Mohon tunggu...
IMAM SYAFII
IMAM SYAFII Mohon Tunggu... Pelaut - Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I)

Kadang pengin nulis, kalau lagi senggang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ada Istilah Baru di Kepelautan: Mazhab Perhubungan dan Mazhab Gatot Subroto

28 Mei 2024   11:12 Diperbarui: 28 Mei 2024   11:21 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, mungkin ini suatu terobosan apabila terjadi, yakni, untuk memangkas birokasi dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebelum kasus bergulir di PHI, dalam tahapan mediasi di Kemnaker/Disnaker (apabila para pihak yang berselisih mengambil jalur penyelesaian perselisihan opsi kedua atau merujuk UU PPHI), dalam posisi ini, MHI semestinya dan memungkinkan berwenang untuk melibatkan pejabat Kemenhub/Kesyahbandaran untuk dihadirkan sebagai Ahli di bidang kepelautan untuk dimintai pendapat seputar keahliannya dalam proses penyelesaian perselisihan secara Mediasi di Kemnaker/Disnaker, sehingga penyelesaian bisa dilakukan dengan baik berdasarkan kolaborasi antara Kemnaker/Disnaker dan Kemenhub/Syahbandar.

Atau terobosan selanjutnya, perlu dicoba, mungkinkah PHI dapat menerima gugatan perselisihan hubungan industrial pelaut hanya berbekal bukti "risalah perundingan musyawarah/bipartit" yang telah gagal dan bukti PKL, tanpa harus melampirkan Nota Anjuran dari MHI, dengan pertimbangan kekhususan pekerjaan pelaut? Mengingat proses penyelesaian sesuai UU PPHI (Bipartit, Mediasi, dan Gugatan di PHI) membutuhkan waktu yang tidak sebentar, serta dalam proses persidangan di PHI tentunya dibutuhkan dokumen kepelautan yang asli sebagai alat bukti, sehingga hal tersebut dapat menghambat seorang pelaut untuk kembali bisa bekerja di kapal jika dokumen asli masih dibutuhkan untuk keperluan persidangan. Wah... nampaknya terobosan ini perlu dikoordinasikan antara Kemenhub dengan Mahkamah Agung. Hehe... semoga.

Nah kawan-kawan Kompasianer, mungkin itulah sedikit artikel opini dari saya, meski masih banyak lagi yang perlu diulas, mungkin nanti akan saya tulis di artikel selanjutnya. Owh iyaa, pesan saya sih, jika tujuannya adalah untuk pelindungan hak-hak pelaut, kolaborasi lintas instansi pemerintah sangat dibutuhkan. Bukan kemudian merasa paling berwenang untuk mengelola, lobi sana sini kemudian terbit aturan yang levelnya sama, tapi seakan menganulir aturan lainnya. Inikan kasihan Pak Presidennya, misalnya saja, antara PP 31/2021 dengan PP 22/2022 kan sama-sama PP, yang ditetapkan oleh Presiden. Masa iya, ada 2 (dua) PP dari turunan UU yang berbeda, bisa menganulir ketentuan di PP yang lainnya? Ironisnya, PP 31/2021 ini kan aturan yang sifatnya khusus bagi awak kapal, tapi produk dari PP 31/2021 "Perizinan Keagenan Awak Kapal" kasarnya "disuruh" bermigrasi ke perizinan sesuai PP 22/2022 "Perizinan penempatan PMI", yang sifatnya umum bagi awak kapal?

Dan satu lagi mengenai perizinan perusahaan keagenan awak kapal telah diperkuat dengan adanya Putusan MA Nomor 67 P/HUM/2022 Tanggal 27 Desember 2022, yang dalam salah satu pertimbangannya Hakim MA menyatakan "Bahwa perekrutan awak kapal dan penempatan awak kapal tidak dapat disamakan dengan Pekerja Migran Indonesia, dan didasarkan pada peraturan perundangan-undangan yang berbeda sehingga sudah sewajarnya kewenangan terkait penerbitan perizinan usaha perekrutan dan penempatan awak kapal dilaksanakan oleh instansi yang berbeda, dalam hal ini untuk perizinan terkait perekrutan dan penempatan Awak Kapal berbendera Indonesia dan Kapal Asing di luar negeri dilaksanakan oleh Kementerian Perhubungan sedangkan perizinan terkait Pekerja Migran Indonesia dilaksanakan oleh Kementerian Ketenagakerjaan;"

Akhir kata, kemelut regulasi pelaut sedang diuji di MK. Semoga Majelis Hakim MK dalam memutus perkara PUU Nomor 127/PUU-XXI/2023 dapat mempertimbangkan Putusan MA Nomor 67 P/HUM/2022, sebagai salah satu dasar bagi Majelis Hakim untuk memutus perkara a quo dengan seadil-adilnya. Aamiin.

Nah itu sih dari Kacamata saya ya, enggak tau kalau dari kacamata para Kompasianer? Hehehe... ditunggu ulasannya ya di kolom komentar untuk bahan evaluasi dan koreksi dari artikel ini. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun