Mohon tunggu...
Firmina Wenni
Firmina Wenni Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Para Bedebah untuk "Negeri di Ujung Tanduk"

24 Februari 2018   18:46 Diperbarui: 26 Februari 2018   07:05 2500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Negeri Di Ujung Tanduk, salah satu novel pengritik hukum dan politik di negeri ini, di bahas secara menarik oleh sang penulis, Tere Liye. Novel ini berkisahkan tentang seorang konsultan politik yang berjuang demi kebenaran dan kesucian dalam dunia politik. Berbagai masalah demi masalah, tipu-menipu, dan pengkhianatan terpapar di dalam novel ini. Tema politik dan perjuangan yang diangkat terlukis jelas lewat coretannya di dalam novel.

"Tapi di Negeri di Ujung Tanduk setidaknya, kawan, seorang petarung sejati akan memilih jalan suci, meski habis seluruh darah di badan, menguap segenap air mata, dia akan tetap berdiri paling akhir, demi membela kehormatan."

Kutipan di atas adalah satu dari tiga paragraf yang tercetak di bagian cover buku yang menurut saya sudah sangat mewakili tema dari novel ini. Kutipan ini menjadi bukti bahwa novel Negeri di Ujung Tanduk berceritakan tentang perjuangan dan sulitnya berjalan menuju sebuah kebenaran, terlebih berjuang demi kebenaran di atas banyaknya kepalsuan yang telah terjadi terutama di politik negeri ini.

           Apalah daya sebuah kisah tanpa tokoh di dalamnya. Sang tokoh pengidup cerita yang selalu di sebut namanya dalam novel ini adalah Thomas. Dikisahkan, Thomas adalah seorang yang bijak dan sedikit keras kepala. Tokoh utama ini adalah seorang pembicara dan konsultan politik. Dia bertindak sebagai lelaki yang tangguh dalam menyelesaikan setiap permasalahan dalam buku ini.

"Terdengar seruan jengkel dari seberang telepon, "Kau jangan bertindak gila, Thomas. Aku tidak akan mempertaruhkan nyawa rekan kerjaku, konsultan politikku, orang yang paling kupercaya hanya demi memenangkan konvensi partai, bahkan demi kursi presiden sekalipun."

"Aku tahu, pergi ke sana sama saja dengan mendatangi sarang mafia."

Dua-tiga kalimat di atas menunjukkan bahwa Thomas adalah seorang yang sedikit keras kepala, terpercaya dan berani. Hal ini dibuktikan dalam beberapa kejadian dimana Thomas tanpa ragu mengambil resiko demi mencari titik terang dari masalah yang dihadapi.

           Pemeran kedua adalah Maryam, yang merupakan seeorang wartawan yang hadir mengisi penuh cerita setelah mewawancarai Thomas di atas kapal besar milik Thomas. Maryam terjebak dalam masalah yang saat itu pula dihadapi oleh pemeran utama. Penggambaran tokoh Maryam disini adalah seorang wanita yang tangguh dalam meniti pekerjaannya.

" Anda lupa?" Gadis itu bergegas memeriksa tumpukan kertas di tangannya." Sebentar. Nah ini dia, sekretaris Anda yang sama sekali tidak ramah itu mengirimkan itinerary Anda ke HongKong dan Makau. Dia menyertainya dengan kalimat pendek jika aku bisa mengejar jadwal itu, Anda bersedia melakukan wawancara di mana pun, termasuk bila perlu di atas pesawat, di dalam toilet perjalanan sekalipun." Gadis itu menarik salah satu kertas di tangannya, print e-mail dari Maggie, lalu menunjukkannya padaku."

Kutipan di atas, menunjukan bahwa Maryam adalah wanita yang sangat bersungguh-sungguh dalam menjalankan pekerjaannya, ia berangkat dari Jakarta ke Hongkong hanya untuk melakukan sebuah wawancara, bersedia melakukan wawancara dalam kondisi apapun. Dalam novel ini, Maryam hadir hampir di semua kejadian yang menimpa tokoh utama. Terperangkap jebakan, masuk penjara, dan dikejar pasukan khusus polisi ialah bukti dari ketangguhan wartawan wanita ini.

              Maggie adalah tokoh ketiga yang sangat penting dalam pengisahan novel ini. Dia adalah sekretaris paling setia untuk Thomas. Sigap, cepat, setia dan jujur adalah penggambaran diri yang sangat sesuai untuknya dalam novel ini.

"... Maggie adalah orang yang paling kuandalkan, paling kupercaya, meskipun aku harus membayarnya mahal. Bukan mahal gajinya, tapi menghadapi tabiat,caranya bekerja, dan hal-hal tidak penting lainnya. "

" Iya," Maggie menjawab pendek. Stafku yang paling gesit itu pasti telah meraih kertas dan pulpen beberapa detik lalu, mencatat cepat semua kalimatku dengan huruf steno. "

 Di dua kutipan ini, Maggie adalah sosok yang terpercaya daripada atasannya. Ia adalah seorang sekretaris yang amat gesit dalam setiap tugas. Di novel ini juga, ia digambarkan sebagai pegawai selalu ada membantu Thomas dalam mencari berbagai data penting dan menyediakan keperluan Thomas.

            Selain tokoh-tokoh diatas, hadir pula Kadek, orang terdekat di keluarga Thomas yang bertugas menjaga Opa, Opa yaitu kakek Thomas, Om Liem, sang kandidat presiden (JD), Kris, Rudi, Theo, Lee, Kakek Lee, dan anggota kepolisian yang juga berperan dalam proses permasalahan di novel ini.

           Tere Liye, dalam salah satu karyanya yang mengesankan ini, menulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama . Sang penulis berperan sebagai "aku" dalam menyajikan kisah di novel ini. Berikut kutipannya :

"aku dian sejenak, merasakan sensasi menguasai perhatian seluruh ruangan."

 Pembawaan sang penulis dalam menghidupkan kisah di novel ini boleh jadi sama saja seperti novel-novelnya yang lain. Tere Liye menghadirkan karya Negeri di Ujung Tanduk ini dengan alur campuran. Kisah mengalir dari kejadian awal, berbalik melihat masalalu, dan kembali lagi ke kejadian yang saat itu terjadi. Sejak kalimat pertama dimulai hingga pertengahan, novel ini terus mengalir maju, lalu berlanjut dengan masa kelam Thomas, dimana ia kehilangan rumah dan orang tuanya yang terbakar hidup-hidup di dalamnya. Thomas kecil menghabiskan waktu remajanya di sebuah sekolah berasrama di tepi pantai. Setelah itu, cerita berbelok arah hingga akhir kalimat.

 Sebagian potong kisah penting di novel ini bertempatkan di gedung-gedung tinggi dan di atas sebuah kapal. Menurut saya, gedung-gedung tinggi menjadi ciri pendukung tokoh yang adalah para petinggi, orang penting dan sekiranya ber-uang. Sementara kapal sendiri adalah latar dimana sang pelaku mengenang hal-hal penting dan awal dari semua konflik dalam cerita.

"Kami sepertinya melintasi lobi luas. Suara sepatu menghentak lantai. Gemanya mengisi langit-langit ruangan besar. Suara pintu lift membuka. Kami didorong masuk ke lift. Suara pintu lift menutup. Gerakan lift mendesing. Aku mendongkak, berhitung. Aku terlatih mengenali sesuati dengan mata terpejam. Itu latihan mendasar bagi seorang petarung. Empat puluh lima detik, itu berarti kami di lantai 15, suara pintu lift terbuka perlahan."

"move! Move! Salah seorang dari rombongan itu berseru, segera masuk ke kapal pesiar. Dalam hitungan detik, enam moncong senjata otomatis telah terarah padaku, Opa, dan Maryam, bahkan sebelum Maryam berseru panik, atau Opa menghela napas memahami situasi. Mereka maju satu-dua langkah, siaga atas segala kemungkinan. Seolah khwatir ada sepasukan militer di kabin tengah yang siap melawan."

             Dalam kutipan pertama, Thomas, Maryam, Kadek, dan kakeknya digiring memasuki lift menuju ke lantai 15, tentulah itu bukan gedung yang bisa dibilang kecil. Itu adalah salah satu bukti bahwa latar dalam novel ini bertempatkan di gedung tinggi. Di kutipan kedua juga terbukti bahwa latar tempat kejadian di novel ini adalah kapal. Selain dua tempat ini, penjara, rumah, dan sebuah sekolah berasrama juga adalah latar tempat cerita di novel ini.

             Suasana yang dihadirkan dinovel ini cukup menegangkan. Membaca lembar demi lembar buku ini pastinya membuat penasaran akan lika-liku konflik yang dihadirkan. Lingkungan yang memadai pun turut menjadi faktor pendukung penting dalam kejadian yang dialami tokoh. Di novel ini jelas sekali terlihat bagaimana Tere Liye melukiskan suasana yang sekiranya hadir di novel ini.

"Roda itu meletus tanpa ampun. Dengan kecepatan tinggi mobil yang kukemudikan miring, nyaris terbalik. Maryam berteriak panik, berpegangan pada apa saja. Mobil melintir. Dinding kirinya menghantam sebuah truk. Maryam menjerit. Serempetan dengan dinding truk mengeluarkan percik kembang api. Aku mengabaikan teriakan Maryam, memegang kemudi sekuat mungkin, berusaha membuat mobil kembali stabil, lepas dari truk. Terlambat, dari sebelah kiri, dengan cepat melewati truk besar itu, motor Ninja yang lain telah tiba. Moncong senjata terarah kepada kami. Peluru berhamburan."

"Dua motor balap Ninja itu ikut berhenti. Empat anggota pasukan khusus berloncatan, mengepung mobil yang mengepulkan asap, dengan laras senjata otomatis teracung galak. Aku memang berhasil tiba di gerbang tol, tapi tidak bisa lagi melanjutkan pelarian. Kami terpojok, tidak banyak yang bisa dilakukan."

Kutipan tersebut adalah salah satu kutipan dari kisah dikala Thomas dan Maryam yang sedang diburu oleh pasukan khusus, yang berakhir pada gagalnya mereka menghindar dari buruan tersebut. Keseruan dan menegangkan hadir di novel ini.

Dari sekian banyak gaya bahasa yang ada, saya menemukan satu gaya di novel ini, yaitu metafora.

" Tidak perlu. Dia sudah menangis tersedu, berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Persis seperti anak mama yang diancam diambil mainannya. Memalukan, mental begitu berani-beraninya berusaha menyuap kalian. Dia jelas bukan jenis petarung sejati."

 Kutipan di atas adalah salah satu dari contoh majas. Gaya Bahasa yang di maksud adalah pada frasa "anak mama". Dilihat dari pengertiannya sendiri, majas metafora merupakan majas yang membandingkan dua hal berbeda secara langsung dalam bentuk yang lebih singkat. Karena memiliki arti yang hampir sama, pemakaian kata bukan dengan kata yang sebenar-benarnya melainkan berupa lukisan yang berdasarkan persamaaan atau perbandingan. Thomas adalah anak mama disana, tetapi sebenarnya anak mama disana adalah lukisan dari sifat Thomas yang manja.

 Setiap hal terjadi tentunya mempunyai maksud dan tujuan. Hal yang sama pun sekiranya hadir dalam novel ini. Novel ini berkisahkan tentang dunia politik di zaman sekarang, persaingan di dalam politik itu sendiri, perselisihan, tipu muslihat dan kesetiaan. Di cover belakang sampul ini, terasa jelas sekali apa yang sekiranya hendak di sampaikan Tere Liye lewat novel Negeri Di Ujung Tanduk ini.

"Di Negeri di Ujung Tanduk kehidupan semakin rusak, bukan karena orang jahat semakin banyak, tapi semakin banyak orang yang memilih tidak peduli lagi."

"Di Negeri di Ujung tanduk para penipu menjadi pemimpin, para pengkhianat menjadi pujaan, bukan karena tidak ada lagi yang memiliki teladan, tapi mereka memutuskan menutup mata dan memilih hidup bahagia sendirian."

Dari kedua kutipan di atas jelas sekali bukan maksud dan tujuan kenapa Tere Liye menulis novel Negeri di Ujung Tanduk ini?

Tere Liye sendiri, yang adalah Darwis, lahir dan tumbuh dewasa di pedalaman Sumatera. Ia lahir pada tanggal 21 mei 1979. Tere Liye tumbuh di Sumatera Pedalaman. Ia berasal dari keluarga sederhana yang orang tuanya berprofesi sebagai petani biasa. Pendidikan sekolah dasarnya ia lalui di SDN 2 Kikim Timur Sumsel, setelah lulus kemudian melanjutkan ke SMPN 2 Kikim Timur Sumsel lalu mengenyam pendidikan menengah atas di SMUN 9 Bandar Lampung. Terakhir ia kuliah di Fakultas Ekonomi. Tere Liye menikah dengan Ny.Riski Amelia dan di karunia seorang putra bernama Abdullah Pasai. Anak ke enam dari tujuh bersaudara ini sampai saat ini telah menghasilkan banyak karya. Diantaranya, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (Gramedia Pustaka Umum,2010), Pukat (Penerbit Republika, 2010), Burlian (Penerbit Republika, 2009), Hafalan Shalat Delisa (Penerbit Republika, 2005), dan masih banyak lagi. Bahkan sudah ada daripada karyanya yang diangkat ke film layar lebar.

 Karya Negeri di Ujung Tanduk ini dibuat di tahun 2013 yang dimana tahun itu sudah mulai makin merajalelanya korupsi dan kecurangan dunia politik sehingga novel ini berisi sindiran untuk para bedebah yang selalu mementingkan dirinya sendiri, menutup mata, dan selalu bermain-main dengan kebenaran. Hadirnya novel ini sangatlah bersesuaian dengan keadaan lingkungan pada saat itu. 

Seperti kebanyakan, penulis biasanya menulis novel atas kisah yang dialaminya sendiri. Namun novel ini, menurut saya, sengaja dibuat hanya untuk menyindir para bedebah yang selama ini berkeliaran di kursi-kursi penting politik. Dari latar belakang Tere Liye sendiri pun tidak ada terlintas hubungan dirinya dengan politik. Ia bukan lulusan politik. Namun, di novel ini, bayangan tentang politik tentunya tergambar dengan jelas, entah dari mana asalnya, itulah hebatnya imajinasi seorang penulis, Tere Liye.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun