Jurnal "Analisis Kritis Terhadap Pemikiran Max Weber (Perspektif Islam)" karya Masyhuri
- Pokok-pokok pemikirannya
1. Aksi Sosial: Weber menekankan pentingnya memahami aksi sosial dari perspektif subjektif individu. Ia berargumen bahwa perilaku sosial harus dianalisis berdasarkan makna yang diberikan individu.
2. Birokrasi: Ia mempelajari birokrasi sebagai bentuk organisasi yang efisien dan rasional, mencirikan karakteristiknya, seperti hierarki, aturan formal, dan pembagian kerja.
3. Etika Protestan dan Kapitalisme: Dalam karyanya "The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism," Weber menjelaskan bagaimana nilai-nilai etika Protestan berkontribusi pada perkembangan kapitalisme di Eropa.
4. Otoritas: Weber mengklasifikasikan jenis-jenis otoritas: otoritas tradisional, karismatik, dan rasional-legal, yang masing-masing memiliki cara berbeda dalam memperoleh legitimasi.
5. Rasionalitas: Weber membedakan antara rasionalitas tujuan dan rasionalitas nilai. Ia berpendapat bahwa tindakan rasional dalam konteks tujuan membantu memahami perkembangan modernitas dan kapitalisme.
6. Kultur dan Ekonomi: Beberapa tokoh berargumen bahwa pemikiran Weber terkait dengan interaksi antara kultur dan ekonomi memberikan wawasan tentang bagaimana faktor budaya memengaruhi perkembangan ekonomi, bukan sekadar faktor material.
7. Proses Sekularisasi: Weber mengamati bagaimana proses modernisasi dan rasionalisasi dapat mengarah pada sekularisasi, yang berdampak pada nilai-nilai dan institusi sosial
Jurnal berjudul "Komentar Terhadap Hukum dan Masyarakat Dalam Pemikiran John Austin dan H.L.A Hart" Karya Humiati
- Pokok-pokok pemikirannya
1. Teori Interaksionisme: HLA Hart mempelajari bagaimana individu membentuk makna melalui interaksi sosial, menekankan pentingnya konteks sosial dalam proses pembentukan identitas.
2. Dinamika Kelompok: Ia juga meneliti cara kelompok berfungsi dan bagaimana individu berperan di dalamnya, dengan fokus pada proses sosial yang terjadi dalam kelompok kecil.
3. Konstruksi Sosial Realitas: HLA Hart berargumen bahwa realitas sosial dibentuk melalui interaksi, bukan hanya melalui struktur yang ada.4. Fokus pada Praktik Sosial: HLA Hart dipandang sebagai pemikir yang menekankan praktik sosial dalam membentuk makna, berargumen bahwa tindakan sehari-hari individu menciptakan struktur sosial.
5. Kritik terhadap Teori Strukturalis: Beberapa peneliti melihat HLA Hart sebagai kritik terhadap pendekatan strukturalis yang lebih deterministik, dengan menekankan agen individu dalam pembentukan realitas sosial.
6. Konteks Budaya: HLA Hart juga menekankan pentingnya konteks budaya dalam analisis interaksi sosial, sehingga memperkaya pemahaman tentang bagaimana norma dan nilai ditransmisikan di masyarakat.
Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart, dua tokoh besar dalam sosiologi dan filsafat hukum, tetap relevan dalam konteks saat ini. Berikut adalah bagaimana pemikiran mereka dapat diaplikasikan dalam dunia modern:
1. Max Weber
Konsep Birokrasi dan Rasionalitas: Weber dikenal karena konsepnya tentang birokrasi sebagai struktur organisasi yang rasional dan efisien. Birokrasi modern sering kali mengikuti model yang Weber kemukakan---hierarkis, berbasis aturan, dan dijalankan oleh staf profesional. Namun, di era modern, birokrasi yang terlalu kaku dapat menjadi tidak fleksibel, sehingga banyak organisasi berupaya mengadopsi sistem yang lebih luwes dan adaptif.
Etika Protestan dan Kapitalisme: Weber mengaitkan etika kerja Protestan dengan perkembangan kapitalisme di Barat. Meskipun era modern lebih beragam dalam hal kepercayaan dan budaya, nilai-nilai seperti kerja keras, disiplin, dan tanggung jawab tetap menjadi landasan di banyak tempat. Di sisi lain, ada kritik bahwa kapitalisme yang ekstrem dapat memicu ketimpangan sosial.
Otoritas dan Legitimasi: Weber membagi otoritas menjadi tradisional, kharismatik, dan legal-rasional. Otoritas legal-rasional, yang didasarkan pada hukum dan peraturan, adalah yang paling dominan dalam sistem modern. Di masa kini, muncul tantangan terkait kepercayaan masyarakat terhadap otoritas hukum dan pemerintahan, terutama ketika keputusan yang diambil dianggap tidak transparan atau tidak mewakili rakyat.
2. H.L.A. Hart
Teori Hukum Positif: Hart adalah tokoh utama dalam positivisme hukum, yang menekankan pemisahan antara hukum dan moralitas. Pandangannya bahwa hukum harus dilihat sebagai serangkaian aturan yang independen dari norma moral tetap relevan. Namun, di era modern, banyak pula yang berpendapat bahwa hukum harus lebih responsif terhadap isu-isu moral seperti hak asasi manusia dan keadilan sosial.
Konsep Primary Rules dan Secondary Rules: Hart membedakan antara aturan primer (yang mengatur perilaku) dan aturan sekunder (yang mengatur pembentukan, perubahan, dan penerapan aturan primer). Pembagian ini penting untuk memahami sistem hukum di negara modern, terutama dalam hal pembentukan undang-undang dan prosedur peradilan. Di era sekarang, di mana sistem hukum dihadapkan pada masalah globalisasi, perubahan teknologi, dan pluralitas budaya, konsep aturan primer dan sekunder membantu menjaga keseimbangan antara inovasi dan stabilitas hukum.
Kritik pada Pandangan Tradisional Hukum: Hart menantang pandangan tradisional bahwa hukum selalu memerlukan sanksi. Dia menekankan bahwa hukum bisa efektif meski tanpa sanksi yang keras, selama ada penerimaan sosial. Di era saat ini, pendekatan yang lebih humanis terhadap hukum menjadi penting, termasuk dalam isu peradilan restoratif dan rehabilitasi daripada sekadar hukuman.
Analisis Berdasarkan Max Weber
1. Birokrasi dan Rasionalitas: Weber mengemukakan bahwa birokrasi adalah bentuk organisasi yang efisien. Dalam konteks hukum di Indonesia, perkembangan sistem hukum sering kali terpengaruh oleh struktur birokrasi pemerintah. Proses legislasi dan penegakan hukum melibatkan banyak institusi yang terorganisir secara hierarkis. Namun, tantangan seperti korupsi dan kurangnya transparansi sering kali menghambat rasionalisasi proses hukum, sehingga mengurangi efektivitasnya.
2. Otoritas dan Legitimasi: Weber juga membedakan jenis-jenis otoritas, yang relevan dalam menganalisis bagaimana hukum diterima dan diimplementasikan di masyarakat. Di Indonesia, otoritas hukum sering kali berhadapan dengan norma-norma sosial dan tradisional, sehingga legitimasi hukum tidak selalu diperoleh secara otomatis. Misalnya, hukum adat masih memegang peranan penting dalam banyak komunitas, yang dapat menciptakan ketegangan dengan hukum nasional.
Analisis berdasarkan HLA
1. Hukum sebagai Sistem: Hart menganggap hukum sebagai sistem aturan yang terdiri dari aturan primer dan sekunder. Di Indonesia, perkembangan hukum dapat dilihat melalui pengakuan dan integrasi hukum adat, hukum positif, dan norma-norma internasional. Hal ini menciptakan kompleksitas dalam sistem hukum, di mana individu dan institusi harus navigasi di antara berbagai sumber hukum tersebut.
2. Aturan dan Praktik Sosial: Konsep Hart tentang hubungan antara aturan dan praktik sosial juga sangat relevan. Di Indonesia, penerapan hukum sering kali dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya. Misalnya, meskipun ada undang-undang yang jelas, praktik di lapangan dapat bervariasi tergantung pada nilai-nilai masyarakat setempat, yang menunjukkan adanya kesenjangan antara hukum yang tertulis dan realitas sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H