Mohon tunggu...
Firmina Wenni
Firmina Wenni Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Para Bedebah untuk "Negeri di Ujung Tanduk"

24 Februari 2018   18:46 Diperbarui: 26 Februari 2018   07:05 2500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
marxismedansastra.wordpress.com

             Suasana yang dihadirkan dinovel ini cukup menegangkan. Membaca lembar demi lembar buku ini pastinya membuat penasaran akan lika-liku konflik yang dihadirkan. Lingkungan yang memadai pun turut menjadi faktor pendukung penting dalam kejadian yang dialami tokoh. Di novel ini jelas sekali terlihat bagaimana Tere Liye melukiskan suasana yang sekiranya hadir di novel ini.

"Roda itu meletus tanpa ampun. Dengan kecepatan tinggi mobil yang kukemudikan miring, nyaris terbalik. Maryam berteriak panik, berpegangan pada apa saja. Mobil melintir. Dinding kirinya menghantam sebuah truk. Maryam menjerit. Serempetan dengan dinding truk mengeluarkan percik kembang api. Aku mengabaikan teriakan Maryam, memegang kemudi sekuat mungkin, berusaha membuat mobil kembali stabil, lepas dari truk. Terlambat, dari sebelah kiri, dengan cepat melewati truk besar itu, motor Ninja yang lain telah tiba. Moncong senjata terarah kepada kami. Peluru berhamburan."

"Dua motor balap Ninja itu ikut berhenti. Empat anggota pasukan khusus berloncatan, mengepung mobil yang mengepulkan asap, dengan laras senjata otomatis teracung galak. Aku memang berhasil tiba di gerbang tol, tapi tidak bisa lagi melanjutkan pelarian. Kami terpojok, tidak banyak yang bisa dilakukan."

Kutipan tersebut adalah salah satu kutipan dari kisah dikala Thomas dan Maryam yang sedang diburu oleh pasukan khusus, yang berakhir pada gagalnya mereka menghindar dari buruan tersebut. Keseruan dan menegangkan hadir di novel ini.

Dari sekian banyak gaya bahasa yang ada, saya menemukan satu gaya di novel ini, yaitu metafora.

" Tidak perlu. Dia sudah menangis tersedu, berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Persis seperti anak mama yang diancam diambil mainannya. Memalukan, mental begitu berani-beraninya berusaha menyuap kalian. Dia jelas bukan jenis petarung sejati."

 Kutipan di atas adalah salah satu dari contoh majas. Gaya Bahasa yang di maksud adalah pada frasa "anak mama". Dilihat dari pengertiannya sendiri, majas metafora merupakan majas yang membandingkan dua hal berbeda secara langsung dalam bentuk yang lebih singkat. Karena memiliki arti yang hampir sama, pemakaian kata bukan dengan kata yang sebenar-benarnya melainkan berupa lukisan yang berdasarkan persamaaan atau perbandingan. Thomas adalah anak mama disana, tetapi sebenarnya anak mama disana adalah lukisan dari sifat Thomas yang manja.

 Setiap hal terjadi tentunya mempunyai maksud dan tujuan. Hal yang sama pun sekiranya hadir dalam novel ini. Novel ini berkisahkan tentang dunia politik di zaman sekarang, persaingan di dalam politik itu sendiri, perselisihan, tipu muslihat dan kesetiaan. Di cover belakang sampul ini, terasa jelas sekali apa yang sekiranya hendak di sampaikan Tere Liye lewat novel Negeri Di Ujung Tanduk ini.

"Di Negeri di Ujung Tanduk kehidupan semakin rusak, bukan karena orang jahat semakin banyak, tapi semakin banyak orang yang memilih tidak peduli lagi."

"Di Negeri di Ujung tanduk para penipu menjadi pemimpin, para pengkhianat menjadi pujaan, bukan karena tidak ada lagi yang memiliki teladan, tapi mereka memutuskan menutup mata dan memilih hidup bahagia sendirian."

Dari kedua kutipan di atas jelas sekali bukan maksud dan tujuan kenapa Tere Liye menulis novel Negeri di Ujung Tanduk ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun