Mohon tunggu...
Friska Silitonga
Friska Silitonga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 - Universitas Airlangga

Menulis, membaca, menonton film

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Generasi Z, si Pemalas, Lemah, dan Depresi?

8 Juni 2022   08:02 Diperbarui: 8 Juni 2022   08:38 1761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penelitian yang dilakukan oleh Institute for Emerging Issues (2012) dalam Singh dan Dangmei (2016), menyebutkan bahwa generasi Z adalah generasi yang paling unik, beragam, dan canggih secara teknologi karena tumbuh bersamanya. Generasi ini memiliki cara komunikasi di media sosial maupun dunia nyata yang bersifat informal, individual, dan sangat terbuka dalam kehidupannya. 

Artinya, generasi Z cenderung lebih terbuka dengan apa yang terjadi di dalam hidupnya dibandingkan generasi sebelumnya. Saat generasi z merasa stress atau tertekan, mereka cenderung terbuka dan menyuarakannya ke publik tentang kondisi dan keinginan mereka. Hal ini berbeda dari generasi sebelumnya. 

Mereka bukan tidak punya masalah, tetapi untuk menyuarakan masalah dan kondisi mereka ke publik sering dianggap tidak profesional. Menurut, Dr Carl Nassar, seorang profesional kesehatan mental di LifeStance Health, generasi sebelumnya diajari untuk menindas alih-alih mengekspresikan, tetapi untuk generasi yang lebih baru justru sebaliknya. 

Hal inilah yang dianggap Dr Carl menyebabkan keretakan persepsi antar generasi muda dan generasi yang lebih tua. Generasi yang lebih tua melihat pengekspresian diri ini sebagai tanda kelemahan karena mereka diajari bahwa kerentanan atau kerapuhan adalah kelemahan dan bukan kekuatan.

Lantas apakah stigma buruk ini dapat lepas dari generasi Z? Hal yang perlu kita pahami dalam menilai suatu generasi adalah fakta bahwa setiap generasi pasti memiliki karakteristiknya masing-masing. Karakteristik suatu generasi ini tidak bisa disamakan dengan generasi lainnya karena karakteristik tersebut dibentuk oleh masalah dan tantangan unik mereka sendiri. 

Sebagai contoh, boomers dan Gen X mungkin tumbuh tanpa kenyamanan ponsel pintar, tetapi mereka juga tidak harus berjuang dengan kompleksitas tumbuh dewasa secara daring yang kemungkinan mendorong kebutuhan akan pengakuan dan sifat egois, seperti terungkap dalam beberapa penelitian. 

Pada intinya, adanya suatu dialog antar generasi muda dan generasi yang lebih tua sangat diperlukan untuk saling mengetahui dan memahami karakteristik generasi satu dengan yang lainnya sehingga generasi yang lebih tua dapat berhenti menilai generasi Z berdasarkan standar yang berlaku pada zaman mereka dan  menyalahkan generasi yang lebih muda karena terlalu terbuka akan apa yang dirasakan dan dipikirkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun