Mohon tunggu...
Fri Yanti
Fri Yanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pengajar

suka hujan, kopi, sejarah, dan buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Bela Negara: Dulu dan Kini

27 Desember 2023   19:00 Diperbarui: 27 Desember 2023   19:13 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bela Negara (sumber : tirto.id)

Sudah sejak lama Jenderal Spoor berencana menyerbu Republik. Mungkin karena kegagalannya dalam agresi militer Belanda I, kali ini dia bertekad kuat untuk melumpuhkan Republik.

Kali ini, dia akan melancarkan operasi Kraai.Dalam operasi tersebut, dia berencana mengepung Yogyakarta yang kala itu menjadi ibu kota Republik.

Maka sejak pukul dua pagi pada 19 Desember 1948, dia kerahkan seluruh pasukan elitnya yang tergabung dalam pasukan khusus. Sebelum pasukannya berangkat, dia melakukan briefing. Menyampaikan pidato singkat serta melakukan inspeksi.

Setelah itu, pasukannya tinggal landas. Mereka menuju Maguwo. Sementara itu, WTM Beel berpidato di radio. Dia menyampaikan pernyataan bahwa Belanda tidak lagi terikat pada Perjanjian Renville.

Hal itu menandai dimulainya agresi militer Belanda II. Pasukan TNI yang menjaga pangkalan udara Maguwo dibom. Pertahanan mereka ambruk seketika. Mereka tidak dapat melakukan apa pun karena serangan dadakan itu. 

Sekitar pukul enam, pasukan khusus  tiba. Pertempuran pun terjadi. Tak berapa lama, bandara Maguwo jatuh ke tangan Belanda. Pihak Republik kalah. 128 Tentara Indonesia tewas.

Setelah menguasai pangkalan udara Maguwo, pasukan Belanda dengan cepat menguasai Yogyakarta. Mereka menangkap petinggi Republik, Soekarno dan Hatta.

Pihak Republik tidak tinggal diam. Jenderal Soedirman menyerukan perintah untuk melawan musuh dengan melakukan perang rakyat semesta. Akhirnya, pada 7 Mei 1949, agresi militer Belanda II berakhir dengan ditanda tanganinya Perjanjian Roem-Royen. 

Untuk memperingati momentum ketika Republik mempertahankan kedaulatan negaranya, maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadikan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. Hal ini tercantum dalam Keppres No.28 tahun 2006.

Hoax, Globalisasi Budaya, dan Degradasi Moral

Membela negara merupakan kewajiban bagi warganya. Dalam Pasal 27 ayat 3 UUD 1945 disebutkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

Konteks bela negara saat ini berbeda dengan yang dulu. Pada masa lalu, Republik mengangkat senjata berusaha mempertahankan kedaulatan negara yang baru merdeka.

Kini,zaman telah membuatnya bergeser. Bela negara pada zaman ini semakin kompleks. Bukan hanya menghadapi ancaman tradisional , melainkan juga ancaman non militer.

Salah satunya adalah isu hoax. Sebuah riset pernah dilakukan dailysocial.id terhadap 2.032 responden. Mereka ditanyai tentang distribusi konten hoax dalam platform digital.

Dari  2.032 responden tersebut, sebanyak 44, 49 persen yang percaya pada berita hoax. Sisanya tidak percaya pada berita palsu itu. Penelitian ini juga mencatat bahwa dari 73 persen responden yang membaca informasi secara utuh, hanya 55 persen yang melakukan verifikasi terhadap informasi yang mereka dapatkan.

Menurut seorang psikolog media, ada dua hal yang menyebabkan orang-orang tertarik pada berita hoax. Pertama, subjektivitas. Berita hoax lebih dipercaya orang-orang  karena menyajikan informasi yang sama  dengan opini atau sikap yang mereka miliki. 

Kedua, terbatasnya pengetahuan sehingga mempengaruhi seseorang mudah percaya dan tidak  melakukan kroscek terhadap informasi yang mereka dapatkan. 

Berita hoax, tentu saja memberi pengaruh besar terhadap ketahanan nasional. Orang-orang yang mempunyai opini tak berdasar  dan subjektif akan mudah diadu domba, sehingga hal ini membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Ancaman lainnya adalah ekspansi  budaya asing.   Globalisasi telah menyebabkan perubahan besar dalam segala aspek kehidupan, terutama budaya. 

Sedari dulu bangsa kita dikenal memiliki sikap local genius. Bangsa kita mampu menerima budaya baru tanpa meninggalkan budaya lama. 

Di era globalisasi ini, sikap ini mestinya masih tetap dipelihara apalagi dengan menjamurnya Westernisasi, Koreanisasi, dan bahkan Nipponisasi.

Tak masalah belajar budaya asing  selagi hal itu masih positif dan menambah wawasan, asalkan jangan sampai keberadaannya mematikan budaya lokal.. 

Lalu ada degradasi moral yang terutama dialami oleh para anak muda masa kini. Terlepas dari faktor A, B, atau C yang melatarbelakanginya, yang jelas krisis moral menjadi sebuah ancaman bagi ketahanan nasional.  Sebuah bangsa yang unggul tercermin dari seberapa kuat nilai-nilai luhur bangsa tertanam. 

Referensi   : 1 2 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun