Dalam buku Sejarah Indonesia Modern, M.C. Ricklefs menulis bahwa sebagian besar  keberhasilan ekonomi di awal pemerintahan Orde Baru, dipicu oleh banyaknya bantuan luar negeri yang mengalir, terutama dari IGGI dan IMF.Â
Di satu sisi, bantuan tersebut dapat membuat ekonomi Indonesia  menjadi stabil, sesuai dengan misi Pemerintahan Orde Baru. Namun, di sisi lain, bantuan tersebut membuat Indonesia bergantung dengan luar negeri. Hal itu tidak membuat Indonesia mandiri secara ekonomi.Â
Mengalirnya bantuan tersebut tentu saja menimbulkan masalah hutang bagi negara Indonesia. Pada tahun 1988 dan 1989, 36 persen pengeluaran pemerintah diperuntukkan bagi pelunasan hutang  (Ricklefs, 2005 : 436-437).
Hal itulah yang menyebabkan sejumlah elemen masyarakat yang dimotori oleh  mahasiswa, melakukan protes terhadap investor asing. Sebenarnya aksi protes sudah dilakukan sejak 1970. Para mahasiswa berunjuk rasa karena anggaran pendidikan yang kurang, inflasi, dan pembangunan nasional yang cenderung tidak menyejahterahkan rakyat.
Protes mahasiswa juga muncul saat Taman Mini Indonesia Indah rencananya akan dibangun. Pembangunan TMII dianggap tidak sesuai dengan situasi negara yang sedang mengalami kesulitan. Berbagai pihak yang tidak setuju membuat gerakan aksi.
Tritura Baru 1974
Sebelum Peristiwa Malari terjadi, para mahasiswa gencar melakukan pertemuan secara intens. Â Mereka sempat memprotes kedatangan utusan IGGI bernama Pronk ke Jakarta. Â Ketika Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka berencana datang ke Indonesia, mereka pun bersepakat menggelar aksi.
Para mahasiswa menolak  adanya inverstor asing masuk ke Indonesia terutama dari Jepang yang produknya bertebaran dimana-mana.  Mereka mengajak masyarakat untuk mengibarkan bendera setengah tiang sebagai sambutan kedatangan P.M. Tanaka. Mereka juga mengajak pers untuk memboikot berita tentang kedatangan P. M Tanaka
Pada 15 Januari 1974, ratusan mahasiswa, yang diketuai Hariman Siregar, berkumpul di Universitas Trisakti. Mereka mengajukan tuntutan  yang disebut dengan Tritura Baru  1974, yaitu agar pemerintah membubarkan lembaga asisten pribadi (Aspri), menurunkan harga bahan pokok, dan mengganyang korupsi.
Massa selanjutnya terbagi dalam dua kelompok. Kelompok  yang satu pergi menuju Bandara Halim Perdana Kusuma, tempat  P.M Tanaka melangkahkan kakinya di sana.  Kelompok yang lain menuju Istana Kepresidenan. Kedua tempat itu telah dijaga ketat oleh aparat.
Aksi massa yang sebenarnya adalah aksi damai, tiba-tiba saja menjadi aksi huru-hara. Keadaan ibukota menjadi rusuh. Mobil-mobil buatan Jepang dibakar, perusahaan-perusahan berbau Jepang dihancurkan, barang-barang serba Jepang dirusak dan dijarah.