin ini suatu terobosan apabila terjadi, yakni, untuk memangkas birokasi dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebelum kasus bergulir di PHI, dalam tahapan mediasi di Kemnaker/Disnaker (apabila para pihak yang berselisih mengambil jalur penyelesaian perselisihan opsi kedua atau merujuk UU PPHI), dalam posisi ini, MHI semestinya dan memungkinkan berwenang untuk melibatkan pejabat Kemenhub/Kesyahbandaran untuk dihadirkan sebagai Ahli di bidang kepelautan untuk dimintai pendapat seputar keahliannya dalam proses penyelesaian perselisihan secara Mediasi di Kemnaker/Disnaker, sehingga penyelesaian bisa dilakukan dengan baik berdasarkan kolaborasi antara Kemnaker/Disnaker dan Kemenhub/Syahbandar.

Atau terobosan selanjutnya, perlu dicoba, mungkinkah PHI dapat menerima gugatan perselisihan hubungan industrial pelaut hanya berbekal bukti "risalah perundingan musyawarah/bipartit" yang telah gagal dan bukti PKL, tanpa harus melampirkan Nota Anjuran dari MHI, dengan pertimbangan kekhususan pekerjaan pelaut? Mengingat proses penyelesaian sesuai UU PPHI (Bipartit, Mediasi, dan Gugatan di PHI) membutuhkan waktu yang tidak sebentar, serta dalam proses persidangan di PHI tentunya dibutuhkan dokumen kepelautan yang asli sebagai alat bukti, sehingga hal tersebut dapat menghambat seorang pelaut untuk kembali bisa bekerja di kapal jika dokumen asli masih dibutuhkan untuk keperluan persidangan. Wah... nampaknya terobosan ini perlu dikoordinasikan antara Kemenhub dengan Mahkamah Agung. Hehe... semoga.

Nah kawan-kawan Kompasianer, mungkin itulah sedikit artikel opini dari saya, meski masih banyak lagi yang perlu diulas, mungkin nanti akan saya tulis di artikel selanjutnya. Owh iyaa, pesan saya sih, jika tujuannya adalah untuk pelindungan hak-hak pelaut, kolaborasi lintas instansi pemerintah sangat dibutuhkan. Bukan kemudian merasa paling berwenang untuk mengelola, lobi sana sini kemudian terbit aturan yang levelnya sama, tapi seakan menganulir aturan lainnya. Inikan kasihan Pak Presidennya, misalnya saja, antara PP 31/2021 dengan PP 22/2022 kan sama-sama PP, yang ditetapkan oleh Presiden. Masa iya, ada 2 (dua) PP dari turunan UU yang berbeda, bisa menganulir ketentuan di PP yang lainnya? Ironisnya, PP 31/2021 ini kan aturan yang sifatnya khusus bagi awak kapal, tapi produk dari PP 31/2021 "Perizinan Keagenan Awak Kapal" kasarnya "disuruh" bermigrasi ke perizinan sesuai PP 22/2022 "Perizinan penempatan PMI", yang sifatnya umum bagi awak kapal?

Dan satu lagi mengenai perizinan perusahaan keagenan awak kapal telah diperkuat dengan adanya Putusan MA Nomor 67 P/HUM/2022 Tanggal 27 Desember 2022, yang dalam salah satu pertimbangannya Hakim MA menyatakan "Bahwa perekrutan awak kapal dan penempatan awak kapal tidak dapat disamakan dengan Pekerja Migran Indonesia, dan didasarkan pada peraturan perundangan-undangan yang berbeda sehingga sudah sewajarnya kewenangan terkait penerbitan perizinan usaha perekrutan dan penempatan awak kapal dilaksanakan oleh instansi yang berbeda, dalam hal ini untuk perizinan terkait perekrutan dan penempatan Awak Kapal berbendera Indonesia dan Kapal Asing di luar negeri dilaksanakan oleh Kementerian Perhubungan sedangkan perizinan terkait Pekerja Migran Indonesia dilaksanakan oleh Kementerian Ketenagakerjaan;"

Akhir kata, kemelut regulasi pelaut sedang diuji di MK. Semoga Majelis Hakim MK dalam memutus perkara PUU Nomor 127/PUU-XXI/2023 dapat mempertimbangkan Putusan MA Nomor 67 P/HUM/2022, sebagai salah satu dasar bagi Majelis Hakim untuk memutus perkara a quo dengan seadil-adilnya. Aamiin.

Nah itu sih dari Kacamata saya ya, enggak tau kalau dari kacamata para Kompasianer? Hehehe... ditunggu ulasannya ya di kolom komentar untuk bahan evaluasi dan koreksi dari artikel ini. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun