Mohon tunggu...
rudin
rudin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tertarik pada seni dan sastra

sepertinya aku sudah tak ada waktu lagi.\r\ntapi untuk berubah aku belum terlambat.\r\nsemua terasa sangat menghimpit.\r\ndan harus bergerak bebas. (eksistensialisme)

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Maut dan Peluru

15 Maret 2017   19:43 Diperbarui: 15 Maret 2017   19:45 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Maut dan peluru
tak pernah berhenti saat sudah melesat
pelatuk yang bicara tanpa kompromi
menembus kepala, mengoyak daging di dada
maut tlah tiba

Maut dan peluru tiada kenal usia
terus melaju tiada henti mendapat nyawa  
tapi maut yang belum berjabat terus berdo'a "ajal jangan dulu tiba". 

maut dan peluru terus berlomba mendapat tempat
Nyalakan hasrat membara
Menanti rintih, menanti desah
ribuan nyawa terrenggut; persatu tanpa kata
Hanya mati terus ada 

Peluru yang melaju terus memaksa karna maut yang belum tentu peduli
saling berkejaran menanti kehendak Nya
hanya satu dalam waktu menghitung
waktu tuk berhenti atau detak jantung harus mati

Peluru melaju dengan panas dan ganas menandai datangnya ajal
peluru yang tiada mendapati kehendaknya
tiada usai terus membuntuti luka
di hari-hari yang penuh dengan kelaparan memaksa mati untuk tiba

Maut dan peluru tumbuh dalam ingatan
tanpa pernah terhapus dan terus meninggalkan jejak luka
Manusia menuliskan sendiri sejarahnya
tentang kekelaman, tentang kebiadaban genosida di Gaza.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun