Mohon tunggu...
Fri Yanti
Fri Yanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pengajar

suka hujan, kopi, sejarah, dan buku

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mengintip Koeli Ordonantie, Cipta Kerjanya Pemerintah Kolonial

9 Januari 2023   07:00 Diperbarui: 10 Januari 2023   03:45 3798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perppu Cipta Kerja yang baru saja diterbitkan menuai kontorversi. Pasal yang paling banyak mendapat sorotan adalah pasal tentang aturan jam kerja yang mana para pekerja hanya diberikan hak libur dan cuti lebih sedikit.

Tentu saja pasal tersebut mendapat kritik keras sebab memicu ekploitasi tenaga kerja.

Bila menengok kembali ke masa lalu, maka kondisi sekarang ini hampir mirip dengan kondisi pekerja pribumi ketika memasuki babak baru penjajahan Belanda.

Ketika  Kaum Liberal menang suara dalam parlemen Belanda, maka Pemerintah Belanda merestui  keinginan para kaum liberal untuk membuat kebijakan baru di tanah jajahan.

Para kaum liberal itu pun memberikan sentuhan humanis dalam kebijakan baru tersebut.

Tanam paksa dihapus diganti menjadi Politik Pintu Terbuka. Kebijakan ini memungkinkan pengusaha , dari negeri Barat, menanamkan modal di Hindia-Belanda. 

Setidaknya kebijakan ini lebih manusiawi, menurut mereka,  dari kebijakan sebelumnya.  

Sebabnya,  Pemerintah Belanda dilarang mengambil untung dari tanah jajahan seperti yang tercantum dalam Undang-undang Perbendaharaan (Comptabiliteits Wets).

Para pengusaha  itu dapat menyewa lahan penduduk pribumi dalam jangka waktu  tertentu. 

Akibatnya, orang-orang Eropa banyak yang berdatangan ke Indonesia  untuk menanamkan modalnya

Para pengusaha itu  kebanyakan membuka perkebunan karena melihat potensi sumber daya alam  Hindia-Belanda yang akan memberikan keuntungan.

Di Sumatera Timur, misalnya, terjadi pembukaan perkebunan tembakau besar-besaran. Tembakau Deli memang dikenal berkualitas tinggi dan sangat cocok untuk membuat cerutu di Eropa.

Untuk  mengerjakan perkebunan itu, Pemerintah Belanda mengerahkan tenaga kerja lokal. Karena perkembangan perkebunan yang semakin pesat, didatangkanlah pekerja  dari Tiongkok dan India.  Sebelum bekerja, para tenaga kerja tersebut menandatangani Koeli Ordonantie yang merupakan seperangkat aturan kuli kontrak. 

Dalam buku Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial yang ditulis oleh Capt. R.P. Suyono, disebutkan beberapa aturan dalam Koeli Ordonantie.

Pertama, mengenai jam kerja. Dalam kontrak  kerja disebutkan bahwa buruh  harus bekerja selama 10 jam dalam satu hari dan ketentuan ini berlaku selama tiga tahun sejak pekerja menandatangani kontrak.

Kedua, kewajiban buruh. Bahwa buruh akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dan tidak boleh meninggalkan wilayah onderdeming (wilayah kerja perkebunan) tanpa izin tertulis dari pemilik perkebunan. 

Ketiga, hak buruh, yaitu buruh berhak atas tempat tinggal, upah, dan makanan yang layak.

Keempat, bila kontrak selesai, maka buruh dapat meminta pulang kembali ke kampung halamannya dengan dibiayai pihak perkebunan sendiri.  Kelima, sanksi bagi buruh yang melanggar kontrak diatur dalam Poenalie Sanctie.

Koeli Ordonantie ternyata lebih mengikat Si Buruh. Masa kontrak yang semestinya tiga tahun, dalam praktiknya bisa lebih lama (R.P. Suyono : 106)

Implementasi Koeli Ordonantie  ini sangat jauh dari yang  diharapkan. Para pemilik perkebunan yang kapitalis itu mengeksploitasi tenaga kerja untuk kepentingan usahanya. Pemerintah Hindia-Belanda juga menutup mata. 

Para buruh bekerja selama lebih dari sepuluh jam.  Lembur tidak dibayar dan  upah yang mereka terima sangat sedikit.Tidak sebanding dengan jumlah jam kerja yang harus mereka jalani.  Sangat jauh dari kesepakatan. Mereka tidak mendapatkan tempat tinggal dan makanan yang layak.

Jangan harap mereka mendapatkan cuti. Izin sakit saja pun, upah mereka tidak dibayar. Bila seorang buruh sakit melebihi satu bulan,  maka pemilik perkebunan berhak memperpanjang kontrak sesuai dengan jumlah hari saat buruh tidak bekerja, seolah buruh dilarang sakit .

Pemilik perkebunan sengaja memperpanjang kontrak tanpa melalui prosedur yang berlaku,dengan cara memanfaatkan kelemahan buruh yang gemar berjudi. Bila gaji buruh habis untuk berjudi, maka pihak perkebunan akan memberikan pinjaman. 

Bagi buruh yang hobi berjudi biasanya tidak sanggup mengembalikan pinjaman sehingga mereka tidak bisa meninggalkan onderdeming sebelum utang mereka lunas. Secara otomatis, kontrak mereka diperpanjang. Sudah begitu, para buruh juga harus menghadapi siksaan dan hukuman-hukuman yang tidak manusiawi. 

***

Sebagaimana para liberal-kapitalis telah meraup untung dalam kebijakan politik pintu terbuka ini, maka bukan tidak mungkin terjadi akan terjadi hal yang sama pada pelaksanaan Perppu cipta kerja ini.

Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali pasal-pasal yang menjurus pada eksploitasi tenaga kerja. Jangan sampai pekerja merasa bahwa mereka terjajah di negeri sendiri.

Referensi 

Suyono, R.P (2005) : Seks Dan Kekerasan Pada   Zaman Kolonial : Penelusuran Kepustakaan Sejarah, Jakarta : Grasindo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun