Mohon tunggu...
Fri Yanti
Fri Yanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pengajar

suka hujan, kopi, sejarah, dan buku

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Selamat Tinggal Barang Kesayangan!

4 Januari 2024   19:30 Diperbarui: 4 Januari 2024   20:47 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Foto Fri Yanti

Pernakah Pembaca berpikir untuk membuang semua barang-barang kesayangan?  Kita sudah sudah payah mengumpulkan barang-barang koleksi kita seperti tas bermerek, perangkat elektronik, dan buku-buku kesayangan.  Tetapi tiba-tiba kita harus membuangnya karena tidak cukup tempat lagi. Bisakah kita berpisah dari barang-barang itu? 

Fumio Sasaki awalnya juga tidak ingin berpisah dari barang-barangnya terutama dari buku-buku yang sudah memenuhi kamarnya. Tetapi dia harus mengubah hidup agar bisa menjalani hidup dengan baik. Tanpa tekanan, stres, dan masalah kesehatan mental yang lain.  Ternyata, kesehatan mental dapat berhubungan juga dengan banyak atau tidaknya barang-barang yang kita miliki. 

Maka, Fumio Sasaki menulis buku ini untuk berbagi pengalaman hidup menjadi seorang minimalis. Melalui buku ini dia ingin mengungkapkan fakta bahwa hidup minimalis bukan hanya mengubah tempat tinggal kita, melainkan juga dapat memperkaya hidup.

Setelah membaca buku ini, saya menjadi terinspirasi. Saya pun mulai mengatur buku-buku yang sudah lama saya koleksi. Sebagian sudah saya jual ke toko buku bekas.  Sebagian lagi saya hibahkan  pada kenalan saya yang berencana  akan membuat taman baca. Berat memang, tetapi setidaknya kamar saya jauh lebih rapi.

Ngomong-ngomong soal budaya minimalis, saya mengambil contoh negara Jepang sesuai latar buku yang saya baca ini. Sejak dulu bangsa Jepang sudah menerapkan budaya minimalis ini.  

Ada Budaya Dainshari , yaitu seni membereskan, membuang, dan berpisah dari barang-barang kita. Dulu, pada zaman Edo, orang-orang Jepang diajarkan untuk hidup minimalis.  Orang-orang pada zaman itu hidup bersahaja dan dilarang memamerkan harta. Memasuki zaman modern, budaya ini tetap dipegang teguh.

Inti dari budaya minimalis adalah hidup sederhana,rapi, dan senyaman mungkin. Barang-barang yang tidak perlu dibuang, sementara barang-barang yang berguna dibereskan. Seminimal mungkin menggunakan barang agar tidak merusak kebahagiaan. 

Mungkin karena Jepang sering mengalami gempa bumi, maka budaya minimalis ini dilaksanakan. Wilayah Jepang merupakan salah satu dari Cincin Api Pasifik. Hal itu yang menyebabkannya sering mengalami gempa bumi dan tsunami.

Di Jepang, sekitar 10% gunung berapi aktif dan sebanyak 1.500 gempa bumi tercatat setiap tahun  dan besarannya mencapai empat  hingga magnitudo . 

Peristiwa bencana alam tersebut mempengaruhi pandangan orang-orang Jepang tentang benda.  Bahwa semua benda akan hancur terkena bencana, sehingga memiliki sedikit barang mencegah kerusakan dan kehilangan akibatnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun