Mohon tunggu...
frisilia utami
frisilia utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa universitas negeri Yogyakarta

Hallo, aku Frisilia Utami, seorang gadis biasa yang punya ketertarikan yang besar terhadap dunia tulis menulis. Bagiku menulis adalah cara ku mengekspresikan banyak hal terkait dunia yang begitu luas di dalam pikiranku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maria yang suci, izinkan aku bertamu ke rumah bapa..

18 Desember 2024   22:09 Diperbarui: 18 Desember 2024   22:07 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah sudah berapa banyak lelaki hidung belang yang telah aku layani. Yang jelas aku telah memulai kehidupan hitam ini sejak aku berusia enam belas tahun. Jangan kira aku menikmati nya. Bayangkan saja diusia muda dimana seharusnya aku bisa menjalani hidup ku sebagai gadis remaja yang berbahagia, aku terpaksa oleh keadaan untuk menjalani siksaan batin, fisik dan mental dengan membiarkan tubuhku dijamah dan digerayangi oleh sejumlah lelaki dewasa yang sama sekali tidak aku kenal. Aku dipaksa oleh nasib untuk berdamai dan terbiasa dengan segala kenistaan dan kehinaan ini. Aku masih ingat betul bagaimana klien pertama ku telah merenggut kesucianku. Dia mengaku sebagai seorang mahasiswa di kampus ternama dikota kami, kota yang dikenal sebagai kota pelajar.  Aku yang masih belia tak bisa mengerti dan tak habis pikir bagaimana mungkin seorang berpendidikan tinggi seperti dia ternyata bejatnya tak jauh beda dengan lelaki belang yang tak mengenyam bangku pendidikan dan tergila gila dengan urusan selangkangan. 

Jujur saja, setelah delapan tahun aku berkiprah di dunia kotor ini. Aku telah menemani berbagi macam manusia yang dengan segala keunikan dan kelebihan nya; memiliki jabatan mentereng, uang yang banyak, ketampanan dan kecerdasan. Nyatanya tak ada yang mampu menyelamatkan mereka dari godaan nafsu yang satu ini. Katakanlah, barangkali aku sudah hampir gila dengan rutinitas kotor yang semakin hari semakin menggerogoti jiwaku. Semakin lama dan semakin bertambah jumlah lelaki yang telah kulayani, semakin hampa dan semakin tidak berarti diri ini.

Semua hasil, uang dan hadiah barang mewah seperti tas dan sepatu yang para klien itu berikan padaku tak membuat ku merasa bahagia dan puas dengan kehidupan ku ini. Memang, untuk apa pula aku harus merasa puas dan senang dengan kehidupan semacam ini. Walaupun aku dikenal sebagai salah satu bunga favorit di antara klien-klien kami tapi aku merasa sama sekali tak beruntung dan tak berbahagia dengan kenyataan itu. 

Sebenarnya beberapa kali terlintas dibenak ini untuk mengakhiri segala penderitaan ini. Bukankah aku masih ada pilihan. Bilamana preman-preman beringas suruhan madam Ratna tak bisa ku lawan dan tak ada kemungkinan bagi diri ini untuk bisa melarikan diri lagi dari pekerjaan nista ini maka satu-satunya pilihan yang tersisa adalah menjemput kematian. 

Tapi aku tak pernah benar-benar berani untuk menjemput kematianku sendiri. Bukan, bukan karena aku takut mati atau takut dengan penderitaan lainnya yang barangkali tengah menunggu seorang pendosa seperti ku. Sesungguhnya yang selalu menghalangi niatku untuk bunuh diri adalah ketakutan bila nantinya tuhan enggan bahkan sekedar untuk menjatuhkan vonis atas diriku. Sebab aku terlalu hina, terlalu kotor dan nista bagiNya. 

Maka dari itu aku memilih bertahan dan tetap melanjutkan hidupku dalam kehinaan ini. Satu-satunya yang menjadi penghiburku dan memberi kebahagiaan bagi diri ini adalah kesempatan untuk berkunjung ke rumah bapa Allah setiap Minggu pagi. Aku sengaja meminta jatah libur sehari pada hari itu setiap Minggu agar aku bisa meminta pengampunan dosa, sebab di rumah tuhan, di sanalah aku masih bisa merasa tenang. Satu-satunya aku tidak merasa ditinggalkan dan dihakimi. Walaupun seringkali aku berpikir barangkali bunda Maria yang suci dan perawan tak sudi menerima tamu, seorang pendosa kotor dan hina seperti ku tapi putranya sang juru selamat, ku harap kan menyelamatkanku dari ketidakadilan ini..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun