Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh tim The Conversation Indonesia, diberitakan bahwa seorang remaja putri berusia sembilan belas tahun bernama Indah, nama samaran, mengalami KDRT yang dilakukan oleh kakak laki-lakinya.
Sejak pandemi covid-19  melanda, kakak laki-laki Indah tidak lagi bekerja dan pindah ke rumah orang tua mereka dan membawa serta istrinya. Semenjak itulah Indah menjadi sasaran KDRT dari  sang kakak.Â
Indah sering  dipukuli, ditendang ,hingga diinjak sang kakak. Kekerasan yang dilakukan kakak laki-laki Indah itu bukan hanya meninggalkan luka fisik,  melainkan  juga luka psikis.Â
Orang tua Indah melarangnya melaporkan kejadian tersebut karena akan menjadi aib  dan semua orang akan tahu dengan permasalahan yang terjadi di dalam rumah tangga mereka.Â
Kejadian tersebut menambah panjang deretan kasus KDRT di Indonesia. Bahkan di saat pandemi pun, saat anggota keluarga seharusnya saling menguatkan dan membantu satu sama lain, malah menjadi begu. Hal ini membuktikan bahwa KDRT tidak hanya dilakukan pasangan suami-istri, tetapi juga anggota keluarga lainnya.
Sayangnya, KDRT masih dianggap sebagai sesuatu hal yang lumrah terjadi dan merupakan privasi. Orang lain tidak perlu ikut campur. Pada masa lalu, suami yang memukuli istrinya dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Ada hukum yang mengatur tentang hal itu seperti yang dimuat dalam Kode Hammurabi.
Kode Hammurabi merupakan seperangkat aturan hukum yang diterapkan pada masa pemerintahan Hammurabi, Raja Babilonia Lama yang kerajaannya terletak di  Mesopotamia. Hukum ini disebut juga dengan hukum pembalasan. Mata ganti mata. Nyawa dibayar nyawa.Â
Hukum ini memuat 282 pasal yang dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan. Ada pasal-pasal yang mengatur tentang properti, perdagangan, hingga keluarga. Pasal yang mengatur tentang keluarga kebanyakan berisi  tentang hukuman yang diterima oleh istri apabila melakukan pelanggaran.
Hampir tidak ada pasal yang memuat hukuman untuk suami yang melakukan kesalahan pada istrinya, seolah istri hanyalah properti yang tidak layak mendapatkan perlindungan hukum.
Suami-suami Eropa zaman dulu melakukan Uxoricide pada istrinya. Mereka tidak segan-segan membunuh istrinya. Saat Kaisar Nero dari Kerajaan Romawi Kuno berkuasa, dia memerintahkan pembunuhan terhadap istri pertamanya, Octavia. Â Poppea Sabina, istri keduanya, pun mengalami hal yang sama.
Henry VIII dari Kerajaan Inggris pernah memerintahkan eksekusi mati bagi dua orang istrinya dengan tuduhan perzinahan, hasutan, dan pengkhianatan.
Bukan tidak mungkin, memang, perempuan  melakukan hal yang sama. Kondisi ini dinamakan Mariticide. Para istri membunuh suami mereka lantaran dendam, seperti yang dilakukan oleh Laodice I dari Anatolia, Yunani.Â
Masyarakat yang budaya poligaminya kental juga rentan terhadap KDRT. Bukan hanya dilakukan oleh suami pada istri, melainkan juga antara istri tua dengan istri muda. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada masyarakat La Plata, Argentina, didapati bahwa status perempuan di sana lebih rendah sehingga menyebabkan pernikahan ganda.
Dalam penelitian itu disebutkan bahwa sesama istri akan saling ribut dan saling serang. Para istri tua biasanya lebih dominan menguasai dan istri kedua tidak mempunyai kekuatan untuk melawan. Pasrah saja menerima intimidasi dari istri tua.
KDRT dan Hubungannya dengan Penjajahan
Pada masyarakat yang budaya patriarkinya sangat kental, adanya praktik kolonialisme semakin memperparah KDRT. Produk-produk kolonialisme seperti diskriminasi, rasisme, hingga perbudakan menyebabkan perempuan berada di posisi semakin terjepit.
Ketika Indonesia dijajah Belanda, perempuan-perempuan pribumi menjadi gundik atau nyai. Nyai sebenarnya memiliki banyak makna. Nyai yang dimaksud dalam tulisan ini adalah perempuan pribumi  yang menjadi wanita simpanan pria Eropa.
Selain melayani kebutuhan biologis Pria Eropa, mereka juga mengurusi masalah rumah tangga. Pekerjaan mereka sama lamanya dengan pekerjaan para buruh perempuan di perkebunan.
Tetapi para Nyai tak seperti buruh perempuan yang harus bekerja di bawah terik matahari. Hal inilah yang menyebabkan Nyai menjadi bahan pergunjingan bagi para buruh perempuan.
Padahal mereka juga sama menderitanya seperti para buruh perempuan. Mereka harus melayani kemauan tuannya, bekerja siang dan malam, Â sampai mendapat penghinaan sebagai perempuan murahan.
Ketika Jepang berkuasa konsep gundik atau perempuan simpanan dihapus. Berganti metode  menjadi Jugun Ianfu. Perempuan-perempuan saat itu dieksploitasi secara seksual. Dipaksa untuk melayani nafsu biologis tentara Jepang.
Para tentara itu akan mengambil paksa anak-anak perempuan, yang sudah mendapatkan haid pertamanya, dari rumah orang tua mereka. Namun, tak sedikit keluarga yang rela menyerahkan anak perempuannya untuk dijadikan Jugun Ianfu.
Bagaimana Memutus Mata Rantai KDRT?
Bahkan KDRT pun telah  melalui sejarah yang amat panjang. Seseorang pernah berkata bahwa bertahan atau tidaknya sebuah bangsa dilihat dari keluarga karena keluarga adalah fondasi dasar bagi ketahanan sebuah bangsa. Meskipun hanya bagian terkecil, namun keluarga tetap menjadi penentu bangsa.
KDRT yang memiliki sejarah panjang dan menahun itu merupakan ancaman bagi keutuhan sebuah keluarga. Ayah dan ibu bertengkar sepanjang waktu. Anak-anak ketakutan saat melihat ayah mereka mulai  memukul ibu.  Keluarga menjadi tercerai berai. Bukan tidak mungkin anak-anak menjadi trauma dan bisa bertindak seperti orangtua mereka kelak.
Maka, sesulit apa pun itu, mata rantai KDRT harus dihapus. Mendalami karakter masing-masing pasangan sebelum menikah adalah salah satu cara untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI