Mohon tunggu...
Friska Silitonga
Friska Silitonga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 - Universitas Airlangga

Menulis, membaca, menonton film

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Generasi Z, si Pemalas, Lemah, dan Depresi?

8 Juni 2022   08:02 Diperbarui: 8 Juni 2022   08:38 1761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Generasi Z adalah  generasi yang terdiri dari masyarakat yang lahir dalam rentang tahun 1997 sampai 2012. Menurut data statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik pada Januari 2021, Generasi Z merupakan generasi yang jumlahnya memang banyak dibandingkan generasi lainnya. Berikut adalah data jumlah penduduk di Indonesia yang dikelompokan dalam beberapa generasi:

  1. Post Gen Z : 10,88%

  2. Gen Z : 27,94%

  3. Milenial : 25,87%

  4. Gen X : 21,88%

  5. Baby Boomer : 11,56%

  6. Pre-boomer 1,87% 

Dari data tersebut, kita dapat melihat bahwa generasi Z memiliki persentase tertinggi dari generasi lainnya, yakni 27,94% dari 270,20 juta masyarakat Indonesia. 

Dengan kata lain, jumlah generasi Z per Januari 2021 ada sebanyak 75,5 jiwa dan jumlah ini akan terus bertambah. Jumlah generasi Z yang sangat besar ini dapat berperan sebagai pisau bermata dua. Artinya, di satu sisi,  jumlah generasi Z yang sangat banyak bisa menjadi keuntungan bagi Indonesia, namun, di sisi lainnya, jumlah generasi Z yang sangat banyak bisa juga membawa kerugian untuk Indonesia.

Pada dasarnya, jumlah generasi Z yang sangat banyak dapat membawa keuntungan bagi Indonesia apabila generasi ini dapat tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang sigap dan bertanggung jawab. Namun, pada kenyataannya. 

Generasi Z sering kali mendapatkan stigma sebagai generasi yang malas, lemah, dan sering mengalami depresi sehingga masyarakat meragukan generasi z dalam hal memajukan bangsa Indonesia. 

Stigma bahwa generasi Z merupakan generasi yang lemah secara mental dan depresi didukung dengan adanya data statistik yang dikeluarkan oleh  The Centers for Disease Control and Prevention yang menunjukan adanya peningkatan kematian yang disebabkan bunuh diri pada usia 10-24 tahun. 

Peningkatan ini terjadi dari tahun 2007-2017 dimana kenaikan tersebut terjadi sebanyak 56%. Hal yang sama juga juga disampaikan oleh  Pew Research Center, dimana dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa generasi z yang yang kesehatan mentalnya terganggu meningkat sebanyak 13% dan akan terus meningkat.

Lebih lanjut, stigma lainnya yang menempel pada generasi Z adalah generasi yang pemalas. Sama halnya dengan stigma lemah dan depresi, masyarakat menganggap generasi Z sebagai generasi yang pemalas bukan tanpa alasan. 

Rata-rata waktu mereka bertahan di dalam suatu pekerjaan pasti lebih sedikit daripada generasi di atasnya, dimana rata-rata lama Gen-Z dalam suatu pekerjaan (sejauh ini) adalah sekitar  2 tahun. 

Data-data tentang stigma generasi z yang buruk meninggalkan keraguan dan kekhawatiran dalam benak masyarakat akankah generasi z dapat menjadi generasi yang siap untuk dunia kerja dan membawa perubahan bagi negara Indonesia.

Sumber: theprofessionalcentre.com
Sumber: theprofessionalcentre.com

Pada kenyataanya, stigma-stigma buruk yang melekat pada generasi Z tidak sepenuhnya salah. Artinya, data-data yang disampaikan merupakan data valid yang tidak bisa dibantah. 

Sebagian dari generasi Z memang lebih rentan mengalami depresi dan sering berpindah-pindah pekerjaan, namun satu hal yang perlu diketahui bahwa data tersebut tidak bisa digunakan untuk menghakimi generasi Z sebagai generasi yang lemah, malas dan sering mengalami depresi. 

Sebagian stigma buruk ini muncul karena cara menilai generasi yang dibentuk oleh masyarakat modern dan fokus pada teknologi dengan standar beberapa dekade yang lalu. 

Penelitian yang dilakukan oleh Institute for Emerging Issues (2012) dalam Singh dan Dangmei (2016), menyebutkan bahwa generasi Z adalah generasi yang paling unik, beragam, dan canggih secara teknologi karena tumbuh bersamanya. Generasi ini memiliki cara komunikasi di media sosial maupun dunia nyata yang bersifat informal, individual, dan sangat terbuka dalam kehidupannya. 

Artinya, generasi Z cenderung lebih terbuka dengan apa yang terjadi di dalam hidupnya dibandingkan generasi sebelumnya. Saat generasi z merasa stress atau tertekan, mereka cenderung terbuka dan menyuarakannya ke publik tentang kondisi dan keinginan mereka. Hal ini berbeda dari generasi sebelumnya. 

Mereka bukan tidak punya masalah, tetapi untuk menyuarakan masalah dan kondisi mereka ke publik sering dianggap tidak profesional. Menurut, Dr Carl Nassar, seorang profesional kesehatan mental di LifeStance Health, generasi sebelumnya diajari untuk menindas alih-alih mengekspresikan, tetapi untuk generasi yang lebih baru justru sebaliknya. 

Hal inilah yang dianggap Dr Carl menyebabkan keretakan persepsi antar generasi muda dan generasi yang lebih tua. Generasi yang lebih tua melihat pengekspresian diri ini sebagai tanda kelemahan karena mereka diajari bahwa kerentanan atau kerapuhan adalah kelemahan dan bukan kekuatan.

Lantas apakah stigma buruk ini dapat lepas dari generasi Z? Hal yang perlu kita pahami dalam menilai suatu generasi adalah fakta bahwa setiap generasi pasti memiliki karakteristiknya masing-masing. Karakteristik suatu generasi ini tidak bisa disamakan dengan generasi lainnya karena karakteristik tersebut dibentuk oleh masalah dan tantangan unik mereka sendiri. 

Sebagai contoh, boomers dan Gen X mungkin tumbuh tanpa kenyamanan ponsel pintar, tetapi mereka juga tidak harus berjuang dengan kompleksitas tumbuh dewasa secara daring yang kemungkinan mendorong kebutuhan akan pengakuan dan sifat egois, seperti terungkap dalam beberapa penelitian. 

Pada intinya, adanya suatu dialog antar generasi muda dan generasi yang lebih tua sangat diperlukan untuk saling mengetahui dan memahami karakteristik generasi satu dengan yang lainnya sehingga generasi yang lebih tua dapat berhenti menilai generasi Z berdasarkan standar yang berlaku pada zaman mereka dan  menyalahkan generasi yang lebih muda karena terlalu terbuka akan apa yang dirasakan dan dipikirkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun