Pak Jusuf Kalla yang waktu itu menjabat sebagai Direktur Utama PT. Hadji Kalla, memberikan nama pada sebuah mobil dari perusahaan Toyota yaitu Kijang. Kijang bukan sekedar kijang. Mobil yang melegenda itu merupakan akronim dari kerjasama Indonesia-Jepang.
Pada masa Orde Baru, pemerintah mengeluarkan program kendaraan bermotor (KNBS) pada awal 1970 untuk menciptakan sebuah mobil niaga yang bisa dibeli oleh masyarakat dengan harga yang terjangkau.
Kerjasama Indonesia dan Jepang tersebut selaras dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Bahwa para investor asing dapat menanamkan modalnya di Indonesia.  Hadirnya UU  tersebut, menjadi masalah besar  kemudian hari.
Latar Belakang Peristiwa Malari
Di awal pemerintahannya, Orde Baru harus menghadapi kesulitan ekonomi warisan pemerintahan Orde Lama. Inflasi meroket, harga-harga bahan kebutuhan pokok melambung, dan masyarakat masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Sebagai langkah awal untuk memperbaiki ekonomi, Pemerintah Orde Baru berupaya untuk memulihkan hubungan politiknya dengan negara luar, seperti  'berbaikan'  dengan Malaysia, masuk kembali menjadi anggota PBB, dan menjalin kerjasama ekonomi dengan pihak asing, terutama dengan negara-negara non-komunis.
Hal ini berbeda dari Presiden Soekarno yang bersikap antipati dengan hal-hal yang berbau Nekolim (Neo Kolonialisme). Itu sebabnya di Era Demokrasi Terpimpin, Soekarno menjaga jarak dari  negara barat.Â
Dengan adanya UU No. 1 Tahun 1967, maka kerjasama ekonomi disepakati, terutama kerjasama dengan Amerika Serikat dan Jepang. Bantuan ekonomi pun  banyak yang berdatangan.
Dalam buku Sejarah Indonesia Modern, M.C. Ricklefs menulis bahwa sebagian besar  keberhasilan ekonomi di awal pemerintahan Orde Baru, dipicu oleh banyaknya bantuan luar negeri yang mengalir, terutama dari IGGI dan IMF.Â
Di satu sisi, bantuan tersebut dapat membuat ekonomi Indonesia  menjadi stabil, sesuai dengan misi Pemerintahan Orde Baru. Namun, di sisi lain, bantuan tersebut membuat Indonesia bergantung dengan luar negeri. Hal itu tidak membuat Indonesia mandiri secara ekonomi.Â
Mengalirnya bantuan tersebut tentu saja menimbulkan masalah hutang bagi negara Indonesia. Pada tahun 1988 dan 1989, 36 persen pengeluaran pemerintah diperuntukkan bagi pelunasan hutang  (Ricklefs, 2005 : 436-437).
Hal itulah yang menyebabkan sejumlah elemen masyarakat yang dimotori oleh  mahasiswa, melakukan protes terhadap investor asing. Sebenarnya aksi protes sudah dilakukan sejak 1970. Para mahasiswa berunjuk rasa karena anggaran pendidikan yang kurang, inflasi, dan pembangunan nasional yang cenderung tidak menyejahterahkan rakyat.
Protes mahasiswa juga muncul saat Taman Mini Indonesia Indah rencananya akan dibangun. Pembangunan TMII dianggap tidak sesuai dengan situasi negara yang sedang mengalami kesulitan. Berbagai pihak yang tidak setuju membuat gerakan aksi.
Tritura Baru 1974
Sebelum Peristiwa Malari terjadi, para mahasiswa gencar melakukan pertemuan secara intens. Â Mereka sempat memprotes kedatangan utusan IGGI bernama Pronk ke Jakarta. Â Ketika Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka berencana datang ke Indonesia, mereka pun bersepakat menggelar aksi.
Para mahasiswa menolak  adanya inverstor asing masuk ke Indonesia terutama dari Jepang yang produknya bertebaran dimana-mana.  Mereka mengajak masyarakat untuk mengibarkan bendera setengah tiang sebagai sambutan kedatangan P.M. Tanaka. Mereka juga mengajak pers untuk memboikot berita tentang kedatangan P. M Tanaka
Pada 15 Januari 1974, ratusan mahasiswa, yang diketuai Hariman Siregar, berkumpul di Universitas Trisakti. Mereka mengajukan tuntutan  yang disebut dengan Tritura Baru  1974, yaitu agar pemerintah membubarkan lembaga asisten pribadi (Aspri), menurunkan harga bahan pokok, dan mengganyang korupsi.
Massa selanjutnya terbagi dalam dua kelompok. Kelompok  yang satu pergi menuju Bandara Halim Perdana Kusuma, tempat  P.M Tanaka melangkahkan kakinya di sana.  Kelompok yang lain menuju Istana Kepresidenan. Kedua tempat itu telah dijaga ketat oleh aparat.
Aksi massa yang sebenarnya adalah aksi damai, tiba-tiba saja menjadi aksi huru-hara. Keadaan ibukota menjadi rusuh. Mobil-mobil buatan Jepang dibakar, perusahaan-perusahan berbau Jepang dihancurkan, barang-barang serba Jepang dirusak dan dijarah.
Dalam kerusuhan selama dua hari itu, sebelas orang tewas, sejumlah orang mengalami luka berat, ratusan mobil dan motor rusak parah, bangunan-bangunan hangus terbakar, dan barang-barang berharga seperti emas, hilang.
Banyak spekulasi mengenai dalang dari kerusuhan sosial ini. Masing-masing pihak saling tuduh-menuduh. Tapi yang menjadi catatan penting  adalah sejak saat itu, Presiden  Soeharto menjadi 'keras' terhadap gerakan mahasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H