Mohon tunggu...
Fronika Simarmata
Fronika Simarmata Mohon Tunggu... Guru - Pendidik di SDN 175781 Saitnihuta

Lulusan dari Universitas Negeri Medan Tahun 2013

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayah dan Kenangan

26 Oktober 2020   10:25 Diperbarui: 26 Oktober 2020   10:40 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam darah kami mengalir darah batak. Kami keturunan Suku Batak bermarga Simarmata yang berasal dari Daerah Toba Samosir namun nenek moyang kami telah lama menetap di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Bagi kami orang Batak, sistem kekerabatan yang kami anut disebut Patrilineal (mengikuti garis keturunan ayah). 

Hal inilah yang membedakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Seolah derajat laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Namun seiring berkembangnya zaman, sudah ada persamaan gender. Tetapi tidak bisa dipungkiri untuk orang-orang tertentu, masih fanatisme akan patrilineal ini. 

Hal inilah yang dulu ada dalam pikiran saya sehingga saya kurang akrab dengan ayah saya semasa hidupnya. Dulu saya sering berfikir, ayah saya lebih sayang kepada adik laki-laki saya. 

Disamping itu, ayah saya adalah orang yang hemat bicara. Kalaupun ada yang salah dengan saya maupun dengan saudara ayah tidak pernah mengatakan langsung kepada kami. Kamarahannya disampaikan melalui ibu saya.

Sejak saya duduk di bangku SMP sampai SMA, saya begitu jarang sharing bersama ayah saya mengenai permasalahan yang saya hadapi dalam pendidikan saya. Ayah hanya berbicara seadanya. Yang paling mirisnya, ayah sering menyampaikan pesan melalui ibu saya. Memang ayah saya termasuk orang yang pekerja keras. 

Ayah dan ibu saya bermata pencaharian sebagai petani. Sekalipun jarang bicara dengan saya, tetapi ayah saya merancang hal yang menyangkut masa depan saya termasuk tabungan untuk biaya perkuliahan saya. Ayah menanam berbagai tanaman yang bisa menghasilkan yang mendukung biaya perkuliahan saya. 

Sebaliknya, ibu saya saat itu tidak setuju jika saya melanjut pendidikan ke Perguruan Tinggi. Saat itu ibu saya khwatir mengenai biaya. Dalam benaknya, bagaimana mungkin anak seorang petani yang memiliki lahan sepetak  boleh melanjut ke Perguruan Tinggi? 

Namun dibarengi dengan usaha dan doa dari Ayah saya, akhirnya setelah menyelesaikan pendidikan dari SMA, Tuhan mengizinkan saya LULUS di salah satu Perguruan Tingg Negeri di Sumatera Utara. Tuhan menjawab doa Ayah saya.

Dengan segala perjuangan, biaya adminitrasi berhasil diselesaikan. Perkuliahan dimulai. Ayah saya pun semakin giat lagi mengembangkan pertaniannya. Ayah giat dalam mengikuti kegiatan-kegiatan Kelompok Tani yang tentunya memacu semangat 

Ayah saya dalam hal tanam-menanam untuk memperoleh hasil yang bagus agar bisa membiayai perkuliahan saya. Hari-hari demi hari kami lalui. Dengan dukungan yang luar biasa dari ayah dan ibu saya, saya pun Tuhan Izinkan untuk memperoleh beasiswa PPA dari Kampus. Setidaknya mengurangi beban orang tua saya.

Semakin hari, komunikasi saya dan ayah saya pun semakin banyak. Kami seringkali sharing mengenai pergumulan yang kami hadapi. Saya begitu senang memiliki banyak komunikasi dengan ayah saya. 

Ayah saya pun semakin percaya diri sebab beliau telah berjuang untuk salah satu putrinya yang sebentar lagi akan menyelesaikan pendidikan dari Perguruan Tinggi. 

Maklum, waktu itu di kampung kami masih jarang anak yang lulusan sarjana. Apalagi anak-anak petani. Hanyak anak-anak PNS saya yang masih sanggup menyekolahkan anak sampai Perguruan Tinggi. 

Diakhir-akhir perkuliahan saya. Ayah saya mengidap penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Saya memberikan banyak waktu saya bersama ibu saya untuk merawat Ayah di hari-hari terakhirnya. Pada waktu yang Tuhan izinkan, setelah sekitar 6 bulan sakit, ayah saya meninggalkan untuk selamanya. Bukan hanya menangis. Nyaris putus asa. 

Serasa tak punya tujuan hidup lagi. Bertahun-tahun saya belum pulih akan kehilangan ayah saya. Setiap melihat seseorang yang memiliki perawakan yang hampir saya dengan ayah saya, saya merasa itu adalah saya.

Saya selalu berdoa kepada Tuhan agar Tuhan memberikan pekerjaan yang terbaik kepada saya supaya saya bisa membahagiakan istrinya tercinta yang beliau tinggalkan yaitu ibu saya yang tercinta. Dan hari ini Tuhan mendengar doa kami semua. 

Semoga ayah saya tersenyum melihat saya, ibu, dan semua saudaraku dan bahkan semua cucu-cucunya. Ayah yang luar biasa. Ibu yang luar biasa. Salam Hangat! Salam Kompasianer!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun