Mohon tunggu...
Fri Yanti
Fri Yanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pengajar

suka hujan, kopi, sejarah, dan buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

KDRT dalam Sejarah

1 Maret 2023   07:00 Diperbarui: 1 Maret 2023   10:18 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Silvia Turra / Getty Images/EyeEm via NBC News

Padahal mereka juga sama menderitanya seperti para buruh perempuan. Mereka harus melayani kemauan tuannya, bekerja siang dan malam,  sampai mendapat penghinaan sebagai perempuan murahan.

Ketika Jepang berkuasa konsep gundik atau perempuan simpanan dihapus. Berganti metode  menjadi Jugun Ianfu. Perempuan-perempuan saat itu dieksploitasi secara seksual. Dipaksa untuk melayani nafsu biologis tentara Jepang.

Para tentara itu akan mengambil paksa anak-anak perempuan, yang sudah mendapatkan haid pertamanya, dari rumah orang tua mereka. Namun, tak sedikit keluarga yang rela menyerahkan anak perempuannya untuk dijadikan Jugun Ianfu.

Bagaimana Memutus Mata Rantai KDRT?

Bahkan KDRT pun telah  melalui sejarah yang amat panjang. Seseorang pernah berkata bahwa bertahan atau tidaknya sebuah bangsa dilihat dari keluarga karena keluarga adalah fondasi dasar bagi ketahanan sebuah bangsa. Meskipun hanya bagian terkecil, namun keluarga tetap menjadi penentu bangsa.

KDRT yang memiliki sejarah panjang dan menahun itu merupakan ancaman bagi keutuhan sebuah keluarga. Ayah dan ibu bertengkar sepanjang waktu. Anak-anak ketakutan saat melihat ayah mereka mulai  memukul ibu.  Keluarga menjadi tercerai berai. Bukan tidak mungkin anak-anak menjadi trauma dan bisa bertindak seperti orangtua mereka kelak.

Maka, sesulit apa pun itu, mata rantai KDRT harus dihapus. Mendalami karakter masing-masing pasangan sebelum menikah adalah salah satu cara untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga.

Referensi   : 1 2 3 4 5 6

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun